Dunia sastra Tanah Air pernah heboh ketika pada 24 November 1972 MS Hutagalung menyebutkan nama Subagio Sastrowardoyo sebagai penyair Indonesia terkemuka, baru kemudian menyusul nama Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan WS Rendra. Akhirnya, sebuah “pengadilan puisi” pun digelar atas prakarsa Slamet Kirnanto di Bandung pada 08 September 1974.
Sebenarnya, siapakah sosok Subagio ini hingga kritikus MS Hutagalung menyebutkan namanya terdahulu baru kemudian nama-nama lainnya?
Sebelum dikenal sebagai seorang penyair, Subagio telah terjun dalam dunia musik keroncong, yang ketika zaman Revolusi lebih banyak “menenggelamkan diri” sebagai pelukis dan penyanyi. Pun di sekitar tahun 1950-an, penyair yang mulai dicatat namanya dalam peta perpuisian Indonesia melalui kumpulan puisinya Simphoni—terbit tahun 1957 di Yogyakarta—ini lebih menonjol sebagai pengarang cerpen daripada seorang penyair. Cerpennya yang berjudul Kejantanan di Sumbing pernah mendapatkan hadiah sebagai cerpen terbaik. Dalam cerpen dan sajak-sajaknya, banyak dilukiskan manusia yang gampang dirangsang oleh nafsu. Manusia-manusia Subagio adalah manusia-manusia yang dalam mempertahankan kewajibannya cenderung tergoda oleh sifat-sifat kedagingan.
Nama Subagio Sastrowardoyo sendiri mungkin bukan nama yang populer di kalangan masyarakat awam, meskipun nama keluarga Satrowardoyo cukup “ramah” di pendengaran melalui sosok Dian Sastrowardoyo yang memiliki pertalian darah dengan sastrawan yang satu ini. Terlahir pada 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur, beberapa pengamat sastra menempatkan puisi Subagio sebagai karya dengan bobot filosofis yang tinggi dan mendalam. Perumpamaan dan lambang yang digunakan oleh peraih Anugerah Seni dari Pemerintah RI pada tahun 1970 ini —untuk kumpulan sajaknya yang berjudul “Daerah Perbatasan”—juga dianggap dewasa dan matang serta tidak dapat ditafsirkan secara harfiah.
Selain sebagai seorang penyair, kritikus sastra, dan penulis cerpen, penulis buku kajian sastra berjudul Sosok Pribadi dalam Sajak serta Sastra Hindia Belanda dan Kita ini juga dekat dunia akademis. Sastrawan Indonesia ini pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-I di Yogyakarta (1954-1958), Dosen Kesusastraan Indonesia di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (1658-1961), Dosen UNPAD, Dosen SESKOAD, serta menjadi Dosen Bahasa dan Kesusastraan Indonesia di Universitas Flinders dan Adelaide. Di musim panas 1984, Subagio juga pernah menjadi instruktur tamu di Universitas Ohio dan mengajarkan bahasa Indonesia.
Bertahun-tahun menjadi Direktur Balai Putaka, Subagio Sastrowardoyo tutup usia di Jakarta pada 18 Juli 1995. Sebagai seorang penyair, dirinya beranggapan bahwa puisi adalah pantulan pribadi pengarangnya. Pendapat ini, jika diterapkan pada konsep kehidupan yang luas, mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam bertindak karena apa pun yang kita lakukan adalah cerminan diri kita.