Orang tua ingin anaknya mendapatkan sekolah terbaik. Biaya mahal tak jadi soal, asal buah hati mendapatkan pendidikan berkualitas bagi anaknya.
“Saya pilih sekolah untuk anak saya yang bagus dalam pembentukan karakter,” kata Hesti Iriani (52) pengusaha aksesoris pengantin asal Bantul yang menyekolahkan anaknya di SD Tumbuh 4, Bantul, Yogyakarta.
Proses pencarian sekolah untuk anak bungsunya akhirnya mengerucut pada SD Tumbuh yang dikenal karena keberagaman siswanya, mulai dari agama, etnis dan lain-lain. Siswa di sekolah itu selain pelajaran biasa juga mendapat materi soal attitude, bara berpikir kritis, kemandirian, serta proses pembelajaran yang tidak terlalu text book.
“Uniknya di SD Tumbuh itu ada kuota 1-2 anak yang berkebutuhan khusus. Nah ini bagus buat anak saya, agar dari kecil bisa belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang. Nggak ada ceritanya bully-bullyan di sekolahnya Raffa,” kata Hesti menyebut anaknya, Keanu Raffa Raditya (10) yang kini menginjak kelas 4.
Hesti tidak berpikir panjang untuk menyekolahkan anaknya di SD Tumbuh, meski ia sadar biaya masuk di sekolah tersebut tergolong mahal. “Dulu biaya masuknya Rp 25 juta, SPP Rp 1 juta. Kalau sekarang biaya masuk sekitar Rp 30 juta,” kata Hesti.
Bagi Hesti, biaya tersebut sangat sesuai dengan fasilitas pendidikan yang didapatkan anaknya. Dari sisi infrastruktur, sumber daya di sekolah serta akses yang dimiliki sekolah. “Anak-anak bukan hanya belajar di kelas atau di sekolah, mereka juga diajak pergi kunjungan ke pabrik atau kemana,” ujar Hesti.
Anak bungsunya juga senang kalau ke sekolah. Nggak ada ceritanya anaknya males kalau dibangunin untuk berangkat sekolah. Bahkan ketika saatnya dijemput untuk pulang. Anaknya minta nanti saja. “Raffa suka main di sekolah dengan teman-temannya,” ujar Hesti.
Saya bertemu dengan narasumber berikutnya, Dina (42), seorang wiraswasta yang tinggal di kawasan Godean. Anaknya yang pertama, yang juga bernama Rafa, saat ini baru saja naik ke kelas empat sekolah dasar. Sedangkan, anaknya yang kedua, Fian, baru saja lulus dari TK Mutiara Persada dan akan masuk ke Sekolah Dasar Mutiara Persada.
SD Mutiara Persada di tahun 2017 pernah viral gara-gara saat surat cinta dari kepala sekolah bagi 69 wali murid kelas enam tersebar ke publik. Dalam surat itu, kepala sekolah menyampaikan pesan tersirat yaitu nilai bukanlah segalanya.
“Dulu awalnya memilih sekolah di Mutiara Persada karena Rafa saat TK sempat tidak mau bersekolah,” cerita Dina. Saat itu, Rafa disekolahkan di TK dekat rumah. Namun, baru beberapa hari masuk sekolah, Rafa menjadi mogok sekolah.
Setelah dibawa ke psikolog, Bu Dina mengetahui Rafa ada trauma yang membuatnya tidak mau sekolah. Saran dari psikolog, ia diminta berkeliling mengantarkan Rafa dari sekolah ke sekolah mulai yang terdekat dari rumah hingga yang jauh.
“Misalnya ke TK tertentu, Rafa nggak mau turun,” ungkap Dina sembari geleng-geleng kepala karena gemas. Sampai akhirnya, saat di depan TK Mutiara Persada, Rafa langsung mau bersekolah di sana.
Rupanya, Rafa merasa nyaman di sekolah tersebut. “Kalau di Mutiara Persada itu gurunya disebut Miss, dan memang di sana Miss-nya sangat sabar dan pintar dalam membimbing anak,” ungkap Dina lagi.
