Berita Resmi Statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) nomor 79/08/Th. XX tanggal 15 Agustus 2017 merilis Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017. Saya kagum dengan tampilan statistik semacam ini yang memperlihatkan betapa woles-nya teman-teman BPS, sampai urusan bahagia disurvei sedemikian seriusnya.
Sudah tentu BPS tidak akan sembrono memaparkan hasil surveinya. Rencana Strategis BPS menyatakan dengan terang benderang bahwa visi BPS adalah “Pelopor Data Statistik Terpercaya Untuk Semua”. Maka sudah jelas bahwa rilis Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017 adalah salah satu produk yang menunjang visi itu, bukan menjungkirbalikkannya. Apalagi Tujuan BPS juga memuat aspek peningkatan kualitas data statistik. Wis to, meski terkesan woles sekali, tapi angka Indeks Kebahagiaan Indonesia adalah angka yang benar-benar serius.
Salah satu wujud keseriusan BPS adalah dengan update metode. Tahun 2014, Indeks Kebahagiaan hanya menggunakan Dimensi Kepuasan Hidup belaka. Tahun 2017, Dimensi Kepuasan Hidup ditambahkan dengan Dimensi Perasaan dan Dimensi Makna Hidup. Dimensi kepuasan hidupnya dilengkapi pula dengan subdimensi kepuasan hidup personal dan hidup sosial. Maka Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2017 yang diperoleh dari hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) dengan hasil 70,69 dari skala 0-100 itu merupakan indeks komposit dari ketiga dimensi itu tadi. Pokoke jos.
Walau begitu, demi semakin berkualitasnya data BPS, kiranya penting bagi saya untuk memberikan masukan-masukan berharga perihal aspek-aspek bahagia yang perlu dikaji untuk pengukuran Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2020 mendatang.
Menambahkan Karakteristik Jomblo
Salah satu muatan rilis data BPS adalah Indeks Kebahagiaan Indonesia menurut beberapa karakteristik, yang meliputi klasifikasi wilayah, jenis kelamin, status perkawinan, hingga kelompok umur. Khusus bagian status perkawinan ini kemudian bikin bias dan kalau tidak ditangani secara serius bisa mempengaruhi kredibilitas data BPS.
Disebutkan bahwa Indeks Kebahagiaan penduduk yang belum menikah cenderung lebih tinggi dibandingkan penduduk dengan status perkawinan yang lain. Nah, soal yang satu ini kemudian disalahgunakan oleh jomblo-jomblo se-Indonesia Raya yang menyebut bahwa mereka itu bahagia. Lebih bahagia dari yang sudah menikah. Padahal, dari IG Story, dari tweet, dari status Facebook, semuanya masih mencerminkan penggalauan massal. Semuanya ditutupi dengan menggunakan data BPS yang sebenarnya ditujukan untuk profil lajang.
Maka, lain kali, kiranya BPS perlu menggali karakteristik jomblo ini, terutama bagi jomblo-jomblo yang mengklaim dirinya bahagia, padahal sebenarnya kebahagiaan mereka justru terjadi karena aspek nomor 2 berikut ini.
Bahagia Melihatmu Dengannya
Bagi lajang yang jomblo, level hikmat tertinggi adalah bahagia melihat gebetan hidup bersama pilihannya. Saya, misalnya, pernah punya gebetan abadi yang tidak pernah mau dengan saya dan lebih memih laki-laki lain. Pada puncak seluruh kekecewaan, akhirnya saya perlu memaksa untuk bahagia melihat dia posting foto di IG dengan kekasihnya. Yha, sungguh hikmat yang paling paripurna.
Melihat indikator, mungkin sebenarnya BPS bisa menggunakan parameter-parameter yang telah ada dalam dimensi makna hidup: hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri, hingga tujuan hidup. Dengan menggabungkan aspek-aspek pendalaman status lajang atau jomblo, dan eksplorasi dimensi makna hidup yang relevan, rakyat jadi bisa mengetahui apakah sebenarnya si jomblo itu benar-benar bahagia melihat gebetan abadinya bahagia karena memang telah mencapai puncak hikmat atau hanya sekadar upaya pengingkaran sakit hati belaka.
