Sebagai alumni pesantren, saya sangat familier dengan istilah “ngaji”. Bagi kami, ngaji itu sudah semacam sego-jangan tiap hari. Bagi saya sendiri istilah ngaji terasa lebih renyah di telinga dari pada 𝘬𝘶𝘭𝘵𝘶𝘮, kajian Islam, atau semacamnya.
Di Jogja sendiri ada kegiatan ngaji rutin yang diampu oleh Pak Fahruddin Faiz dengan nama “Ngaji Filsafat”. Kegiatan ini berlangsung di Masjid Jendral Sudirman. Meskipun sudah lebih dari empat tahun tinggal di Jogja, tapi baru baru ini saya ikut nimbrung “Ngaji Filsafat” secara langsung.
Jujur, dulu angan-angan saya tentang ngaji ini, “Alah ini mungkin semacam kuliah umum berkedok ngaji saja.” Konten yang dibahas mungkin juga tidak jauh jauh dari yang biasa saya lihat seliweran di platform media sosial.
Awal menginjakkan kaki ikut “Ngaji Filsafat” saya sudah takjub, selain jemaahnya yang begitu banyak, ternyata yang ikut tidak hanya dari kalangan anak muda, tampak bapak-bapak dan ibu-ibu yang antusias menyimak pengajian bahkan sampai kelar.
Batin saya, “Emak-emak ini apa iya kenal macam Auguste Comte, palingan kenalnya, Agus dodol sate.“ Di situ saya mendapat suguhan penampakan orang macam-macam, ada yang minum kopi, merokok, pakai celana, sarung, jomblo, berduaan, dan lain lain.
Cuma yang membuat saya agak tidak setuju kepada sebagian kecil audiensinya adalah mbok ya menjaga adab tata kramanya.
Wong ini di dalam masjid loh, masak iya merokok, masak iya gandengan pacaran, kan ya bisa nanti saja, masak iya tidak pernah dengar kata kata ‘Adab itu di atas ilmu’, wong ini ngaji loh meskipun filsafat.
Umam Bantul, umam196957@gmail.com
BACA JUGA Derita Mahasiswa Muhammadiyah Ikut PMII dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini.