MOJOK.CO – Juventus dan Ronaldo seharusnya tidak membutuhkan Lukaku. Sementara itu, meski mengaku enggan, pindah ke United akan menguntungkan Dybala.
Beberapa minggu yang lalu saya sempat memuji aktivitas transfer Juventus. Sejak kembali ke Serie A pada musim 2007/2008, kebijakan membeli pemain dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali sudah dilakukan. Hingga musim panas 2019, kebijakan itu masih terlihat dan terbukti sukses.
Selain merekrut pemain dengan status bebas transfer, Juventus juga cukup jeli ketika menyeleksi. Beberapa pemain yang didatangkan langsung menjadi bagian penting dalam proses kebangkitan sejak musim 2007/2008 hingga saat ini. Paul Pogba, Andrea Pirlo, hingga Aaron Ramsey adalah contohnya.
Hingga kemudian “keanehan” terjadi di musim panas 2019 ini, Juventus ngotot mendapatkan tanda tangan Romelu Lukaku dari Manchester United. Semakin terasa “aneh” ketika manajemen Si Nyonya Tua siap menyertakan Paulo Dybala dalam kesepakatan. Istilahnya, tukar pemain.
Konon, servis Lukaku dibutuhkan agar ia menjadi kompetitor Cristiano Ronaldo di Juventus. Alasan yang aneh. Apakah seorang Ronaldo, pesepak bola dengan etos kerja paling tinggi di dunia, pemain dengan determinasi meletup-letup, masih butuh kompetitor untuk mengangkat performa? Ketimbang kompetitor, Ronaldo lebih membutuhkan sistem.
Satu hal lagi, bukankah Dybala adalah salah satu pemain potensial dengan kualitas yang justru dibutuhkan Ronaldo? Perkara ini yang akan saya dedah.
Ronaldo butuh sistem, bukan kompetitor
Selain trio Casemiro-Toni Kroos-Luka Modric, protagonis dari drama tiga kali juara Liga Champions berturut-turut yang dicapai Real Madrid adalah Ronaldo. Pemain asal Portugal itu bisa “memaksa” dirinya berubah dari seorang advance winger menjadi striker. Tak main-main, Ronaldo menjadi poacher dengan pergerakan yang efektif-efisien memanfaatkan peluang.
Mengapa di Real Madrid Ronaldo bisa begitu berbahaya, berbeda ketika bermain untuk Juventus? Karena Real Madrid bermain dengan sistem yang sederhana. Mereka menguasai lini tengah dengan trio gelandang terbaik pada periodenya, untuk kemudian mengeksploitasi sisi lapangan. Ketika proses itu sudah berjalan, yang perlu dilakukan tinggal mengirim umpan silang kepada Ronaldo.
Satu hal lagi yang menyebabkan sistem itu bisa berjalan baik ialah keberadaan Karim Benzema. Ia memang tidak banyak mencetak gol. Namun, pergerakan tanpa bola Benzema adalah atribut penting dari sistem ini. Benzema pandai manarik bek lawan, membuat mereka keluar dari zona aman, kemudian dimanfaatkan Ronaldo yang muncul dari belakang. Sesuatu yang jarang ditemukan Ronaldo di Juventus.
Sistem permainan itu sangat sederhana, tetapi sulit diantisipasi karena banyaknya variasi. Timing pergerakan Benzema sangat alami, Ronaldo sangat efektif memenangi duel di kotak penalti. Di sepak bola, ide yang sederhana justru berbahaya.
Ekosistem yang sama tidak ditemui Ronaldo di Juventus. Atau mungkin belum. Beda pelatih memang beda ide. Max Allegri banyak memainkan Ronaldo di dekat kotak penalti, berdekatan dengan siapa saja duetnya. Namun masalahnya, striker Juve lainnya terlalu sering statis dan memberi beban lebih kepada winger yang bermain.
Mario Mandzukic adalah salah satu defensive forward terbaik di dunia ketika bermain untuk Juventus. Namun, ia tidak cukup mobile untuk menemani Ronaldo. Pergerakan tanpa bolanya tidak alami. Dybala? Selain performanya yang menurun, tuntutan bermain dari sisi kanan makin menekan potensi aslinya.
Lukaku memang mobile, seperti yang ia tunjukkan ketika bermain di Piala Dunia melawan Brasil. Ia banyak bermain dari sisi kanan khusus untuk memanfaatkan ruang yang ditinggalkan Marcelo. Namun, ingat, pergerakan tanpa bola bukan berarti bermain dari sisi lapangan saja. Ini salah satu teknik paling sulit dikuasai dalam sepak bola.
Jadi, apakah usaha Juventus mendapatkan Lukaku hanya agar tak direbut Inter? Ayolah, seorang Lionel Messi bergabung ke Inter pun bakal sulit untuk mendongkel dominasi Juve di Serie A.
Keanehan Juventus justru menguntungkan Dybala?
Dilihat dari sisi Dybala, potensi pertukaran antara Juventus-United ini kemungkinan akan menguntungkannya. Pemain asal Argentina itu konon enggan bergabung ke Manchester United karena tidak akan bermain di Liga Champions. Namun, Dybala perlu membaca masa depan.
Ole Gunnar Solskjaer sudah menegaskan akan banyak menggunakan sistem 4-2-3-1. Paul Pobga bakal bermain lebih dalam bersama Scott McTominay. Melihat sistem tersebut, Dybala bisa diuntungkan jika bermain sebagai #10. Dybala memang bukan sosok playmaker tradisional, ia gelandang serang modern yang memang dibutuhkan United.
Sepak bola modern menuntut pemain bisa melakukan pressing dan bermain di antara lini lawan. Semakin statis permainannya, seorang playmaker akan semakin tak dibutuhkan. Dybala bisa bermain di belakang striker sekaligus di depan gelandang sentral seperti #8 murni. Oleh sebab itu, di mata saya, Dybala adalah hybrid #10 yang bisa bermain di depan sekaligus bertahan.
Seorang pemain bisa sukses memperbaiki performa dengan cara bermain di posisi ideal. Pertukaran ini mungkin jadi “kemunduran citra” bagi Dybala karena hanya bermain untuk Manchester United, tapi berada di United akan menguntungkan kariernya ketimbang ia bertahan di Juventus.
Atas alasan inilah aktivitas transfer Juventus saya bilang aneh.