MOJOK.CO – Perhatikan di lini sosial mediamu, hitung, berapa banyak acara mahasiswa yang memilih pakai bahasa Indonesia saja. Ayo, berapa?
Jika kamu tinggal di kota yang banyak berdiri universitas atau sekolah tinggi–seperti Jogja–tentu tidak akan sulit menemukan event acara-acara yang dapat kita ikut semarakkan. Acara-acara ini, kebanyakan adalah bikinan para mahasiswa, yang tidak puas jika waktunya hanya habis dengan urusan perkuliahan saja.
Para mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) ini, memiliki semangat memberikan waktu dan tenaganya untuk berkontribusi–setidaknya pada organisasinya sendiri–untuk membuat beraneka rupa acara.
Nah, acara mahasiswa ini, selain untuk berkontribusi bagi masyarakat serta memanfaatkan waktu luang mereka, secara tidak langsung juga sebagai adu ketenaran antar organisasi atau perkumpulan satu dengan lainnya.
Namun, yang saya perhatikan, para mahasiswa ini lebih sering menamakan acara atau tagline acaranya dengan menggunakan bahasa Inggris. Padahal, banyak dari nama-nama acara mahasiswa tersebut yang sangat terkesan dipaksakan dan bahkan nggak cocok dengan substansi acaranya.
Contoh yang sangat sederhana, kalau dibaca TOR-nya, acara yang bakal dilaksanakan itu, mendaku untuk melestarikan budaya Indonesia. Namun, dalam nama acara mahasiswa itu, blas nggak ada bahasa Indonesia atau bahasa daerah Indonesia-nya sama sekali. Justru kata yang masuk ke dalam nama acara tersebut adalah ‘culture’. Sungguh ironis sekali, bukan?
Ada beberapa kemungkinan yang menjadikan para mahasiswa ini memutuskan bikin acara dengan nama yang ke-Inggris-inggrisan.
Pertama, fenomena yang terjadi ini, sepertinya berhubungan dengan iming-iming globalisasi. Era globalisasi yang digaungkan itu, semacam menurunkan kecintaan dan kebanggan kita untuk menggunakan bahasa persatuan bangsa ini. Cielah. Bahasa Inggris pun akhirnya menjadi lebih populer.
Saya sangat ingat sekali, sejak isu tentang globalisasi ramai dibicarakan, anak-anak seangkatan saya, jadi rame-rame berusaha sok Inggris. Lembaga kursus bahasa Inggris pun muncul di mana-mana. Ya, mohon maaf. Kan biar ngikutin zaman. Supaya nampak hits, keren, dan beken.
Kedua, kehadiran teknologi yang kemudian memunculkan berbagai jenis sosial media, menjadikan generasi sekarang hidup dengan sebuah branding. Branding kita di dunia maya menjadi sangat penting. Bahkan banyak acara yang dibikin untuk mengajarkan bagaimana menguatkan personal branding kita.
Jadi, tidak mengherankan jika semakin keren nama acaramu, maka akan dianggap semakin keren juga organisasimu itu. Nama acara pun menjadi penting untuk dapat meningkatkan gengsi antar lembaga.
Sehingga, untuk menelurkan nama acara yang keren ini, mereka bakal memikirkannya masak-masak. Sangat mendalam dan butuh brainstroming yang tidak main-main. Ya, saya pernah berada pada situasi tersebut. Rapat untuk brainstroming nama dan tagline acara ini, jauh lebih dipikirkan secara matang dibandingkan substansi acara itu sendiri.
Ketiga, nama acara yang lebih sering pakai bahasa Inggris, selain untuk kebutuhan branding, juga supaya acara tersebut lebih nginternasional. Sehingga, acara tersebut dapat menjangkau lebih banyak khayalak dan tidak terbatas di area sekitar saja.
Simpelnya saja nih, sebuah acara dinamakan ‘Seminar Nasional’ sebenarnya penginnya yang ikutan bisa dari berbagai daerah di Indonesia. Nah, kan keren tuh, kalau bikinnya berskala nasional. Walau ya, gitu. Meski judulnya ada kata ‘nasional-nya’, yang banyak terjadi sih, yang ikutan mayoritas masih orang dalam sendiri. Ya nggak apa-apa sih, namanya juga usaha. Ya, semacam itulah tujuan untuk meng-internasional-kan sebuah acara.
Keempat, alasan generasi sekarang lebih memilih nama acara pakai bahasa Inggris, karena bahasa ini terkesan lebih singkat dan simpel. Misalnya nih, nama acaranya ‘Edu Culture Fest’. Kalau nama acara itu dialih bahasakan Indonesia, jadinya, ‘Festival Pendidikan dan Budaya’.
Bagaimana? Jadi kelihatan nggak keren, kan? Nama acaranya pun jadi nggak singkat, padat, dan praktis. Meski kalau pakai bahasa Indonesia jadi kelihatan kurang mantap, masalahnya, kalau dibaca dengan lebih detail lagi, dalam acara tersebut akan disajikan juga tari-tari kreasi tradisional. Nah loh, mashook nggak sih?
Tentu saja hal ini sangat menyedihkan. Bagaimana pun juga, bahasa merupakan ekspresi budaya. Jadi ketika bahasa tersebut sudah jarang digunakan, itu artinya ia tidak lagi mampu menjadi ekspresi dari kehidupan keseharian masyarakatnya.
Apalagi kita tahu bahwa sebuah nama dipilih bertujuan untuk branding. Kalau branding-nya aja udah pakai bahasa asing, bagaimana dengan substansi di dalamnya? Apakah masih akan tetap mengacu pada nilai-nilai nasionalisme? Kalau begini, apakah kita akan tetap berhasil melestarikan bahasa kita?
Ya, gimana, ya. Katanya kan pengin dilestarikan nih, tapi kok branding-nya aja seperti nggak ngajakin buat ngelestariin dan bikin kita pengin terus menggunakan. Lak ya mbel, ya.
Padahal nih, katanya dulu, kita memiliki cita-cita besar supaya bahasa Indonesia nantinya dapat menjadi bahasa internasional. Sebuah cita-cita yang sangat bombastis, Saudara-saudara.
Tapi ya gitu, kitanya sendiri aja malah jarang nggunain. Apalagi dalam percakapan keseharian aja nih, kita lebih suka nyampur-nyampur bahasa gitu. Lah, bagaimana orang lain yang bukan pemilik bahasanya, bakal pengin nggunain bahasa kita juga? Lha wong kitanya sendiri aja kelihatan nggak sayang gitu kok.
Ngomong-ngomong nih, kembali ke masalah acara mahasiswa tadi. Beneran nih, kalian bakal lebih milih pakai bahasa asing terus biar nampak keren?
Okelah, nama acaranya pakai bahasa asing, kalau memang itu diperlukan. Misalnya, substansi acara memang sedang membahas bahasa tersebut, ataupun acara itu memang bertaraf internasional.
Tapi tolonglah, kalau substansi acara itu memang tentang budaya Indonesia, nggak usahlah sok pakai bahasa Inggris gitu. Iya, saya tahu kalau kalian akan kesulitan nemuin kata dalam bahasa Indonesia yang bakal pas dan ngewakilin. Tapi masak gitu aja langsung menyerah? Ayolah, kreativitasnya itu dipakai, mbok tolong~