Cukup mangkel ketika ada orang yang meninggalkan piring dengan banyak sisa makanan di atasnya. Terlebih di warung nasi Padang di Jogja yang notabene nasi dan lauknya ngambil sendiri.
Apa nggak mikir kalo nasi sama lauk yang diambil itu jerih payah petani dan sisa nasi dan makanan itu sebenarnya bisa dimakan sama banyak orang yang kelaparan di luar sana.
Apa nggak mikir juga kalo tumpukan sampah organik di Piyungan akan meledak suatu saat nanti. Bingungnya, apakah orang-orang ini memiliki kebiasan membuang-buang makanan atau memang lagi sakit perut hingga makanannya tak dihabiskan? Atau bisa jadi tak cocok dengan rasa makanannya.
Entahlah. Tapi rasanya tetap tak elok untuk menyia-nyiakan makanan.
Sebenarnya akan lebih mudah dipahami jika sisa makanan itu berasal dari warung yang nasi dan lauknya diambilin sama penjual. Toh kita nggak bisa ngatur seberapa pas porsi kita. Tapi, dalam kasus warung yang ngambil sendiri, sangat disayangkan bila makanan sampai bersisa.
Membuang-buang makanan masih sering dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia. Di Jawa Tengah, masih sering terdengar banyak ungkapan “yowes nek ra habis ya rasah dihabiske,” atau dalam bahasa Indonesia “Yaudah, kalau ngga habis gausah dihabisin”.
Ya memang tidak apa tidak habis jika ada alasannya, sakit perut misalnya. Tapi nyia-nyiain makanan dalam konteks nrimo ini tidak bisa dibenarkan. Banyak masalah yang timbul dari sisa makanan di piring kita. Mulai dari dampak lingkungan hingga sosial.
Seharusnya kita mulai berpikir lebih luas tentang apa yang kita makan. Menghargai makanan dengan tidak menyia-nyiakannya adalah bentuk penghargaan kepada para petani, peternak, pemerintah, tukang sembelih ayam, hingga pembuat piring.
Saatnya lebih peka untuk melihat kawan-kawan kita yang kesulitan makan, lebih berempati lagi untuk berbagi kepada sesama. Nek kebiasan buang-buang makanan ra di ilangke saiki, lha meh kapan meneh? Selak Piyungane mbledos to lur.
Justian Pilar
Wirobrajan, DIY
justianpilar1@gmail.com