Agar Tengku Zulkarnain Nggak Galak-galak Amat soal Vaksinasi

Agar Tengku Zulkarnain Nggak Galak-galak Amat soal Vaksinasi

Agar Tengku Zulkarnain Nggak Galak-galak Amat soal Vaksinasi

MOJOK.COTengku Zulkarnain mempertanyakan soal vaksinasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Blio minta jangan sampai ada fitnah. Eh?

Tengku Zulkarnain seperti memang tak dapat dilepaskan dari status kontroversial. Mulai dari ngurusin urusan ranjang suami istri, usulan undang-undang untuk presiden yang suka bohong, prediksi rudal Cina yang gampang menjangkau calon ibukota baru, sampai keinginan membantu Pemerintah kalau nanti Jokowi sudah wafat.

Belakangan, blio mempertanyakan kejelasan bentuk vaksin Sinovac melalui akun Twitternya.

Sebentar, sebentar. “Sudahi fitnah dengan tabayyun” katanya? Hm, kok jadi kayak ironi yang menareeeek sekali itu ya?

Lepas dari itu, harus diakui tokoh agama kondyang yang satu ini emang luar biasa. Rasa ingin tahu (curiousity) blio jauh melebihi level orang biasa. Saya, yang awam saja, tidak sampai kepikiran hal detail macam ini. Siapa sangka, Tengku Zul bisa mempermasalahkan bentuk dan model jarum suntik vaksin asal Cina itu?

Belum puas hanya mengunggah satu cuitan, Tengku Zul menambah lagi,

Sependek tangkapan layar yang dibagikan blio, vaksin Sinovac, menurut kabar yang beredar, disuntikkan dengan tube sekali pakai. Jadi, isi vaksin sudah include langsung di tube-nya.

Namun, seperti yang kita ketahui dan lihat bersama di televisi, Presiden Jokowi dan tokoh-tokoh lain divaksin dengan cara “biasa”. Vaksin terlebih dahulu disedot oleh jarum suntik, baru kemudian disuntikkan.

Tentu kita mengerti arah logika berpikir dari Tengku Zulkarnain. Bisa saja, cairan yang disuntikkan ke lengan Preiden Jokowi bukan benar-benar vaksin Sinovac. Ada kecurigaan, bahwa cairan itu sebenarnya vitamin C biasa. Untung saja tidak ada yang menduga cairan itu sebagai obat kuat, atau happy five. Kan repot. Iya kan, Pakde?

Atau, bisa juga yang disuntikkan kepada Jokowi adalah vaksin selain Sinovac, mungkin Pfitzer, atau Astra Zenica, yang dianggap lebih baik daripada Sinovac. Bisa jadi, Sinovac dikhususkan untuk rakyat jelata saja.

Ah, nggak bener kalau memang demikian yang terjadi.

Dapat ditebak, kecurigaan sang Tengku Zulkarnain memantik reaksi keras para pendukung vaksinasi. Yunarto Wijaya, misalnya. Dia langsung mengunggah status di akun medsosnya.

“Saya lebih percaya Budi Gunadi Sadikin dibanding Ayah Naen. Saya Siap Divaksin…”

Tak hanya itu, Yunarto juga mengunggah foto dengan kepsyen senada.

Bila dipikir-pikir dengan seksama, sebenarnya kecurigaan Tengku Zulkarnain adalah hal yang wajar saja. Normal sekali. Normal untuk ukuran Tengku Zul tapi lho ya.

Lha kan ya sah-sah saja to orang mau berpendapat seperti apa kayak Tengku Zulkarnain begitu. Terlebih, terhadap sesuatu yang belum pernah dialami, seperti vaksinasi di masa pandemi.

Dan memang, seperti usulan blio, alangkah baiknya bila Pemerintah menjelaskan sejelas-jelasnya bentuk dan model vaksin Sinovac kepada masyarakat. Ini sangat penting untuk meyakinkan masyarakat, utamanya orang-orang kritis, cermat, dan teliti macam Tengku Zulkarnain.

Apa yang diutarakan Tengku Zulkarnain sebenarnya merefleksikan apa yang terjadi di masyarakat, yaitu masih adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksinasi. Ya memang susah setengah mampus untuk bisa “percaya walau tidak melihat”.

Nah, sehubungan dengan keraguan-keraguan yang masih ada di masyarakat, saya mengusulkan agar sebaiknya vaksinasi dilakukan dengan cara yang kental dengan nuansa Indonesia, lebih menjunjung aroma-aroma kearifan lokal. Hal ini penting dilakukan demi mencegah kecurigaan-kecurigaan yang tak perlu.

Misalnya, tabung sebaiknya diganti dengan bahan lokal citarasa Indonesia seperti daun pisang yang dipincuk. Lalu, untuk jarum suntik dapat diganti dengan bambu runcing.

Selain lebih alami, bahan-bahan tersebut juga sekali pakai dan tidak berdampak buruk pada lingkungan (perkara efek samping untuk tubuh yang disuntik, ya itu monggo kita diskusikan lebih lanjut).

Bisa dibayangkan, bila ini yang terjadi, kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi bisa aja makin berlipat lebih ambyar. Jadi, nuansa Indonesia tidak hanya terlihat dari nama vaksin, seperti vaksin merah putih, saja. Namun juga dari model dan bentuk alat-alat yang digunakan dalam proses vaksinasi.

Sukur-sukur bila selepas vaksinasi, masyarakat mendapat jatah bubur kacang ijo, atau susu kedelai hangat, untuk menambah efikasi dan daya guna vaksin. Ya biar masyarakat yang habis vaksin nggak perlu bikin parti-parti terus diupload di IG. Cukup nonkrong di warung bubur kacang ijo aja.

Atau agar lebih wangun lagi, program vaksinasi ini memakai kebijakan lokal di masing-masing daerah. Misalnya vaksinasi dapat juga dilaksanakan dengan prosesi-prosesi upacara dan seremoni, macam kenduren di Jawa.

Jadi, sebelum vaksinasi berlangsung, ada baiknya didahului dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dari Pak RT, RW, Lurah, dan Camat.

Sehabis sambutan, untuk mempertebal keyakinan dan iman warga, perlu dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh Pak Ustaz. Dengan demikian, nilai nasionalisme dan keagamaan tetap terjaga dengan baik, tanpa terganggu syak wasangka yang tak perlu.

Gimana, Tengku Zulkarnain? Setuju ndak?

BACA JUGA Cara Raffi Ahmad Kritik Pemerintah Adalah dengan Nongkrong Cantik usai Divaksin dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.

Exit mobile version