Tak Perlu Menjadi Indigo Untuk Meraba 5 Mitos Piala Dunia Ini

Tak Perlu Menjadi Indigo Untuk Meraba 5 Mitos Piala Dunia Ini

MOJOK.COMeraba mitos Piala Dunia bisa menjadi pekerjaan yang berat, tapi juga ringan. Tak perlu menjadi anak indigo untuk melakukannya.

Personel Mojok Institute duduk bersila dengan tenang di sebuah ruangan. Agak remang karena lampu ruangan itu sudah hampir mati. Dua matanya setengah menutup, seperti tengah bersemadi dengan khusyuk. Sebuah laptop berlogo apel kroak, masih baru, kredit belum lunas, tengah menyala di atas pangkuannya.

Tiba-tiba. Sebuah ide datang berkelabat. Ide ini membawa 5 mitos Piala Dunia yang perlu untuk dituliskan. Personel Mojok Institute ini perawakannya kurus kering seperti anak cacingan, gigi agak maju dengan peta-peta calon behel yang sudah terlihat, janggut yang cuma beberapa helai itu menjuntai manja, dan sepiring jengkol mentah, camilan kesukaannya, yang ada di sebelahnya, belum ia sentuh.

Ternyata, tak perlu menjadi indigo untuk merangkum 5 mitos Piala Dunia ini. Ia berbekal sebuah laptop dan mesin pencarian.

Ketika ide ini datang, badannya bergetar seperti kerasukan. “Saya izin memanggil embah,” gumamnya. “Silakan!” kata temannya si tukang gambar Fansuri, stuntman Wiro Sableng, menyahut. Personel Mojok Institute ini kembali bergetar. Ia memanggil si embah. Embah Google.

Ia bukan anak indigo. Ia anak perkusi dan kendang. Yang tega melantunkan “Suket Teki” di jam 3 pagi menjelang sahur ketika teman-temannya tengah lembur. Tapi ia bisa meraba mitos-mitos ini. Sungguh pemandangan yang mengerakan. Inilah 5 mitos yang dirangkum oleh si bukan anak indigo ini.

1. Juara Piala Konfederasi selalu gagal di Piala Dunia.

Piala Konfederasi adalah turnamen pemanasan yang digelar satu tahu sebelum Piala Dunia sepak mula. Pesertanya adalah negara-negara yang menyandang gelar juara di kompetisi masing-masing benua. Mulai dari juara Piala Asia, Piala Afrika, Piala Eropa, juara Piala Emas CONCACAF, juara Copa America, juara Piala Oseania, Juara Piala Dunia, dan tuan rumah Piala Dunia.

Ada satu mitos terkait negara yang menjadi juara Piala Konfederasi yaitu ia yang menjadi juara, biasanya bakal gagal total di Piala Dunia satu tahun kemudian.

Personel Mojok Institue, “si bukan anak indigo” ini, membuat catatan bahwa Brasil dan Prancis pernah gagal total di Piala Dunia setelah menjuarai Piala Konfederasi. Prancis memenangi piala ini pada tahun 2001, untuk kemudian menderita di Piala Dunia 2002.

Sementara itu, Brasil lebih mengenaskan. Tim Samba ini memenangi 4 gelaran Piala Konfederasi (1997, 2005, 2009, dan 2013), untuk kemudian gagal berprestasi di 4 Piala Dunia (1998, 2006, 2010, dan 2014). Bahkan, pada tahun 2014, sebagai tuan rumah, Brasil dibantai Jerman dengan skor 1-7. Sungguh mengerikan.

2. Inggris tak akan pernah juara Piala Dunia lagi.

Personel Mojok Institue “si bukan anak indigo” ini agak sedih ketika meraba mitos bahwa Inggris, tim favoritnya, tidak akan pernah menjadi juara Piala Dunia lagi. Mengapa?

Ketika menjadi juara pada tahun 1966, Inggris dituduh curang. Ketika itu partai final melawan Jerman Barat. Sebuah serangan dari tim Inggris berujung gol yang dicetak atas nama Geoff Hurst. Ketika wasit meniup sangkakala, ah maaf, maksud saya, peluit, pemain-pemain Jerman Barat melakukan protes. Tenang, mereka tidak turun ke jalan-jalan sambil membakar ban bekas dan pos polisi.

