MOJOK.CO – Konon, banyak yang bilang nasib Arsenal dan Manchester United akan ditentukan di awal subuh waktu Indonesia. Siapa yang menangis, siapa yang tertawa?
Mungkin memang agak berlebihan ketika menarasikan bahwa laga Wolves vs Arsenal dan Manchester United vs Manchester City sebagai penentuan nasib. Sepak bola itu sejarah yang berulang, dikolaborasikan dengan drama yang tak tertebak. Dan, khusus untuk Liga Inggris musim ini, segala sesuatu bisa jadi ditentukan di pertandingan paling buncit.
Setelah tadi pagi tulisan saya agak terlalu jahil kepada Setan Merah, kali ini kita agak serius. Ini penting.
Pertama-tama, bukan sebuah kejutan, apalagi keajaiban, apabila Arsenal dan Manchester United tumbang. Kedua klub ini, entah merasa bersaudara atau bagaimana, tidak ingin kalah. Tidak ingin kalah dalam hal menjadi pecundang Liga Inggris paling tekun.
Bagaimaan tidak. Ketika Arsenal kalah dari Everton dengan skor 1-0– hold my beer–United bisa kalah dengan dramatis. Kebobolan empat gol, bermaain seperti sekumpulan bocah di Liga Kampina, memicu “perpecahan” di dalam tim, membangunan kembali rumor-rumor kepindahan pemain di musim panas, dan celotehan warganet dengan narasi: “Ole at the wheelchair.”
Arsenal ini lebih pandai lagi memainkan perasaan fans. Ketika tahu United digilas empat gol oleh Everton–salah satu golnya dicetak oleh Lord Walcott–mereka justru bisa lebih goblok. Kolaborasi Mo Elneny dan Guendouzi yang terbukti sebuah “bencana kembar” di kandang Everton ketika melawan Crystal Palace, hingga kembali memainkan Shkodran Mustafi yang sukses membunuh momentum timnya sendiri.
Ketika terbuka kesempatan mengunci posisi tiga untuk sementara, The Gunners seperti alergi dengan kenyamanan. Memang betul kita harus berani keluar dari zona nyaman. Jangan terlena dengan kenyamanan, kata orang. Ya tapi, bagi Arsenal, nyaman saja belum, malah sudah anti. Arsenal itu penikmat rasa sakit paling paripurna.
Saya sih mencoba memaklumi rotasi yang dilakukan Unai Emery. Blio sudah memikirkan laga melawan Wolves, yang jelas bakal lebih berat ketimbang melawan Palace. Namun, ketika blio tidak fokus dengan satu laga, di tengah kejar-kejaran yang begitu rapat, kotak bencana itu sudah separuh terbuka. Tinggal ditambah komposisi yang kacau dan blunder badut tim, lengkap sudah.
The Gunners masih harus menghadapai Brighton dan Burnley. Namun, bisa dibilang, melawan Wolves adalah uji kelayakan bagi skuat ini untuk terus berada di empat besar. Tandang di sebuah stadion di mana tuan rumah belum kalah di enam laga terakhir. Melawan tim paling berkembang musim ini. Perolehan poin yang sungguh rapat. Bumbu-bumbu yang dibutuhkan untuk bikin berat mental sudah lengkap.
Peroleh poin itu yang akan paling penting. Kalah, mental pemain-pemain Arsenal bakal dihajar oleh kenyataan. Apalagi ketika di Old Trafford, Manchester United berhasil membantu Liverpool semakin dekat dengan gelar juara dengan mengalahkan Manchester City.
Ada satu fakta yang menarik dari sebuah tim kalahan yang bernama Manchester United. Terutama bagi fans The Gunners yang selalu gelisah ketika hendak menghadapi United. Begini, meskipun United tengah berada dalam rentetan hasil buruk, mental yang ambruk, dan badai cedera, mereka selalu bisa menyulitkan, bahkan mengalahkan Arsenal. Iya, saya tahu, ini Arsenal-nya saja yang suram.
Kamis (25/4) dini hari, The Gunners tidak secara langsung berhadapan dengan United. Mereka berhadap-hadapan secara langsung via klasemen Liga Inggris. Arsenal boleh melawan Wolves di atas lapangan. Namun, di hati mereka, ada warna merah gelap, berpadu hitam kelam dengan sebuah emblem bergambar setan di dada.
Kalah dari Wolves, Unai Emery tinggal berdoa saja City menang. Jika asuhan Ole Gunnar menang, mereka akan melompat dari peringkat enam ke empat, menggeser Chelsea dan The Gunners. Apakah United akan mengalah demi mencegah Liverpool juara? Omong kosong. Tidak ada entitas bernyawa yang tidak mau bertahan hidup. Terkadang, untuk bertahan hidup, entitas bernyawa itu akan melakukan segalanaya.
Arsenal memang punya dua jalur untuk bermain di Liga Champions musim depan. Lewat empat besar Liga Inggris, atau juara Liga Europa. Mana yang lebih realistis? Semuanya realistis, tapi akan lebih ringan via empat besar Liga Inggris. Tim ini punya sejarah selalu gagal ketika tekanan semakin berat. Babak-bakak akhir kompetisi pendek seperti Liga Champions atau Liga Europa jadi bukti.
Nah, siapa yang akan tertawa, siapa yang akan menangis di awal subuh waktu Indonesia?