Baru-baru ini saya selalu mendapat pertanyaan tentang status saya, tidak hanya sekali tapi berulang kali. Sikap diam yang selama ini saya lakukan tidak membuahkan apapun. Alhasil, saya memberanikan diri mengatakan, “Saya seorang janda.”
Bisa dibayangkan wajah mereka yang mendengar jawaban saya. Ada yang tersenyum penuh arti, ada yang memasang wajah penasaran tentang apa yang terjadi hingga hubungan saya kandas.
Ada juga yang sudah memiliki pikiran yang kotor tentang kata “Janda” tersebut. Tak jarang saya mendapatkan tatapan dari ibu-ibu komplek yang menyiratkan bahwa saya akan menerkam suaminya saat itu juga.
Tak bisa dimungkiri, banyak yang memandang label janda dengan rendah bahkan, sampai ke level tidak bermartabat sama sekali. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, kenapa cuma janda yang di pandang sebelah mata, bagaimana dengan yang berstatus duda?
Banyak yang menyalahartikan janda sebagai orang yang lemah
Saya pikir zaman sudah berubah tapi nyatanya perubahan itu tidak cukup besar untuk menghormati wanita, menghargainya, bahkan terlindungi haknya sebagai seorang janda. Banyak yang menyalahartikan janda sebagai seorang wanita yang lemah, haus dengan kasih sayang, dan mudah membuka selangkangan ke sembarang lelaki.
Bahkan kerap kali saya mendengar status janda tersebut menjadi bahan lelucon, candaan, lagu hingga film. Bahkan menjadi bahan pergunjingna dan kambing hitam atas kandasnya hubungan orang lain. Miris!
Mereka tidak tahu apa yang saya alami dan mungkin juga bagi para wanita di luar sana yang memiliki status yang sama. Apakah kami menginginkan hal ini? Tentu tidak!
Mental saya harus kuat melawan lingkungan sosial yang harusnya jadi tempat kami menyembuhkan diri karena hubungan yang kandas. Namun, nyatanya saya seperti sudah jatuh, ketimpa tangga pula dengan mendapat sindiran dan tekanan sosial dari masyarakat.
Masyarakat tidak tahu bagaimana saya melawan rasa sesak, sedih yang berkepanjangan. Bagaimana saya memotivasi diri untuk menjalani hari-hari saya setelah berpisah dengan orang yang telah menjadi berharga di hidup saya. Bagaimana saya melakukan semua hal sendiri.
Saat berada di situasi sedang memberi ruang untuk saya sedikit bernafas, saya juga harus melawan para lelaki hidung belang yang biasanya tanpa sengaja berpapasan di jalan. Bertemu di tempat kerja dan juga para ibu-ibu yang penuh tatapan jijik kepada saya. Sedikit perubahan dalam berpenampilan akan menambah poin level janda semakin merosot.
“Binal,” katanya.
Bagaimana dengan pria alim yang cabul?
Lantas bagaimana dengan kasus beberapa hari ini yang lagi heboh di lingkungan tempat tinggal saya. Pria alim yang biasanya dipanggil ustad mencabuli anak santrinya bahkan anak tersebut mengalami trauma dan kabur dari pondok.
Masyarakat tidak hanya masih setia membela karena merasa pria tersebut tidak memiliki cela. Mereka lupa pria yang setiap harinya ‘memamerkan’ sorbannya juga manusia biasa, bukan nabi.
Korban tidak mungkin membuat karangan bebas untuk mempermalukan dirinya. Usia lima belas tahun masih belum cukup keberanian untuk memfitnah seorang tokoh masyarakat yang masyarakat sangat hargai, kecuali ia adalah korban.
Saat ini kasus tersebut ditangani oleh pihak berwajib tapi sangat disayangkan. Masyarakat berbondong-bondong untuk membela pria tersebut tanpa membuka mata dan pikiran yang sudah sangat diracuni.
Wanita yang memiliki hubungan kandas sehari secara frontal di-judge binal, sedangkan pria bersorban melakukan kejahatan fisik dan mental masih mereka sebut sebagai malaikat. Apakah kesalahan terdapat pada budaya negara kita yang patriarki?
Saya berusaha agar tetap waras, diam dan tetap melangkah ke depan. Berusaha menampilkan yang terbaik dan menjauhkan stigma binal dalam status tersebut, fokus bekerja, meraih cita-cita, memberi kesempatan untuk diri sendiri mendapatkan kebahagiaan, kepuasan hidup, motivasi dan tujuan yang lebih jelas di masa depan.
Humaerah, Polewali Mandar, nhumaerah1@gmail.com