Berkuliah di Jogja adalah cita-cita saya sejak SMP. Keinginan itu tumbuh ketika beberapa kali berkunjung ke kota ini, termasuk ketika menghadiri wisuda kakak. Perasaan damai ketika menginjakkan kaki di Kota Pelajar ini menimbulkan kesan yang mendalam.
Tidak hanya saya yang memiliki kesan semacam itu. Lulusan SMA atau sederajat dari berbagai daerah lain mungkin juga memiliki kesan positif lain sehingga berbondong-bondong melanjutkan studi di kota ini. Saya jadi punya ekspektasi tinggi terhadap Jogja.
Singkat cerita impian bertahun-tahun silam itu tercapai. Kini saya adalah salah satu mahasiswa di perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Walau sudah tergolong mahasiswa tua yang tidak kunjung menyelesaikan tugas akhir karena satu dan lain hal, saya bangga cita-cita waktu remaja sudah terwujud.
Setelah mencicipi beberapa tahun merantau di kota ini, saya menyadari ekspektasi saya dulu terlampau tinggi. Ternyata Jogja tidak selalu nyaman, tentram, minim konflik dan kriminalitas. Fenomena klitih yang marak terjadi beberapa waktu terakhir menimbulkan rasa khawatir, cemas, hingga takut. Padahal sebagai mahasiswa perantau, saya hanya ingin menimba ilmu dengan tenang di kota ini.
Keresahan yang sama ternyata juga dirasakan oleh teman-teman seperantauan lain. Sempat ngobrol dengan seorang teman, ia bercerita sudah pernah beberapa kali dikejar oleh oknum yang kemungkinan pelaku klitih. Salah satunya kejadian terjadi ketika dia pulang dari sebuah kafe di daerah kota. Pada saat itu ia habis berkumpul dengan kawan-kawan yang merupakan pengurus organisasi daerah asalnya.
Pengalaman semacam itu tidak pernah terlintas di benak saya ketika merantau. Sebagai mahasiswa saya hanya ingin belajar dan berproses di kota yang setiap sudutnya memiliki literasi yang cukup baik. Saya kecewa menemui kejadian-kejadian semacam ini di kota impian.
Farkhan Hadiyanto
Ngaglik, Sleman
[email protected]