MOJOK.CO – Rahmat “Fals” Kurniawan memandang Liverpool takut juara. Sebuah pendapat yang bakal menemui kebenarannya kalau Manchester City dibiarkan nyaman berlari.
Konten Balbalan Liverpool x Manchester City adalah artikel spesial bagi Kopites dan The Citizens. Tulisan ini didasarkan kepada diskusi yang dibangun oleh pembaca Mojok lewat kolom komentar di artikel sebelumnya yang bisa kamu baca di sini. Tulisan spesial ini bakal rutin setiap minggu sampai musim 2018/2019 selesai.
Tulisan kali ini akan mengambil dasar argumen dari Rahmat “Fals” Kurniawan. Saya ndak tau apakah beliau merupakan saudara jauh dari Iwan Fals, atau fans Iwan Fals, yang disebut Oi, yang kalau konser tetap bawa bendera Slank.
Saya kutipkan secara utuh supaya kamu semua lebih mudah memahaminya. Rahmat bilang begini:
“Juara Liga Inggris masih menjadi momok yang mengerikan bagi Liverpool. Terlihat waktu derby Merseyside kemarin. Plus ketika imbang kontra Red Devils pekan lalu. Ada semacam beban yang sangat berat bagi penggawa Liverpool untuk sekadar bermain lepas. Mungkin faktor terlalu lama belum mengangkat trofi itulah yang membuat mereka tidak tenang dalam bermain. Dan itu pula yang akan menjadi batu sandungan dari Liverpool untuk meraih trofi Liga Inggris musim ini.”
Mojok Institute merasa bahwa tulisan Rahmat ini menarik. Klub seperti Liverpool, dengan statusnya sebagai salah satu klub legendaris di dunia, tentu mematok target setinggi mungkin. Sebagai sebuah klub, hal seperti itu wajar adanya. Namun, klub itu dibangun oleh manusia di dalamnya. Dan, manusia, sungguh rentan akan tekanan.
Liverpool, sebagai penantang terdekat Manchester City musim ini, merupakan salah satu penampil terbaik di Liga Inggris. Maksudnya dari sisi cara bermain dan ide yang coba diterapkan Jurgen Klopp. Ciri bermain mereka adalah menyerang, intensitas bermain yang hampir selalu tinggi, dan membuat sebuah pertandingan jadi seperti sebuah festival; meriah dengan gol yang banyak.
Namun, perlu dicatat, sejarah tak pernah menilai sebuah klub dari cara bermain. Sejarah hanya mencatat siapa yang jadi pemenangnya. Cara bermain adalah alat. Ia bakal dikenal dunia dan menjadi merek sebuah klub. Seperti misalnya juego de posicion atau positional play atau permainan posisi, yang diterjemahkan secara kacau oleh media menjadi “tiki-taka”. Sebuah istilah yang bahkan oleh Pep Guardiola dibenci setengah mati.
Barcelona akan selamanya dilekatkan dengan istilah “tiki-taka”. Namun, sejarah akan mengingatnya sebagai sebuah klub yang pernah memenangi enam piala dalam satu tahun kalender. Menjadi juara, bukan menciptakan sebuah merek dari cara bermain. menjadi juara adalah menjadi yang terbaik, baik dari cara bermain itu sendiri dan secara mental.
Klopp boleh memopulerkan istilah gegenpressing. Istilah itu akan selalu melekat ke mana saja ia melatih. Namun, di mana pun Klopp berada, ia belum bisa disebut sebagai pelatih yang membawa sebuah klub kepada gelar juara.
Ia boleh menang Bundesliga, tapi mentok di Liga Champions ketika masih melatih Borussia Dortmund. Ketika memegang Liverpool, Klopp bahkan baru sekadar “nyaris”. Merek gegenpressing akan dikenal dunia. Sebuah ironi, karena yang ingin dikenang oleh fans tentu saja sebuah gelar juara.
Sampai pada titik ini, Liverpool seperti tengah berdiri di depan tembok tinggi bernama mental juara. Jika tembok itu tidak bisa didaki, ya sampai selamanya Kopites akan menghabiskan waktu berteriak “Tahun depan adalah milik kami.” Iya, iya, tahun depan boleh milik kalian, tapi yang juara tetap Manchester City. Kan yang sama saja, Kipli.
Kesulitan itu begitu terlihat di momen-momen penting di paruh akhir musim ini. Bermain imbang melawan Everton dan Manchester United, Liverpool kehilangan kekuatan besar mereka, yaitu penciptaan peluang. Terutama ketika dijamu United, The Reds bermain terlalu hati-hati. Seiring risiko besar yang berani diambil, terdapat reward yang sama besarnya. Liverpool gamang, enggan mengambil risiko dan akibatnya, Manchester City mengkudeta posisi puncak.
Rasa takut untuk “juara” itu justru berbanding terbalik dengan skuat Manchester City. Skuat asuhan Pep Guardiola itu menunjukkan cara terbaik untuk menjadi juara; berani melepas identitas, permain agak pragmatis, dan mencegah lawan bikin peluang. City sukses besar membuat Bournemouth gagal melepas tembakan ke arah gawang. Sederhana, tidak kebobolan, artinya tidak kalah.
City hanya menang 1-0 ketika melawan Bournemouth. Meski skor terlihat minimal, tapi pertandingan itu menunjukkan betul sikap dewasa City. Mereka bisa menekan seminimal mungkin kreasi lawan. Di sinilah sisi pragmatis City. Berani bersikap ketika dibutuhkan. Bahan yang justru belum ditunjukkan Liverpool.
Mempertahankan ide tentu baik adanya, tapi sebuah klub harus fleksibel menangani setiap pertandingan yang punya corak berbeda. The Reds memandang hampir semua pertandingan dengan kaca mata yang sama. Ketika sebuah pertandingan tidak berjalan sesuai skenario, mereka tidak punya rencana B yang ideal.
Oleh sebab itu, tulisan Rahmat menemui kebenarannya. Apakah sikap enggan mengambil risiko dan tidak punya rencana B itu menunjukkan bahwa Liverpool takut dengan tantangan menjadi juara? Perlu diingat, City punya pengalaman bermain di bawah tekanan, dan mereka berhasil juara.