Nggak sedikit orang-orang yang ada di sekitarku bilang kalo aku itu Ijat versi cewek. Iya, Ijat yang itu, karakter yang ada di dalam serial kartun Upin dan Ipin. Beruntungnya, mereka tidak terganggu sama sekali dengan diriku yang jarang berbicara.
Bukan tanpa sebab jarang berbicara, aku hanya tidak tahu harus berbicara seperti apa. Maksudnya, nggak ada yang perlu dibicarakan. Semua yang ingin aku bicarakan tidak penting.
Aku sebenarnya aktif berbicara juga, tapi harus di depan orang-orang yang membuatku merasa secure ketika sedang berbicara, membuatku merasa dihargai ketika sedang berbicara. Karena pernah suatu ketika, aku sedang berbicara dengan excited tapi tidak didengarkan dengan respon yang seperti ogah-ogahan. Kemudian aku berpikir, oh aku tidak se-spesial itu untuk didengarkan.
Waktu kecil aku sangat banyak omong
Kata mama, aku versi kecil adalah orang yang banyak omong, sangat cerewet. Apa yang terlihat oleh mata akan langsung spontan aku bicarakan dengan mata berbinar. Katanya begitu. Aku bahkan sempat tidak percaya, kenapa setelah dewasa aku malah sebaliknya. Mulut diam seperti sedang di lem.
Otakku selalu berisik. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa aku lontarkan. Entah karena aku takut salah bertanya, atau karena aku tidak bisa merangkai kata dengan baik. Tapi selalu ada satu pertanyaan yang tidak pernah keluar di dalam mulut.
Kenapa aku ngga bisa menggagalkan perceraian kedua orang tuaku?
Ngga bohong bahwasannya aku sempat mendukung ketika suatu malam Mama berkata bahwa beliau ingin selesai dengan pernikahannya yang tidak pernah ada kebahagian. Aku kemudian hanya menganggukan kepala dan berkata, lakukan apa yang ingin Mama lakukan, lakukan untuk mengejar kebahagiaan Mama.
Berkata dengan begitu lancar tanpa memikirkan bagaimana Ayahku kedepannya, bagaimana perasaan kedua anaknya yang pada akhirnya terbelenggu di antara tengah-tengah puncak jurang, maju segan mundur tak mau.
Seumur hidup terlalu lama, kataku begitu tanpa memikirkan apapun kedepannya. Aku nggak menyesal ketika mendukung perceraian itu. Bukan tanpa sebab, aku hanya tidak mau mendengar pertengkaran mereka, mendengar omongan Mama yang mengatakan bahwa suaminya itu selingkuh berkali-kali. Atau bahkan sebaliknya, Ayah mengatakan bahwa istrinya lah yang berselingkuh.
Orang tua yang bercerai
Aku hanya diam ketika mereka saling tuduh-menuduh, dan aku hanya percaya jika keduanya sedang membuktikan bahwa mereka adalah korban, korban dari kehancuran rumah tangganya tanpa memikirkan bahwa korban yang benar-benar korban di sini adalah kedua anaknya.
Karena Ayah mengetahui aku tidak menentang sedikitpun tentang perceraiannya itu, maka beliau berkata “Kamu selalu di sisi Mama tanpa memikirkan perasaan Ayah.” Beliau bahkan tidak tahu jika aku tidak berdiri di sisi siapapun. Tidak dengan Mama, tidak juga dengan Ayah.
Aku hanya merasa sedang berdiri di tengah-tengah. Tanpa ada tempat pelarian, tanpa ada tempat bersandar. Mengandalkan kakakku satu-satunya itu tidak mungkin. Dia hanya tidak peduli terhadap apapun. Mungkin karena itu aku jadi seperti Ijat di Upin Ipin, tidak banyak omong?
Fani N. Arifin Purwakarta, Jawa Barat nurfani885@gmail.com
BACA JUGA Nggak Pernah Ada yang Bilang Jadi Anak Perempuan Pertama, Piatu, dan di Rumah Saja Itu Seberat Ini dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini.