MOJOK.CO – Arsenal memang layak kalah dari Liverpool. Bahkan, dibantai itu sudah menjadi keniscayaan. Kok Gooners masih marah-marah?
Karena memang sudah menjadi keniscayaan. Yang namanya keniscayaan, kecuali ada intervensi dari Gusti Allah, Arsenal memang bakal kalah dari Liverpool. Dibantai itu cuma bonus, yang akan terjadi adalah kekalahan.
Kalau kamu Gooners dan rutin menonton Arsenal musim ini, kamu pasti tahu kelemahan skuat asuhan Unai Emery. Mulai dari tidak bisa memainkan empat pemain inti yang menyeimbangkan tim dan membuat performa The Gunners sempat cukup konsisten, beberapa pemain juga tidak berada dalam performa terbaik lagi.
Stephan Lichstainer tidak nyaman ketika dimainkan sebagai bek tengah sebelah kanan. Well, ketika transisi menyerang, pemain asal Swiss itu berperan sebagai bek kanan, sementara Ainsley Maitland-Niles, menjadi sayap kanan, atau bergerak akan rapat ke tengah. Nah, masalah terjadi di transisi bertahan. Tek-tok kedua pemain jelas sangat mentah. Terlebih, Stephan bukan lagi “Stephan Juventus” dengan stamina dan determinasi tinggi.
Itu baru satu aspek di pertandingan ketika dibantai Liverpool. Belum soal koordinsi lini pertahanan dan gelandang yang tidak prima. Beberapa kali, pemain-pemain Liverpool bisa dengan mudah mengontrol bola di depan kotak penalti, untuk mengalirkan bola dari sisi ke sisi atau melakukan penetrasi ke kotak penalti.
Masalah ini sebetulnya sudah terjadi di beberapa pertandingan terakhir Arsenal. Semuanya dimulai ketika kalah dari pemuja setan berwarna merah yang bermain barbar itu. Cederanya Rob Holding di laga pemburu setan memaksa Emery memainkan Granit Xhaka sebagai bek tengah sebelah kiri. Sama seperti Stephan, ia tidak nyaman dengan posisi barunya itu.
Lini tengah tidak lagi hidup. Lini belakang tidak lagi solid dan konsisten. Sejak saat itu, hasil minor didapat. Kalah dari Southampton, imbang melawan Brighton, yang terasa seperti kekalahan. Semuanya seperti petunjuk dari alam raya bahwa Arsenal bakal menderita di rumah The Reds. Dan, memang itulah yang terjadi.
Liverpool punya komposisi pemain yang paling efektif untuk menghukum sebuah tim dengan koordinasi pertahanan seperti tembelek. Jarak antar-pemain kacau dan blunder yang terjadi membantu Liverpool mencetak lima gol ke gawang Bernd Leno. Kalau sudah seperti itu, sudah menjadi keniscayaan untuk kalah, mengapa kamu masih marah-marah tidak terima?
Apa saya perlu selalu mengingatkan bahwa masa transisi dari rezim Arsene Wenger itu bakal berat? Jurgen Klopp butuh tiga tahun untuk berhasil membangun skuat dengan cara bermain dan komposisi yang bagus seperti sekarang. Meski agak susah juga membandingkan masa transisi Liverpool ke Klopp dan Arsenal ke Emery, keduanya punya satu kesamaan, yaitu proses.
Bukankah Gooners seharusnya jadi suporter yang paling tahu akan artinya proses? Apa ya perlu saya ingatkan bahwa sampai saat ini, Liverpool belum pernah menjadi juara Liga Inggris? Sudah 28 tahun mereka menyaksikan tim-tim silih berganti mengangkat piala Liga Inggris. Sampai saat ini, mereka juga masih berproses.
Ibarat anak, Liverpool ini sudah lulus pendidikan S2, sudah punya pekerjaan yang mapan, mungkin juga sudah menikah dan punya satu anak. Dari Liverpudlian bocah, hingga Liverpudlian bangkotan, mereka hanya bisa menyaksikan tim lain berpesta dengan mata yang sembab. Termasuk di dalamnya Arsenal, apalagi ketika menuntaskan satu musim penuh tanpa kekalahan. Apa kalian masih mau marah-marah? Dasar Gooners kacrut.
Yang paling menyebalkan adalah ketika sudah banyak yang mengeluh dengan kepemimpinan Emery. Beliau baru tujuh bulan melatih tim ini. Dengan berbagai permasalahan, baik teknis maupun non-teknis.
Jangan jadi suporter toksik, seperti pemuja setan, seperti fans Barcelona atau Real Madrid yang kalau menang pun masih mengkritik pemain-pemainnya karena tidak bermain dengan “indah”.
Percayalah, masih lebih berat menjadi suporter sebuah klub yang pembinanya seorang gubernur merangkap ketua federasi, tapi di akhir musim malah degradasi. Menjadi Gooners yang timnya layak kalah kok malah marah-marah.
Mendukung Arsenal itu salah satu “pekerjaan” yang berat karena perubahan dari tim kuat menjadi medioker bisa terjadi secara instan.
Ke depan, situasi akan semakin berat, mungkin juga tidak. Kekalahan dengan skor besar dari Liverpool berpotensi meruntuhkan mental dan kebersamaan pemain. Namun, bisa juga menjadi pemersatu karena menjadi tamparan keras bagi semua pemain dan tentu saja pelatih.
Betul, Emery memang tak bisa menghindar dari kritik ketika memaksa turun dengan tiga bek dan Stephan bermain sebagai bek tengah sebelah kanan. Kritik itu hal wajar. Menandakan ada yang salah dan kita semua berpikir sebagai suporter yang sehat. Kritik beda dengan mengeluh. Seperti anak balita saja, yang menggerutu karena tidak dibelikan balon. Cupu!
Lebih baik bersenang-senang dengan meladeni banter dengan fans tim lain ketimbang hanya bisa menyalahkan tim. Karena sejatinya fans, akan selalu berdiri di belakang klub, dalam suka maupun duka, dalam kebenaran dan kesalahan manajemen, dalam kekalahan dan menjadi pecundang.
Ketika Arsenal sedang berbenah, mengapa suporternya tidak? Jangan-jangan, masih ada “Arsene Wenger” di dalam pikiran kalian. Itu ada tanda kutip, jangan diartikan berbeda. Apa-apa kok perlu dijelaskan. Sebel aqutu.
#VCC