Bahagia Melihat Orang Lain Susah
Di era modern, mestinya hal semacam ini harus terus dieksplorasi oleh BPS. Sudah sering kita temui orang-orang yang justru bahagia melihat orang lain—kadang-kadang saudara atau bahkan teman sendiri—kesusahan.
Hal ini bahkan perlu dieksplorasi BPS pada teman-teman sesama PNS.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa PNS, terutama yang ada di garda depan pelayanan publik, selalu punya citra ingin mempersulit pelanggan yang hendak meminta pelayanan publik, entah itu izin atau sekadar KTP dan kartu keluarga. BPS perlu mendalami apakah para PNS garda depan itu benar-benar bahagia melihat pelanggannya susah harus bolak-balik ke kantor pemerintah atau bagaimana. Kadang-kadang, orang yang datang mengurus izin itu memang ajaib; sudah dokumennya tidak lengkap, inginnya kalau bisa “datang hari ini, izinnya keluar kemarin”.
Survei dengan parameter ini sungguh penting untuk meluruskan citra birokrasi di hadapan rakyat, khususnya urusan pelayanan publik.
Bahagia Telah Nge-Share dan Bukan Membantu
Sebagian dari kita pastinya ikut-ikutan melihat video insiden dua orang terjun dari apartemen di Bandung. Bagian mana yang bikin miris? Menurut saya, hal yang paling keji sebenarnya adalah begitu banyak orang yang memegang ponsel, mengarahkannya ke atas kala orang kedua hendak terjun, dan bonus sedikit berteriak-teriak histeris.
Tidak tampak ada orang-orang yang cari gorden atau sejenisnya untuk setidaknya menahan agar orang kedua itu tidak jatuh dan lantas ikutan meninggal.
Sesudah dua-duanya meninggal, barulah gambar di video beredar begitu masifnya. Lha, yang merekam itu tampaknya lebih bahagia dengan merekam dan lalu membagi ke teman-temannya untuk kemudian viral daripada bahagia melihat orang kedua itu tidak jadi mati.
Nah, untuk tidak menimbulkan prasangka buruk, apakah mereka benar-benar bahagia atau tidak, penting bagi BPS untuk menggali lebih komprehensif bahagia dari sisi ini.
Bahagia Sesudah Menyebar Hoax
Saya punya teman, mantan scientist yang punya gelar S2. Dulu dia begitu peduli dengan pengembangan diri anak buahnya. Kini dia lebih sering muncul di Facebook dengan share status, gambar, maupun video yang sebagian di antaranya mengandung kebencian, sisanya lagi merupakan hoax.
Setiap kali diingatkan bahwa yang barusan dibagikannya adalah hoax, jawaban sang teman justru lebih nyolot, “Saya hanya nemu di internet kemudian saya bagi, jadi bukan salah saya!”
Sebagai orang yang belasan tahun menjadi scientist, tentunya teman saya tadi punya pola pikir sangat ilmiah, cek-ricek, hingga tabayun. Jika kemudian dia jadi hobi menebar hoax, sudah barang tentu ada aspek yang membahagiakan dirinya hingga kemudian mengulang dan mengulang lagi untuk menyebarluaskan hoax.
Kalangan yang sejenis dengan teman saya itu jumlahnya makin hari makin banyak, dari kubu mana pun. Pertumbuhan yang lebih cepat dari ameba dan penyebaran hoax yang mengalahkan kecepatan cahaya sudah tentu bermuara pada satu hal yang disukai dan patut diduga terkait dengan kebahagiaan.
Maka, penting bagi BPS untuk menambahkan parameter kebahagiaan sehabis menyebar hoax, sekaligus untuk menjawab pertanyaan frustasi buzzer idealis bahwa membagikan klarifikasi hanya mendapat like dan share seperlima dari unggahan yang berisi hoax.
Terlepas dari semua masukan di atas, sejatinya saya lebih penasaran, apakah teman-teman petugas BPS yang menjalankan Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) ini di 487 kabupaten/kota lokasi sampel—terutama yang penempatannya jauh dari kampung halaman—sudah cukup bahagia?
Karena biasanya, kebahagiaan tertinggi seorang PNS adalah jika permohonan mutasi ke kampung halaman disetujui.