MOJOK.CO – Kai Havertz seperti tidak dibantu untuk tampil gemilang di laga debut bersama Chelsea. Satu masalah yang akar penyebabnya sudah mengikat kuat sejak musim lalu.
Semua manajer, terutama mereka yang menghabiskan ribuan jam bersama Football Manager, ingin menjadi seperti Frank Lampard. Punya pemilik dengan status sugar daddy, disediakan banyak duit untuk beli pemain, dan yang datang pemain berkualitas pula. Namun, di baliknya, ada tantangan besar yang sudah menunggu bersama Chelsea.
Menyatukan pemain baru, hingga delapan orang, ke tim utama Chelsea bukan urusan mudah. Apalagi banyak pemain itu belum punya pengalaman bermain di Liga Inggris. Lampard seperti seorang nenek yang berusaha merajut benang-benang terbaik. Namun, jarum rajut yang ada di tangannya sudah karatan dan perlu diganti.
Celakanya, benang-benang lama yang seharusnya menopang benang-benang baru itu pun sedang kehilangan daya ikat. Kusut. Benang-benang lama itu perlu diurai terlebih dahulu, dipisahkan dari benang baru. Masalahnya, membuang benang lama tidak semudah kelihatannya karena terlalu kusut. Lampard jadi tidak bisa “bermain” dengan pola-pola baru.
Pada akhirnya dia menjadi “terlalu memaksa” merajut benang lama ke benang baru. Seperti halnya kesulitan yang dirasakan oleh Kai Havertz di laga debutnya bersama Chelsea. Ben Parker, paman Peter Parker bilang, dari kekuatan besar lahir tanggung jawab yang besar. Di sepak bola, dari price tag selangit, ekspektasi tinggi juga mengiringi.
Saya agak kaget ketika Kai Havertz melakoni debutnya di posisi sayap kanan Chelsea. Bobot Laga debut berbeda dengan laga-laga biasa. Selain ada harapan tinggi di sana, laga debut seperti dijadikan indikator kualitas si pemain di dunia baru. Pandangan seperti itu sebetulnya salah karena faktor adaptasi tidak dihitung. Tetapi, dunia bekerja seperti itu. Menyebalkan, tetapi kenyataan.
Saya sudah membayangkan Kai Havertz akan bermain di belakang Timo Werner. Keduanya begitu luwes berganti-ganti posisi, seperti yang terlihat di timnas Jerman. Namun, di laga debut bersama Chelsea, Kai bermain di sayap kanan. Keputusan yang saya rasa bikin gemas Lampard dan si pemain sendiri.
Saya paham, banyak pemain utama Chelsea sedang menepi karena cedera. Begitu juga Hakim Ziyech, pemain baru yang sebetulnya direncanakan akan bermain di sisi kanan. Di bangku cadangan ada Callum Hudson-Odoi, yang bisa dimainkan sebagai sayap kiri, untuk menggeser Mason Mount ke kanan.
Bermain di sisi kanan memang bukan hal baru untuk Kai Havertz. Bersama Bayer Leverkusen, dia pernah merasakannya. Namun, jumlah pertandingan di mana dia bermain di sisi kanan terlalu sedikit untuk menjadi tolok ukur. Dari catatan Transfermarkt, selama musim 2019/2020 Kai hanya bermain delapan kali di sisi kanan. Pada musim 2018/2019, sebanyak sembilan kali dan 2016/2017, sepuluh kali.
Artinya, tidak setiap musim Kai bermain di sisi kanan. Meskipun dikatakan versatile dan bisa bermain di banyak posisi, seorang pemain tetap butuh pengalaman supaya bisa tampil prima. Sebagai contoh, kamu bisa menilai performa James Milner bersama Manchester City maupun Liverpool. Penampilannya stabil karena dia hampir selalu bermain di banyak posisi secara rutin.
Bermain di sisi kanan memang terlihat menjanjikan. Kai Havertz bisa bermain dengan peran inverted winger atau wide playmaker. Namun, pada kenyataannya, bersama Chelsea di laga debut ini Kai bermain terlalu dalam untuk bisa memberikan dampak kepada pertandingan secara nyata.
Oleh karena bermain terlalu dalam, Kai tidak bisa memaksimalkan banyak hal yang menjadi kelebihannya. Misalnya, kemampuannya untuk menerima bola between the lines menjadi tereduksi. Tidak bisa bermain di antara lini lawan juga membuat kemampuan umpan terobosannya tidak terlihat. Disebabkan terlalu dalam pula, kelebihan off the ball dan penciptaan peluang turut tidak maksimal.
Satu hal penting untuk dicatat adalah sikap fans Chelsea yang terlalu permisif kepada Lampard. Fans Chelsea menegaskan bahwa Kai baru berlatih satu minggu dan butuh adaptasi. Butuh beberapa minggu bahkan bulan untuk menyesuaikan diri.
Namun, pada kenyataannya, Gabriel Magalhaes, bek baru Arsenal yang sudah tidak menendang bola selama enam bulan toh bisa beradaptasi. Bahkan terlihat bugar untuk bermain 90 menit. Beberapa pemain baru lainnya di Liga Inggris pun bisa beradaptasi dengan cepat.
Memang, masing-masing pemain punya indikator sendiri untuk urusan adaptasi. Namun, jika pelatih tidak cakap untuk membantu, proses adaptasi menjadi waktu tunggu yang percuma. Masalah Chelsea memang panjang. Buruknya debut Kai disebabkan banyak hal yang sudah terjadi sejak musim lalu. Salah tiganya adalah performa pemain, manajemen kebugaran, dan pencegahan cedera.
Jika pemain-pemain lawas Chelsea bisa bugar dan menjaga performa mereka, saya rasa debut buruk Kai bisa saja tidak terjadi. Selagi “menenangkan diri” dengan alibi soal adaptasi, fans Chelsea sebaiknya kritis dengan kinerja staf dan pelatih. Benang-benang baru yang istimewa itu tidak akan bisa dirajut jika tidak dijaga. Ketika kusut, mereka hanya “pemain baru” tanpa dampak positif yang bisa ditawarkan.
Skuat Chelsea musim ini terlihat sangat mewah. Gairah melihat skuat baru itu tinggi sekali. Namun, pelajaran dari Spanyol, di mana sebuah klub mengumpulkan pemain bintang lalu gagal karena tidak bisa disatukan, harus menjadi pelajaran.
Musim masih panjang. Masih banyak waktu untuk mengurai kekusutan benang-benang Chelsea, lalu merajutnya menjadi syal yang anggun. Kalau gagal dirajut, ya tinggal dibuang.
Arsenal pasti siap menampung “benang buangan” Chelsea, hehehe….
BACA JUGA Frank Lampard, Legenda Murah, yang Cuma Menjadi Pelarian Chelsea dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.