MOJOK.CO – Freddie Ljungberg ditinggal banyak masalah ketika menggantikan Unai Emery sebagai pelatih Arsenal. Masalah yang membelit seperti benang kusut.
“Sudah lama sekali saya berada di klub ini. Saya suka sepak bola yang menghibur, menyerang, tetapi kami juga tidak boleh lemah ketika bertahan. Sebuah keseimbangan yang tidak mudah untuk ditemukan. Bagi saya, pesepak bola yang bahagia bakal memainkan sepak bola terbaik,” kata Freddie Ljungberg di wawancara perdana sebagai pelatih kepala Arsenal.
Kata “bahagia” tidak sesederhana ia dituliskan. Kata itu memuat begitu banyak proses supaya bisa terjadi, terutama ketika kita sedang membicarakan Arsenal. Sudah begitu lama fans Arsenal tidak merasakan kebahagiaan sesungguhnya. Sejak tahun 2004 tepatnya.
Freddie Ljungberg menjadi bagian dari skuat legendaris yang berhasil memberikan kebahagiaan paripurna itu. Kini, dia berbicara soal kebahagiaan. Kembali mencari dari sudut pandang pesepak bola. Sudut pandang yang tepat, karena kebahagiaan klub dan suporter berasal dari sana. Untuk mencapai “bahagia” itu, Ljungberg perlu mengurai benang kusut yang membelit Arsenal.
Mengangkat moral dan attitude pemain Arsenal
Ketika Unai Emery resmi dipecat, ada beberapa pemain Arsenal yang tidak mengucapkan “salam perpisahan”. Misalnya, Mesut Ozil, Granit Xhaka, Lucas Torreira, dan beberapa pemain lainnya. Mereka adalah para pemain yang tidak “diperlakukan” secara baik oleh Emery. Hasilnya, sebuah pembangkangan terjadi, ruang ganti menjadi tidak sehat.
Rasa tidak suka kepada Emery membuat beberapa pemain Arsenal berani meledek secara terbuka. Mereka menirukan cara berbicara, aksen, dan keterbatasan berbahasa Inggris Emery sebagai cara untuk meledek. Bahkan mereka melakukannya secara terbuka. Sikap kebablasan ini menular ke beberapa pemain akademi yang berlatih dan bermain bersama tim utama.
Sebuah indikasi yang sangat tidak baik. Memang, kita bisa paham kalau para pemain tidak kebeblasan kalau tidak ada sebab. Namun, sebagai pesepak bola profesional, terlebih orang dewasa, sikap itu tidak boleh ada. Selain moral yang anjlok, attitude para pemain perlu dibentuk lagi. Sikap profesional dibutuhkan supaya pekerjaan bisa terselesaikan.
Ljungberg harus sadar. Bisa jadi, jika selama melatih prestasi tidak terangkat, attitude jelek itu mengganggu Ljungberg juga.
Untungnya, saya rasa Ljungberg sadar akan hal itu. Dia minta tolong Per Mertesacker untuk ikut melatih bersama tim utama selama beberapa waktu. Ketika masih aktif bermain, bersama Laurent Koscielny, Per Mertesacker punya pengaruh yang besar. Pemain asal Jerman itu punya kharisma untuk menekan attitude jelek. Di sisi lain, Per adalah kawan yang baik bagi semua pemain. Dia bisa mengangkat mood pemain yang sedang gelisah.
Atensi kepada detail
Ljungberg punya atensi kepada detail. Ini sangat penting bagi kebahagiaan pemain. Contohnya begini. Beberapa minggu sebelum final Liga Europa, Emery tidak mau membicarakan persiapan final bersama performance team sebelum Liga Inggris selesai. Sikap itu membuat persiapan tidak berjalan dengan baik.
Emery juga bersikeras untuk lebih awal berangkat ke Baku, Azerbaijan, tempat final Liga Europa diadakan. Arsenal berangkat dua hari lebih awal dibandingkan Chelsea, lawan mereka di final. Sikap ini bertentangan dengan masukan dari staf kesehatan Arsenal. Mereka merasa fasilitas kesehatan di Baku tidak begitu bagus.
Bagaimana hasil final Liga Europa? Arsenal dibantai Chelsea dengan skor 1-4. Persiapan tidak matang dan kondisi pemain yang tidak optimal membuat final krusial itu lepas begitu saja. Atensi kepada detail berhubungan dengan kebahagiaan pemain.
Ljungberg juga lebih memerhatikan hal-hal kecil seperti logistik ketika tandang. Detail yang tidak dianggap penting oleh Emery. Padahal, klub berisi manusia yang bisa merasa. Ketika diperhatikan, manusia akan merasa lebih bahagia. Karena dihargai, kerja mereka dianggap “ada”. Rasa tidak suka dari staf bukan tidak mungkin menular ke pemain lewat komunikasi setiap hari.
Warisan Arsene Wenger adalah tentang memanusiakan manusia sejauh yang kamu bisa. Manusia tidak sempurna. Ada cacat. Ada kesalahan. Wenger pun melakukan kesalahan. Namun, komunikasi dan perhatian selalu ada. Melahirkan keharmonisan. Tidak aneh kalau Wenger, yang mewariskan keharmonisan kepada Ljungberg, menjadi sosok pupuler.
Tentang Aubameyang dan Lacazette
Sebelum Emery dipecat, baik Aubameyang dan Lacazette dikabarkan menunda pembicaraan kontrak baru. Keduanya disebut tidak ingin berseragam Arsenal jika Emery masih melatih. Melihat dari kaca mata bisnis dan ambisi, sikap keduanya bisa dipahami. Namun, yang perlu diperhatikan adalah sikap mereka punya pengaruh besar di ruang ganti.
Aubameyang dan Lacazette adalah dua pemain paling populer di ruang ganti. Selain persona yang ramah dan riang, keduanya punya peran besar di atas lapangan. Tanpa performa Auba dan Laca, sangat mungkin Arsenal sedang sibuk lari dari kejaran gaya tarik zona degradasi.
Emery berusaha selalu memainkan keduanya bersama-sama. Memang sangat sulit mencadangkan salah satu. Namun, ada kalanya Lacazette tidak bermain baik dan pelatih harus tegas. Pun juga dengan performa Aubameyang. Apalagi bukan rahasia kalau keduanya bakal semain bagus jika bermain sebagai striker tengah, bukan penyerang yang melebar seperti Auba.
Akan ada saatnya ketika Ljungberg berhadapan dengan ego Auba dan Laca. Jika menuruti ego tersebut, bisa jadi keseimbangan Arsenal terganggu. Jika tidak menurut, Arsenal bisa kehilangan pemain terbaik mereka. Menjadi pelatih, pada titik tertentu, adalah menghadapi dilema. Mencari titik keseimbangan bisa menjadi pekerjaan seumur hidup.
BACA JUGA Membaca Determinasi Freddie Ljungberg, Kekasih Baru Arsenal atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.