Setelah lulus, barulah Rafa melanjutkan ke SD Mutiara Persada. Alasannya saat itu karena Dina tidak ingin terlalu ribet mengurus sistem zonasi. “Adiknya, Fian, pun jadi ikut bersekolah di Mutiara Persada dan keduanya nyaman,” ungkap Dina.
Kata Dina, saat duduk di kelas satu, Rafa sempat ada kendala dalam membaca. Namun, berkat bimbingan guru dan didampingi oleh psikolog dari sekolah tersebut, Rafa dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Hal itu juga didukung adanya pelajaran tambahan bagi siswa yang masih kesulitan atau belum mengerti tentang pelajaran.
Sebenarnya, Dina tidak memiliki kriteria tertentu untuk memilih sekolah. Namun begitu, di Mutiara Persada, ia semakin mantap karena anaknya juga mendapat pembelajaran yang baik seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. Kata Dina, Rafa bahkan sudah meminta, nantinya melanjutkan SMP di Mutiara Persada.
“Dari dulu memang ingin menyekolahkan anak di sekolah nasional, meskipun dari keluarga muslim. Dan kebetulan di Mutiara Persada ini sekolah swasta tapi nasional, mereka juga mendatangkan guru agama sesuai agama yang dianut anak,” jelas Dina bersemangat dalam menjelaskan.
Biaya yang dikeluarkan setiap bulan untuk membayar uang SPP memang cukup menguras kantong, namun tidak apa-apa karena memang sudah keinginan anaknya di sekolah tersebut. “Kalau Rafa itu 500 ribu rupiah, kalau Fian saat TK itu 1 juta rupiah,” tambah Dina. Selain itu, juga ada uang tahunan yang dibayarkan setiap kenaikan kelas.
Menurut Dina, uang yang dibayarkan sesuai dengan fasilitas yang didapatkan. Bahkan, komunikasi antar wali kelas, Miss pengampu pembelajaran, anak, dan orang tua anak juga sangat bagus, terstruktur, dan perhatian.
Di masa pandemi covid-19 ini, sekolah mewajibkan siswanya untuk daring. Memang ada perbedaan, ketika biasanya anak dituntut mandiri di sekolah, saat ini didampingi orang tuanya, harus dikejar dan diberi motivasi agar ingin mengerjakan. Namun, Dina mengapresiasi sekolah karena guru sangat komunikatif dan mau memberitahukan jika ada tugas yang kurang.
Dina malah sempat geleng-geleng kepala karena anak-anaknya yang bersekolah di Mutiara Persada sangat senang ketika mendapatkan pelajaran. “Mereka itu kalau jam delapan pagi tidak ada yang telat, sudah duduk, mendengarkan dan komunikatif juga untuk belajar daring,” ungkap Bu Dina.
SD Mutiara Persada, terletak di Jalan Sumberan Baru, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Ada dua pilihan kurikulum, yaitu kurikulum nasional yang menggunakan kurikulum K-13 dan kurikulum internasional yang menggunakan gabungan kurikulum K-13 dan kurikulum Cambridge.
Model pembelajarannya mengajak siswa melakukan perilaku sosial yang baik dan mempunyai keterampilan untuk memecahkan masalah. Anak akan diajarkan untuk mempunyai pengetahuan luas, haus untuk menimba ilmu, dan berempati dengan sesama.
“Program yang diadakan di SD Mutiara Persada ini seperti belajar Bahasa Mandarin, belajar Bahasa Inggris dengan Native English Speaking Teacher, English Day Outdoor, dan belajar kewirausahaan,” jelas humas Mutiara Persada melalui media Whatsapp.
Sedangkan, fasilitas yang diberikan mencakup buku paket dan buku tulis semua kebutuhan siswa, kolam renang, joging track, lab ilmu pengetahuan alam, natural lab, ruang komputer, ruang doa, dan ruang terbuka hijau. Ekstrakurikuler yang ditawarkan meliputi berenang, sekolah basket, menari, membuat film, orkestra, robotic, dan taekwondo.
Beragamnya program dan fasilitas yang disediakan, rupanya cukup seimbang dengan biaya yang harus dibayarkan.