Tim Jerman Barat melakukan protes karena bola belum melewati garis gawang. Protes itu tidak digubris oleh wasit. Konon, dukun dari Jerman Barat yang tak terima timnya kalah menjatuhkan kutukan bahwa Inggris tidak akan pernah juara Piala Dunia lagi. Dan hingga Piala Dunia 2014, Inggris tak pernah lolos ke babak final.

3. Mitos kutukan peringkat ketiga Piala Dunia.

Selain juara Piala Konfederasi, sebuah mitos kutukan juga menghinggapi negara yang berhasil menjadi peringkat ketiga di Piala Dunia. Sudah juara ketiga, kena mitos pula. Mending kayak Indonesia, enggak pernah kena mitos. Kebal? Ya embuh.

Daftar negara yang kena kutukan peringkat ketiga ini cukup panjang dan penuh dengan drama. Beruntung, “si bukan anak indigo” ini merangkumnya untuk kita semua.

Dimulai dari Italia tahun 1990, gagal ketika adu penalti di partai final melawan Brasil di 1994. Masih ingat tendangan penalti Roberto Baggio yang melambung tinggi? Ditengarai bola hasil sepakan Baggio itu belum mendarat kembali ke bumi.

Lalu, Turki yang membuat kejutan di 2002 ketika hanya kalah dari Brasil di babak semifinal, justru gagal lolos ke Piala Dunia 2006. Yang paling menyedihkan adalah Belanda. Berhasil menjadi juara tiga pada tahun 2014, Belanda gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Dosa menjajah Indonesia? Ya embuh.

4. Mick Jagger yang membawa sial.

Begini bunyi mitosnya: negara yang didukung oleh Mick Jagger, pasti akan kalah. Mitos menarik yang bisa dijadikan pembaca Mojok untuk taruhan bola nanti ketika Piala Dunia. Ingat, dosa ditanggung masing-masing.

Semuanya dimulai pada Piala Dunia 2010 ketika Mick Jagger diajak Bill Clinton menonton pertandingan Amerika Serikat melawan Ghana. Apa yang terjadi? Amerika Serikat justru kalah meski diunggulkan. Masih di Piala Dunia 2010, vokalis The Rolling Stones itu mendukung Brasil ketika melawan Belanda? Apa yang terjadi? Brasil gulung tikar.

Masih di kompetisi yang sama, Jagger juga datang ke stadion ketika Inggris melawan Jerman. Tentu, ia mendukung Inggris, negara kelahirannya. Hasilnya? Inggris dibantai Jerman dengan skor 1-4. Sudah kena kutukan tak akan juara lagi, Inggris mendapat dukungan Mick Jagger pula. Kalau main Mobile Legend, mungkin ini namanya double kill. Mati dua kali. Berat.

Kutukan Jagger masih berlanjut ketika ia mendukung Brasil di 2014. Hasilnya? Brasil dibantai Jerman 1-7. Yang menarik adalah ada dua suporter Brasil yang membuat poster Mick Jagger mengenakan seragam Jerman. Harapannya, kutukan ini bisa ditangkal dan justru melukai Jerman. Tapi ada daya, kutukan Jagger lebih kuat ketimbang doa pendukung Brasil.

5. Indonesia lolos ke Piala Dunia.

Bukan bermaksud tidak nasionalis. Namun, melihat situasi Liga Indonesia yang “seperti ini”, bahkan “si bukan anak indigo” bisa meraba bahwa Indonesia tidak akan pernah bisa lolos ke Piala Dunia.

Lha wong jadwal pertandingan saja bisa “diubah semau saya” kok. Masih ditambah kekerasan terhadap wasit, gaji pemain yang terlambat dibayarkan, pejabat teras yang absen memimpin demi ambisi politik, mafia berkuasa, dan lain sebagainya. Liga Indonesia tidak dirancang untuk Piala Dunia, namun seperti sebatas alat untuk memutar uang haram.

Itulah 5 mitos yang berhasil dirangkum personel Mojok Institute, si bukan anak indigo itu. Masih banyak mitos yang lain, namun personel Mojok sudah tak punya energi lagi untuk meraba. Si embah pun kehabisan energi. Baterai laptopnya ternyata ngedrop. Ya sudah, kita kembalikan kepada Robby Purba.

Exit mobile version