MOJOK.CO – Fernando Torres adalah badai supercell, badai petir yang selalu mendominasi. Selamanya, ia adalah legenda, bagi Liverpool, dan warga sepak bola dunia.
Mengingat Fernando Torres seperti membuka kotak rasa takut. Sebagai fans sepak bola, fans rival Liverpool, melihatnya berkelebat mengecoh tuntas bek lawan lalu menempatkan bola di tiang jauh seperti menyaksikan algojo mengayunkan pedang besarnya, memisahkan kepala dan badan seorang pesakitan.
Musim 2007/2008 saat itu, Liverpool berhasil mendapatkan tanda tangan Fernando Torres. The Reds memboyong el Nino dari Atletico Madrid dengan banderol 30 juta paun. Duit receh di pasar transfer saat ini, tetapi bukan harga yang murah untuk saat itu. Kedatangannya disambut begitu meriah. Kualitas dan potensinya sudah lebih hadir di kota pelabuhan itu sebelum badan wadagnya menginjakkan kaki di gerbang Anfield.
Sebagai fans Arsenal, striker terbaik yang kami miliki adalah Thierry Henry dan Dennis Bergkamp. Kami biasa menyaksikan Henry berlari dari sisi kiri lapangan, lalu melakukan “cut inside” ke arah kotak penalti. Dengan anggun, penyerang asal Prancis itu akan berlari seperti sambil berjingkat bak penari balet, lalu menghujamkan pukulan paripurna kepada kiper lawan.
Sebetulnya, gerakan Henry itu sangat sederhana. Dalam satu momen gerak, ia melakukan kontrol bola, berkelit, sprint, dan tendang bola ke arah yang tidak bisa dijangkau kiper. Namun, tahukah kamu, satu jurus yang dikuasai secara peripurna lebih berbahaya ketimbang 1000 jurus yang tidak terlatih. Contoh paling jernih bisa kamu lihat di signature move milik Arjen Robben. Kamu tahu mereka akan bergerak ke arah “sana”. Namun, kamu tak pernah benar-benar bisa mengikuti, apalagi menangkap mereka.
Satu momen gerak yang berbahaya dan menjadi signature itu juga dimiliki Torres. Kamu bisa bilang inilah bentuk terbaik dari insting seorang pesepak bola yang cakap. Lewat bangun fisiknya yang sempurna, dua kaki yang hidup, kelenturan otot pinggang, dan kejelian melepas tendangan, satu momen milik Fernando Torres seperti badai di dalam kotak penalti.
Kamu tahu badai itu akan merusak, kamu tahu cara meredamnya. Namun, ketika badai itu benar-benar datang, yang bisa kamu lakukan hanya berlindung di basement atau berdoa pasrah kepada Tuhan supaya badai itu gagal mengenai target. Ketika ia masuk ke dalam kotak penalti, ketika diberi ruang untuk berputar, Fernando Torres adalah striker terbaik di dunia.
Tiga teknik mematikan Fernando Torres
Bagi saya, di masa jayanya, Fernando Torres jelas masuk dalam kotak kecil yang diberi label “para penyerang terbaik di dunia”. Hanya ada sedikit nama di sana. Nama-nama yang teruji dan disaring oleh kenyataan. Para penyerang yang bisa membuat perbedaan dari sebuah situasi yang tidak menguntungkan.
Mengapa Fernando Torres bisa begitu berbahaya? Sebagai striker, setidaknya ia punya tiga teknik yang mendukung. Apa saja?
Kontrol yang mantap. Striker, hidup dalam ruang yang sempit di atas lapangan. Secara konstan, ia akan ditempel oleh bek lawan. Rata-rata menit yang ia kumpulkan bisa paling rendah di antara pemain lain yang punya posisi berbeda. Bahkan bisa kalah oleh kiper modern yang terlibat dalam proses membangun serangan.
Oleh sebab itu, di tengah rata-rata menit sentuhan bola yang begitu rendah, striker harus punya kontrol yang mantap. Untuk mengopernya kembali dalam proses serangan, atau sebagai pembuka proses melewati bek lawan. Tanpa kontrol yang baik, striker tak akan berkembang. Fernando Torres punya kontrol yang baik.
Tahun 2009, fans Liverpool masih ingat gol tembakan voli Torres ke gawang Blackburn Rovers. Sekali kontrol menggunakan dada, bola diarahkan diagonal ke kiri, sembari memutar badan ke arah bola, ia cambuk bola itu, melewati kepala kiper dan masuk ke gawang dengan sempurna. Itu gol sulit dilakukan tanpa kontrol yang baik dan teknik menendang yang prima.
Ini teknik kedua yang dikuasi oleh Fernando Torres: teknik menendang. Menendang bola bukan sekadar mengarahkan bola ke arah gawang sekeras mungkin. Menendang bola, bagi striker, adalah pertaruhan hidup dan mati. Striker tak boleh membuang banyak peluang. Jika ia melakukannya, mental tim akan terpengaruh. Perlahan, akan ambruk.
Maka, ketika setitik kesempatan datang, striker tak boleh ragu melepas tembakan. Ratusan jam latihan tak akan berlaku tanpa keberanian. Gol ke gawang Blackburn juga menjadi contoh teknik ini. Jika butuh bukti lain, coba tengok gol debut Fernando Torres di Anfield ketika Liverpool menjamu Chelsea.
