MOJOK.CO – El Clasico, Barcelona vs Real Madrid, mungkin akan menjadi penanda berakhirnya era Lionel Messi dan para tetua yang sempat mewarnai laga penuh drama ini.
Karier di sepak bola itu seperti selayang pandang saja. Berkelabat, berjalan cepat, lalu berhenti tanpa bisa dicegat. Romantisme kejayaan, tangis pedih kekalahan, semuanya terjadi seperti sekejap saja. Sastrawan dan pandai bahasa menghabiskan banyak waktu untuk menyusun lagu pujian. Belum usai kalimat-kalimat indah disusun, sepak bola menutup tirai.
Senja sepak bola datang begitu cepat. Rasanya belum lama ini melihat Lionel Messi mencicipi debut bersama Barcelona. Gol perdana Messi yang menyentak dunia. Dan selebrasinya bersama Ronaldinho yang ikonik itu. Selebrasi Ronaldinho menggendong Messi di punggungnya seperti sebuah baton yang dipasrahkan oleh pelari estafet kepada pelari lainnya.
Bersebalahan dengan Spanyol, di Portugal, seorang anak muda membuat Sir Alex Ferguson gatal ingin segera mengirim uang ke Sporting Lisbon. Sir Alex tahu dia sedang melihat pelari zaman lainnya. Calon pemain terbaik dunia, yang sejajar dengan seorang debutan di La Liga. Cristiano Ronaldo, namanya muncul dan dunia tak pernah berhenti berpaling kepadanya.
Debutnya bersama Manchester United terasa begitu riang. Kakinya terlihat begitu ringan. Menari-nari di dalam kotak penalti Bolton Wanderers. Debutnya menegaskan kalau rivalitas di dunia sepak bola tidak pernah usai. Rivalitas hanya bersalin muka, berganti aktor, dengan wajah zaman yang baru.
Dua anak muda itu yang membuat El Clasico punya nilai lebih. Barcelona vs Real Madrid bukan lagi soal rivalitas dua klub paling sukses di La Liga. Bukan lagi soal pertarungan dua ideologi. Bukan lagi soal panggung peperangan politik lainnya. Barcelona vs Real Madrid adalah pertarungan untuk menentukan status terbaik. Pertarungan yang akan abadi. Bahkan ketika Messi dan Ronaldo sudah tidak ada lagi.
Ronaldo sudah hengkang ke Italia, bersama Juventus. Namun, di dalam kepala fans Barcelona dan Real Madrid, El Clasico masih terjadi. Meski terbentang jarak ratusan kilometer di antara keduanya, meskipun Messi dan Ronaldo sudah berada di lapangan yang berbeda, narasi Barcelona vs Real Madrid masih tentang kedunya.
Namun, di mata saya, momen itu akan “menjadi abadi” tidak lama lagi. Gelincir senja semakin cepat, memakan para orang hebat.
Baik Messi dan Ronaldo adalah pemain terbaik di dunia. Mereka “terbaik” dalam interpretasi kepala masing-masing orang. Dan semuanya tidak salah. Membandingkan keduanya adalah usaha membunuh waktu paling buruk. Merayakan keduanya, adalah cara terbaik untuk menikmati Pantheon terindah di jagat sepak bola.
Membandingkan keduanya tidak akan memberimu kejayaan. Messi akan tetap yang terbaik bagi Barcelona dan Ronaldo untuk Real Madrid. El Clasico keduanya sudah usai.
Memang, El Claciso era Messi dan Ronaldo adalah suguhan laga sepak bola terbaik. Bukan hanya karena keberadaan mereka berdua. Barcelona vs Real Madrid adalah laga pameran kekuatan klub mengumpulkan pemain-pemain terbaik.
Sejak era Iniesta–Xavi–Puyol vs Casillas–Ramos–Xabi hingga Pique–Ter Stegen–Neymar vs Keylor Navas–Isco–Marcelo, laga Barcelona vs Real Madrid bernilai ratusan kali lipat dibandingkan laga-laga lain di La Liga. Pemain-pemain kelas elite itu mengiringi pertarungan Messi dan Ronaldo. Pertarungan yang sebentar lagi akan paripurna.
Mungkin satu tahun lagi, narasi El Clasico tentang Messi dan Ronaldo sudah akan terkikis. Regenerasi terjadi. Anak-anak muda mulai mengambil peran para tetua. Real Madrid sedang berusaha mematangkan Federico Valverde, Barcelona sedang telaten merawat Ansu Fati.
Bukan Vinicius atau Rodrygo Goes, Real Madrid menemukan hidden gem mereka di dalam diri Federico Valverde. Gelandang berusia 21 tahun itu punya mental luar biasa menyambut El Clasico. Kepada wartawan, gelandang asal Uruguay itu berkata demikian: “Kita harus bisa menikmati El Clasico.”
Seorang anak muda, yang berpeluang bermain di salah satu laga terbesar di planet bumi, malah ingin bermain dengan santai. Artinya, Valverde paham betul tekanan yang ada. Pun dia bisa menemukan solusi supaya tidak tertelan oleh tekanan laga Barcelona vs Real Madrid.
Bagi Barcelona, masa depan adalah soal memetik hasil dari ketelatenan merawat Ansu Fati. Dia adalah pemain kedua termuda yang pernah bermain untuk Barcelona. Selepas debut, Lionel Messi memeluk Ansu Fati. Erat sekali. Wajah Messi nampak begitu bahagia. Wajah yang penuh kepuasan, seperti menggambarkan bahwa penerus telah tiba.
Pelukan Messi kepada Ansu Fati adalah pelukan yang “gagal bersemi” kepada Neymar dahulu. Dulu, cara Messi menjadi mentor bagi Neymar adalah cara yang sama dilakukan Ronaldinho kepadanya. Banyak jurnalis yang menulis dengan indah tentang baton touch yang bakal terjadi beberapa tahun lagi. Ketika baton diteruskan dari Ronaldinho, ke Messi, lalu Neymar.
Namun, Neymar menginginkan siraman lampu sorot hanya untuk dirinya sendiri. Dia merasa sudah cukup diasuh Messi. Padahal, proses belajar menjadi pesepak bola bukan hanya soal kehebatan teknis, tetapi juga soal mental dan menjadi manusia seutuhnya.
Kegagalan itu yang membuat pelukan Messi kepada Ansu Fati terasa begitu dalam maknanya. Pelukan yang mungkin adalah pertanda bagi kita kalau era para tetua sebenarnya sudah usia.
El Clasico Desember 2019. Jangan sampai terlewat. Mungkin, di atas lapangan itu, kamu akan menemukan penerus laga terpanas di Spanyol ini. Mungkin, kamu akan sadar betapa berharganya sesuatu ketika dia sudah tiada. Ketika Messi pensiun, ketika gaung Ronaldo mulai lamat-lamat, ketika Barcelona vs Real Madrid menjadi abadi.
BACA JUGA El Clasico Bisa Antiklimaks Kalau Real Madrid dan Barcelona Gini Terus atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.