Jika memilih masuk Sekolah Dasar Mutiara Persada kurikulum nasional, maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 15 juta. Biaya tersebut sudah termasuk biaya registrasi, sumbangan pendidikan, seragam dan SPP. Uang SPP perbulan untuk kurikulum nasional Rp 1,1 juta.
Jika memilih masuk Sekolah Dasar Mutiara Persada kurikulum internasional, maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 30,4 juta terdiri biaya registrasi, sumbangan pendidikan, seragam dan SPP. Uang SPP perbulan Rp 2, juta.
Christina Prihanto (42) ibu tiga anak ini belum lama pindah ke Jogja dari Purworejo. Tahun lalu, ia memasukan tiga anaknya di Sekolah Budi Utama. Mulai dari TK, SMP dan SMA. “Tiga anak itu uang masuknya habis 45 juta rupiah. Yang SMA 22,5 juta rupiah, SMP 18 juta rupiah, yang TK 7,5 juta rupiah,” kata agen properti ini.
Menurut Christina, biaya tersebut relatif terjangkau dibandingkan beberapa sekolah swasta lain di Yogyakarta. “Yang murah yo sekolah negeri, tapi kan sistem zonasi. Saya nggak bisa karena Kartu Keluarga masih Purworejo,” katanya.
Alasan lain, ia memilih Budi Utama karena tiga sekolah tersebut satu kawasan sehingga antar jemputnya gampang. Selama pandemi ini biaya SPP Razen, anaknya yang sekolah di TK Budi Utama turun, dari yang sebelumnya Rp 800 ribu rupiah perbulan menjadi 600 ribu rupiah. “Fasilitas sekolah juga lengkap dan pendidikan karakternya juara,” katanya saat dihubungi via pesan WhatsApp.
Bagaimana dengan orang tua yang menyekolahkan anaknya di negeri .
Saya berbincang melalui Whatsapp dengan seorang Ibu muda yang menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar Pangudi Luhur Yogyakarta. Sebut saja Andin (29), seorang psikolog yang bertempat tinggal di Kota Jogja. Saat ini, Nathan, anaknya baru saja naik ke kelas dua sekolah dasar.
Sayang, selama satu tahun bersekolah di Sekolah Dasar Pangudi Luhur Jogja ini, memang belum pernah bersekolah secara tatap muka akibat terhalang Pandemi Covid-19. Akibatnya, Nathan belum bisa menikmati fasilitas yang diberikan dan ekstrakurikuler yang ada.
“Selama ini sekolah daring dengan pembagian tugas melalui google teams, namun setiap hari Senin dan hari Kamis diadakan Zoom atau pertemuan secara daring,” ungkap Bu Andin yang baru saja selesai dari kegiatannya bekerja. Kebetulan, selama menempuh pendidikan satu tahun di Sekolah Dasar Pangudi Luhur Yogyakarta, Nathan mendapatkan bantuan kuota dari pemerintah.
Menurut Bu Andin, guru-guru di Sekolah Dasar Pangudi Luhur Yogyakarta ini sangat disiplin, dalam sehari tugas yang diberikan bisa lebih dari dua dan tidak boleh ditunda-tunda, seperti pagi hari diberikan tugas maka siang sudah harus dikumpulkan.
Alasan Bu Andin memilih menyekolahkan anaknya di SD Pangudi Luhur karena menuju pendidikan selanjutnya ke SMP Pangudi Luhur Yogyakarta lebih mudah.
Meski SD negeri gratis, ada pertimbangan tertentu dari Andin. “Kedisiplinan yang tinggi, dan pembelajaran agama yang mendalam bagi anak jadi alasan. SD itu enam tahun sekolah, jadi harapannya anak juga lebih kuat di pelajaran agama,” pungkas Andin.
Saat saya menghubungi SD PL Yogyakarta, dari sisi biaya, sekolah ini mematok biaya yang harus dibayarkan untuk uang gedung sebesar Rp 3,5 juta – Rp 4 juta yang bisa di cicil selama satu tahun. Lalu, untuk SPP yang harus dibayarkan sebesar Rp 350 ribu yang dibayarkan setiap bulan. Selain itu, biaya di sekolah ini bisa berbeda-beda menyesuaikan kondisi ekonomi calon siswa.
BACA JUGA Liputan Jogja Bawah Tanah, lainnya