Melihat sebuah ruang terbuka di sisi bek Chelsea, Tal Ben-Haim, Torres menaikkan kecepatan untuk menjaga jarak. Ia melakukan dua kontrol bola secara cepat. Tujuannya, untuk menghentikan laju dan mengubah jalur bola mendekati gawang.
Ben-Haim yang sudah tertinggal satu langkah tak bisa mengantisipasi kuda-kuda Torres ketika akan menendang. Sambil merentangkan tangan sebelah kiri untuk menjaga keseimbangan, menggunakan kaki kanan sebelah dalam, Torres membidik tiang jauh. Dalam tekanan, ia bisa mengarahkan bola secara akurat. Total, ia hanya butuh empat detik, dari mulai mengotrol bola, melewati Ben-Haim, dan membuat gol.
Apakah gol debut di Anfield itu hanya mutlak karena teknik menendang saja? Tentu saja tidak. Teknik bergerak Fernando Torres juga sangat penting. Ini teknik strikernya yang nomor tiga.
Perhatikan betul proses gol ke gawang Chelsea itu. Sebelum umpan dilepas, ia memosisikan diri di antara Ben-Haim dan bek kanan. Ruang itu sangat lebar, terlalu lebar untuk bisa dipertahankan dengan baik. Torres melihat sebuah peluang dari ruang lebar itu. Ia tidak langsung mencecar ruang di samping Ben-Haim. Ia menunggu, melihat ke arah mana bola akan dikirim.
Teknik menjaga jarak ini membuat bek terjebak dalam dilema. Jika Ben-Haim langsung menekan Torres yang berlari dari sisi, bek tengah Chelsea yang ditempat John Terry akan terekspose. Terry akan sendirian untuk melakukan cover ruang yang sangat luas. Jika ia tidak menekan Torres, pemain Liverpool bisa mengirim umpan terobosan dengan mudah. Pilihan kedua yang diambil Ben-Haim dan hasilnya adalah celaka.
Teknik bergerak yang baik membantu Torres untuk meladeni dua bek terbaik di Liga Inggris, Nemanja Vidic dan Rio Ferdinand. Musim 2009/2010, laga kandang melawan Manchester United. Dalam sebuah situasi, Yossi Benayoun menguasai bola di dekat lingkaran tengah. Ia dibayangi Patrice Evra.
Di belakang Evra, Vidic waspada, siap melakukan cover jika Benayoun memutuskan melakukan penetrasi. Kewaspadaan Vidic memang penting. Namun, karena ia bergerak mendekati Evra, sebuah ruang tercipta di antara dirinya dan Ferdinand. Torres sadar dengan keberadaan ruang itu dan bergerak mendekati Ferdiand.
Perhatikan betul pemosisian diri Torres. Ia berdiri di depan Ferdinand. Gerakan sederhana ini kaya makna, salah satunya mencegah Ferdinand melakukan intersep jika umpan terobosan dilepaskan Benayoun. Dan itu yang terjadi. Benayoun melepas umpan terobosan akurat menuju ruang di antara Vidic dan Ferdinand.
Vidic tak mungkin lagi ikut mengejar Torres karena kalah langkah. Torres, yang unggul posisi, menggunakan tangan dan kokohnya tubuh bagian atas, menjauhkan Ferdinand dari kaki kuatnya. Ketika ia bisa menjinakkan Ferdinand dan memastikan bola ada dalam jangkauan kaki, Torres merangsek masuk ke kotak penalti.
Ketika Edwin van der Sar maju, ruang tembak yang ada sebetulnya sempit. Namun inilah momen ketika Torres memadukan semua teknik striker yang ada di dalam dirinya. Dimulai dari teknik bergerak, kontrol bola yang mantap, dan teknik menendang ke gawang. Semua bersatu dalam gol cantik itu, bola melesak ke gawang lewat celah sempit di antara van der Sar dan tiang gawang.
Ketika diizinkan mengeksploitasi ruang, ketika diberi keleluasaan mengontrol bola, ia sangat sulit dihentikan. Rambut blonde yang terkibas itu, samar-samar berubah menjadi perak, warna petir yang menyambar.
Fernando Torres adalah badai supercell, badai petir yang lahir dari awan kumulus. Badai supercell adalah badai petir dari sebuah awan yang terus berputar ke atas. Dari empat klasifikasi badai petir (supercell, squall line, multisel, dan single-cell), supercell memiliki potensi untuk menjadi yang paling parah. Supercells dapat mendominasi iklim setempat sejauh 32 kilometer.
Di dalam kotak penalti, ketika ia berdiri sendiri dengan bola di kaki, di masa jayanya, Fernando Torres sangat dominan. Ketika diberi kesempatan untuk memutar badan, rambut peraknya tersibak, membuat suporter lawan terhenyak. Ia akan sulit dihentikan.
Setangguh apapun sebuah badai, ada masanya ia akan redup dan hilang. Ia disebut gagal total bersama Chelsea, meskipun sempat menunjukkan kilatan supercell ketika merebut piala Liga Champions.
Badai supercell itu akan reda sepenuhnya, pada waktunya. Percikan petir yang sempat mendominasi Liga Inggris akan terpelanting dan melahirkan badai-badai selanjutnya. Kibasan rambut perak dan lesatan bola dari tubuh atletisnya akan selalu dikenang. Ia, penabur badai, gantung sepatu dengan segala kenangan.
Muchas gracias, Fernando.