Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Kenangan Akan Tempat Berak yang Ternyata Bisa Sangat Sentimentil

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
13 Juni 2019
A A
legok
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Kenangan akan sebuah tempat memang tak selalu berasal dari segala sesuatu yang indah-indah. Ada kalanya, saat kita berada di tempat yang baru, tempat yang teratur, dengan segala ritme kehidupan yang efisien, taktis, dan nyaman, kita justru rindu pada tempat lama, yang penuh dengan kesemrawutan dan seringkali membuat kita repot lagi tidak teratur.

Dalam salah satu tulisannya (kalau tidak salah, judulnya Sebuah Warung Kopi Di Lucky Plaza), Umar Kayam pernah menuliskan tentang kerinduannya akan Jogja, saat ia berada di Singapura. Dimana yang dirindukan oleh Umar Kayam saat itu justru bukan suasana yang hangat dari Jogja, atau keramahan orang-orangnya. Melainkan aroma khas dari bekas sampah yang baru saja disapu.

Selama mudik ke kampung halaman kemarin, saya agaknya marasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh Umar Kayam melalui “Sungai Legok”

Legok bagi saya bukanlah sungai biasa, ia sungai yang penuh kenangan masa kecil yang kadang riang kadang muram.

Saya tak tahu apa nama resminya, namun yang jelas, warga menyebutnya sebagai “legok”. Sebuah sungai kecil yang berada di pinggir kampung. Sungai ini menjadi batas alam yang memisahkan kampung saya dengan kampung sebelah. Sungai ini punya arus yang tak besar. Bentuk tanahnya unik. Kiri dan kanannya dipenuhi oleh hutan bambu yang membuatnya menjadi rindang.

Di sungai inilah, dulu, ketika orang-orang belum punya kamar mandi di rumahnya, membuang hajatnya dengan penuh suka-cita.

Saya ingat betul, dulu, setiap pagi, di sepanjang sungai, setidaknya ada 3-5 orang yang berjongkok untuk berak. Jumlahnya bisa bertambah bisa berkurang. Sungai ini, tiap pagi, memang selalu ramai. Sebelum berangkat bekerja, sebelum berangkat ke sekolah, orang-orang selalu menyempatkan diri untuk berak lebih dahulu.

Orang-orang dengan etel membuka celananya tanpa merasa risih pantatnya terlihat oleh orang di sebelahnya, yang tentu saja juga sama-sama berak.

Kadang percakapan antar mereka terjadi begitu saja. Sambil berak, mereka bisa ngobrol dengan sesama pem-berak lain tentang apa saja. Tentang pendidikan anak, tentang pembangunan masjid, tentang pekerjaan, tentang apa saja. Dialektika terbangun di atas tahi-tahi yang mengambang dan hanyut dibawa arus.

Kami semua punya semacam spot pijakan favorit. Beberapa bahkan membuat penanda tersendiri. Penanda yang kemudian memunculkan semacam aturan tak tertulis yang seolah berkata “Itu tempatku, kalau aku dan kamu kebetulan sama-sama kebelet berak pada waktu yang sama, aku lebih berhak dan lebih otoritatif untuk berak di situ. Kamu carilah tempat pijakan yang lain. Kau boleh pakai tempatku, tapi nanti, kalau aku sudah selesai.”

Karena legok menjadi satu-satunya tempat untuk buang air besar, maka dulu legok selalu stand by 24 jam. Saya pernah kebelet berak jam 1 malam, dan kemudian harus mengumpulkan nyali agar berani turun ke legok dan berak di sana.

Seiring dengan perkembangan jaman dan makin tingginya kesadaran masyarakat akan keberadaan MCK, juga seiring dengan program pemerintah yang menggelontorkan dana PNPM Mandiri yang salah satunya adalah untuk membangun MCK kolektif bagi warga yang rumahnya masih belum punya MCK, legok tak lagi banyak digunakan sebagai tempat buang air besar.

Terakhir, mungkin empat atau lima tahun lalu, masih ada beberapa orang yang berak di legok. Sekarang kelihatannya sudah tak ada.

Kemarin, sepulang dari makam untuk berseh, saya meniatkan diri untuk menengok legok. Rasanya aneh. Airnya tak sederas dulu. Juga tentu saja tak sebersih dulu.

Iklan

Saya mencoba mencari spot favorit saya. Masih ada. Bentuknya tak berubah.

Ingatan saya kemudian melayang pada fragmen tahi-tahi yang jatuh dari dubur ke air yang kemudian menghasilkan bunyi mak-plung dengan irama yang begitu ritmis dan melodis. Saya melihat bayangan Agus kecil di sana. Bayangan bocah kecil dengan pantat yang tentu saja sangat tidak menyelerakan, berjongkok, seraya menyanyikan lagu soundtrack Jin dan Jun.

Ya Tuhan, kenapa tempat berak bisa sesentimentil ini.

Benar apa kata orang bijak, setiap silit punya sejarah dan kisahnya sendiri-sendiri.

Terakhir diperbarui pada 25 November 2020 oleh

Tags: beraklegok
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

susah bab, kloset duduk, kloset jongkok mojok.co Kenapa Kita Malu Sekali Ketahuan Sedang Berak sampai Harus Menyamarkan Suaranya?
Pojokan

Kenapa Kita Malu Sekali Ketahuan Sedang Berak sampai Harus Menyamarkan Suaranya?

31 Juli 2021
ILUSTRASI Bisa Buang Air Besar di Mana pun Adalah Berkah. Kami Menyebutnya Bakat Alami MOJOK.co BAB berak toilet wc jongkok toilet duduk
Pojokan

Bisa Buang Air Besar di Mana pun Adalah Berkah. Kami Menyebutnya Bakat Alami

30 Juli 2021
Berak di Bakau dan Kritik Sosial di Dalamnya
Video

Berak di Bakau dan Kritik Sosial di Dalamnya

7 Januari 2020
kebelet
Pojokan

Urusan Buang Air yang Mempengaruhi Harga Diri di Masa Depan

29 Oktober 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.