MOJOK.CO – Kelebihan 3-4-3 membantu Arsenal memenangi dua piala di kompetisi pendek. Apakah timnas Inggris memandang kesuksesan sebagai inspirasi?
Setiap tim sepak bola di dunia ini membutuhkan keseimbangan. Baik dari cara bermain maupun komposisi skuat. Arsenal dan Mikel Arteta tengah berusaha sangat keras hanya untuk mencapai sebuah keseimnbangan. Perjuangan yang kini dilakukan Gareth Southgate bersama timnas Inggris.
Namun, nampaknya, kedua pelatih ini sedang berada di dalam sebuah “gelembung”. Arteta dan Southgate terjebak ke dalam sebuah pemahaman bahwa keseimbangan berarti pertahanan yang baik. Bukan pemikiran yang aneh, tetapi ketika skuat yang ada tidak mendukung, semuanya tidak berjalan dengan nyaman.
Ini baru soal komposisi pemain. Aspek paling penting dan sulit dilakukan adalah menerjemahkan ide keseimbangan itu menjadi sebuah cara bermain paling ideal. Konsep pertahanan terbaik bisa membantumu memenangi sesuatu juga tidak salah. Namun, untuk memenangi sesuatu, kamu harus mencetak gol lebih banyak dari lawan.
Arsenal dan timnas Inggris tengah berada dalam kebimbangan itu. Keduanya mulai sering menggunakan skema 3-4-3. Sebelumnya, baik Arsenal maupun timnas Inggris banyak menggunakan skema 4-3-3 dan 4-2-3-1.
Untuk timnas Inggris, performa di Piala Dunia 2018 membuat Southgate sangat yakin dengan percobaan 3-4-3. Di Piala Dunia 2018, timnas Inggris menggunakan pendekatan 3-5-2. Skema ini memang berjalan dengan cukup baik. Ketika Southgate kembali ke 4-3-3, timnas Inggris bermain lebih baik lagi.
Masalahnya ada di komposisi pemain. Saat ini, komposisi pemain dengan timnas Inggris diisi pemain-pemain yang bermain sangat baik di skema 4-3-3. Ketika berubah ke 3-4-3 atau 3-4-2-1, mereka kesulitan menduplikasi performa yang sama.
Ada banyak sebab yang menjadi masalah besar. Pertama, ketika kalah dari Belgia, terutama di babak pertama, tidak ada pergerakan yang dinamis di antara tiga pemain depan. Harry Kane, sebagai striker, banyak turun ke bawah. Jack Grealish menjadi satu-satunya sasaran umpan di depan sebagai sumber kreativitas, sementara Mason Mount lebih kepada jembatan antar-lini.
Kedua, baik Grealish dan Mount lebih fokus kepada penciptaan. Timnas Inggris merindukan running in behind yang fasih dilakukan Raheem Sterling. Oleh sebab itu, kerja Kane menjadi sia-sia karena tidak ada pemain yang terbiasa mengisi ruang yang dia ciptakan di lini depan.
Sisi dinamis yang hilang juga dirasakan oleh Arsenal. Aubameyang yang banyak bermain dari kiri tidak memberi dampak berarti ke permainan. Dia justru lebih banyak melepas umpan silang ketimbang menjadi pemain yang menyambutnya. Lacazette bukan Kane yang jago membuka ruang, sementara Willian atau siapa saja yang bermain di kanan “terjebak” di satu sisi saja.
Masalah Arsenal dan timnas Inggris juga sama di lini tengah. Bukan masalah kemampuan individu, tetapi bagaimana pelatih menggunakan pemain yang tepat untuk dua pivot itu. Partey dan Elneny di Arsenal dan Jordan Henderson dan Declan Rice di timnas Inggris lebih condong ke gelandang sentral bahkan bertahan. Keempat pemain masih belum memberi dampak signifikan ketika menyerang.
Padahal, lini tengah yang dinamis dibutuhkan jika Arsenal dan timnas Inggris bermain dengan skema 3-4-3. Yah, setidaknya, gelandang sentral berkontribusi di penciptaan peluang, jika tidak punya atribut untuk mencetak gol. Semuanya dilakukan atas nama keseimbangan.
Mungkinkah timnas Inggris berkaca dari keseimbangan Arsenal?
Dalam sebuah wawancara, Southgate menegaskan dia masih akan mencoba skema 3-4-3. Menurutnya, skema ini akan membuat pertahanan timnas Inggris menjadi lebih baik. Terutama ketika bermain di sebuah kompetisi pendek seperti Piala Dunia, di mana pertahanan menjadi sangat krusial.
Arsenal memang sudah merasakan kelebihan skema 3-4-3. Salah satunya kemampuan tim bertahan dengan jumlah pemain lebih banyak. Kelebihan ini memberi dua keuntungan.
Pertama, Arsenal bisa bertahan dengan situasi menang jumlah pemain. Mengurangi bahaya situasi transisi bertahan di mana Arsenal banyak menderita musim lalu. Kedua, menang jumlah pemain ketika proses awal build from the back. Akses bola ke depan menjadi lebih nyaman karena opsi umpan lebih banyak.
Kelebihan dari skema 3-4-3 ini membantu Arteta langsung memenangi dua piala di awal karier kepelatihannya bersama Arsenal. Jadi, apakah Southgate memandang kesuksesan Arteta di kompetisi pendek sebagai inspirasi?
Arsenal juga sempat menjadi salah satu tim dengan pertahanan terbaik di Liga Inggris. Sayangnya, ketika unsur dinamis itu tidak konsisten terlihat, tabungan gol Arsenal juga menjadi sangat minor. Bukan hanya soal membuang banyak peluang, bahkan terkadang The Gunners tidak menciptakan situasi berbahaya di wilayah lawan.
Masalah timnas Inggris juga sama. Peluang yang didapat, praktis hanya dari dua situasi. Pertama, umpan silang yang mudah diantisipasi lawan. Kedua, tembakan dari luar kotak penalti yang tidak efektif ketika lawan menumpuk pemain.
Di beberapa tulisan sebelumnya, saya sudah menegaskan satu hal. Pertahanan yang baik memang (mungkin) akan memenangkan sebuah kompetisi. Namun, jika tidak diimbangi dengan penciptaan peluang, cepat atau lambat, pertahanan yang kokoh akan jebol juga.
Ketika situasi itu terjadi, mental pemain akan terganggu. “Buat apa saya bekerja keras di belakang, kalau mereka yang di depan tidak berdaya?”
Perbedaan perasaan ini bisa berbahaya. Yah, kita tahu, namanya saja tim. Pola pikir dan mental juga harus sama. Kalau bisa, semua lini saling melengkapi, bukan lantas menyakiti hati dengan tidak bermain baik dan ujungnya menangis karena takdir tidak sesuai prediksi.
BACA JUGA Mikel Arteta Perlu Bangun dari Mimpi Basah atau Arsenal Bakal Ejakulasi Dini Tiada Berarti dan tulisan-tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.