MOJOK.CO – Tagar kosongkan GBK ditentang banyak orang, meski memang yang mendukung malah lebih banyak. Apakah gerakan kritik ini tidak nasionalis?
Saya pikir ini adalah gerakan yang bagus. Tagar kosongkan GBK sempat mendominasi lini massa media sosial, terutama Twitter. Sebagai sebuah protes, gerakan ini harus ada. Bahkan bila perlu, terus dilakukan karena PSSI butuh “tendangan ke bokong mereka”. Meski memang, gerakan protes tak selamanya mulus saja.
Saya masih berpikir ini adalah gerakan yang bagus. Meski memang, mereka yang kontra jumlahnya sangat banyak. Lewat sebuah polling selama dua jam di Twitter yang diikuti 605 orang, sebanyak 16 persen menyatakan gerakan ini tidak nasionalis, alias tidak setuju. Sisanya, 84 persen, menyatakan setuju karena demi perubahan.
Saya berpikir ini gerakan yang bagus. Aksi protes memang harus diuji oleh dua sisi pendapat. Tanpa diskusi, aksi protes hanya akan menjadi sebatas teriakan tanpa makna. Dua sisi pendapat ini tidak ada yang salah. Keduanya punya nalar yang sama-sama kuat dan masuk akal. Yang perlu kita lakukan hanya terus bergandengan tangan, saling mengingatkan, karena muaranya sama, yaitu perbaikan sepak bola Indonesia.
Saya berpikir ini gerakan yang bagus. Dari sisi mereka yang tidak setuju, kosongkan GBK bisa dipandang sebagai aksi tidak nasionalis. Alasannya? Karena yang didukung adalah tim nasional. Pada titik tertentu, tim nasional tidak boleh dijadikan korban atas kebusukan pengurus sepak bola Indonesia. Mereka perwakilan negara ini.
Bambang Pamungkas berkata bahwa kritik itu boleh dilakukan. Namun, sebaiknya, suporter tidak meninggalkan pemain sendirian. Mau bagaimana pun, mereka yang bertanding di lapangan mewakili dan memikul beban negara. Mereka membawa nama baik sepak bola Indonesia yang sudah tidak berbau sedap sejak lama.
Ketika kondisi liga semakin tidak menyenangkan, tim nasional menjadi satu-satunya unit yang masih menarik untuk ditonton dan didukung. Dan, tagar kosongkan GBK seperti menyerang greget ini. Sangat bisa dimaklumi, karena selama ini, hanya tim nasional yang bisa menyatukan suporter-suporter di Indonesia. Ini sebuah perayaan. Bahkan pada titik tertentu, dianggap ibadah.
Saya pikir ini pendapat yang bagus. “Jangan biarkan tim nasional sendirian,” kata orang-orang yang menolak tagar kosongkan GBK. Lantas, jika sebegitu luhurnya, mengapa tagar kosongkan GBK bisa sangat ramai didukung?
Ada beberapa alasan yang terlintas di benak saya ketika gerakan yang bagus ini dilakukan. Pertama, suporter harus punya satu aksi yang besar dan bisa bergaung selama mungkin. Jika selama ini protes kepada PSSI hanya sebatas “aksi kedaerahan”, tagar kosongkan GBK seperti menyatukan kesadaran akan sebuah “tendangan ke bokong PSSI”.
Dahulu, di pelajaran sejarah dijelaskan, salah satu sebab kegagalan perjuangan di daerah ketika melawan penjajah Belanda adalah karena gerakan itu sendiri terlalu bercorak kedaerahan. Tidak ada kesadaran kolektif untuk bergerak bersama-sama. Alhasil, penjajah Belanda bisa mempraktikkan politik divide et impera dengan membuat daerah-daerah saling berperang.
Kondisinya mirip. Suporter butuh sebuah pemikiran tunggal, yang disepakati bersama, untuk menyerang “kolonialisme sepak bola Indonesia”, oleh bangsanya sendiri. Sepak bola Indonesia, sebuah ladang subur, sumber dayanya diisap oleh segelintir orang jahat. Muaranya, tim nasional tidak pernah betul-betul berprestasi. Berprestasi? Bermain baik saja belum.
Memanfaatkan sebuah unit yang punya gaung luas, tagar kosongkan GBK berhasil mengusik nalar kita. Tim nasional adalah ujung tombak dari kerja profesional yang dilakukan para pengurus. Kalau liga tidak bagus, pembinaan omong kosong, manajemen tim nasional tidak sukses, performa di atas lapangan sudah cukup menunjukkan.
Kedua, ini sebuah gerakan yang bagus karena berusaha menyadarkan kita bahwa sudah saatnya kita bersatu untuk protes. Ini bentuk kepedulian kepada wajah sebuah negara. Kalau sudah begitu, bukankah tagar kosongkan GBK itu sangat nasionalis? Ya kamu boleh kok berkata bahwa gerakan ini masih berdiri di batas nasionalisme.
“Lantas, bagaimana dengan para pemain?” Kamu bertanya. Para pemain punya sebuah wadah sendiri bernama Asosiai Pemain Sepak Bola Profesional Indonesia atau APPI.
Apakah wadah ini sudah bekerja maksimal demi kebaikan para pemain? Apakah wadah ini sudah gencar “mengadvokasi” pemain-pemain di Liga 2 yang gajinya belum dibayar meski sudah tidak bermain di 16 besar? Apakah wadah ini sudah memerhatikan kesejahteraan pemain secara merata? Atau hanya berani maju ke depan menjadi tameng pemain-pemain di Liga 1 saja?
Dwi C. Prasetyo, salah satu followers saya berkata demikian: “Memang kita sepakat federasi harus wawas diri. Tapi di sisi lain, fans atau masyarakat kita secara keseluruhan, harus sama-sama wawas diri.” Wawas diri adalah sebuah aksi untuk mengoreksi diri sendiri secara jujur. APPI termasuk di dalam kotak “masyarakat” ini. Mereka pun harus introspeksi dengan bertanya, “Apakah saya sudah cukup adil mengadvokasi semua pemain di semua jenjang liga?”
Maka dari itu, gerakan kosongkan GBK bukan bentuk rasa tidak peduli kepada para pemain. Kalau gerakan ini tambah besar dan punya pengaruh, sebuah jalan perubahan pasti terbuka. Jika perubahan itu terjadi, pada ujungnya, para pemain juga merasakan nikmatnya. Tentunya bukan kamu-kamu semua, tetapi generasi mendatang yang harus bebas dari bobroknya federasi.
Kritik pasti tidak membuat nyaman mereka yang kena kritik atau para pendukungnya. Gerakan kosongkan GBK jangan disalahtargetkan. Gerakan ini masih di dalam batas nasionalisme. Kalau kamu tidak nyaman, ya tidak masalah. Toh beda pendapat tak selamanya harus berakhir dengan pelabelan yang menjemukan seperti Pilpres 2019. Sepak bola jangan sampai sebodoh itu.
Tagar kosongkan GBK adalah sebuah aksi mengusik nalar masing-masing, bukan untuk memuaskan hasrat tertentu. Nalar yang terusik, harusnya, menjadi bibit revolusi. Bibit perubahan yang tak kunjung terjadi di sepak bola Indonesia. Oleh sebab itu, saya pikir ini gerakan yang bagus.