Beban Hidup Sarjana Psikologi yang Nganggur dan Tinggal di Desa

Beban Hidup Sarjana Psikologi yang Tinggal di Desa yang Belum Dapat Kerja MOJOK.CO

Ilustrasi Beban Hidup Sarjana Psikologi yang Tinggal di Desa dan Belum Dapat Kerja. (Mojok.co)

Saya adalah seorang perempuan lulusan sarjana psikologi dari sebuah universitas yang ada di Semarang. Ketika lulus kuliah, saya sudah merencanakan akan mendaftar bekerja di mana saja dan akan melanjutkan pendidikan di mana.

Pada kenyataannya, kenyataan menampar saya. Kenyataan yang saya terima terhadap hidup saya berbanding terbalik dengan apa yang saya cita-citakan. 

Sampai saat ini, saya belum mendapatkan pekerjaan karena banyak hal. Mulai dari persyaratan pekerjaan yang semakin di luar nalar, hingga kuasa orang dalam yang begitu besar. Mendapati berbagai hal tersebut membuat saya bimbang. 

Di satu sisi, sebagai seorang sarjana, saya ingin bekerja dengan layak di ruangan ber AC, mendapatkan gaji di atas UMR, hingga mendapatkan posisi yang sesuai dengan jurusan saya. Namun kembali lagi, itu hanyalah sebuah angan-angan yang sampai saat ini belum terjadi di hidup saya. 

Suatu ketika saya pernah berfikir, apa yang membedakan saya dengan orang lain. Mereka bekerja, saya tidak. Di saat orang lain sudah mendapatkan apa yang mereka mau, saya tetap berada di posisi yang sulit ini.

Apakah dari segi ibadah saya kurang khusyuk, ataukah saya kurang pintar daripada mereka, ataukah relasi saya kurang luas atau ada hal lain yang mendasari itu. Seringkali saya iri melihat keberhasilan mereka. 

Baca halaman selanjutnya…

Omongan tetangga yang menyakitkan sarjana psikologi

Omongan tetangga yang menyakitkan sarjana psikologi 

Belum lagi, warga sekitar di desa saya yang suka julid kepada orang lain hingga saya terkena imbasnya. 

“Kuliah jauh-jauh, habisin uang, ujung-ujungnya hanya di rumah saja.” 

Ada lagi yang bilang, “ngapain kuliah, kalau ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga.”

“Percuma kuliah, kalau pas sudah lulus tidak kelihatan hasilnya, buang-buang uang saja. Lebih baik setelah lulus sekolah bekerja, cari uang yang banyak, berhenti jadi beban keluarga”. 

Sesungguhnya masih banyak lagi omongan tetangga yang bikin sakit telinga. 

Sebagai sarjana psikologi saya pernah membaca sebuah buku yang isinya pada intinya seperti ini, “kita tidak bisa mengendalikan pikiran, perasaan, kehendak, maupun omongan orang lain. Yang bisa kita kendalikan adalah pikiran, perasaan, kehendak, dan cara kita menyampaikan pendapat.” 

Maka dari itu, ketika ada orang lain yang menggunjing alangkah baiknya, mencerna dulu apakah hal itu termasuk kritik yang membangun, ataukah menjatuhkan mental kita. Kita sebagai manusia, hendaklah bisa membedakan mana omongan yang bisa kita terima maupun omongan yang lebih baik jika kita mengabaikannya.”

Annisa Khoiriyaturrosidah Margoyoso, Pati annisarosidah20@gmail.com

BACA JUGA Curhatan Ibu Rumah Tangga Lulusan Sarjana yang Tinggal di Desa dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG

Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg  bisa dikirim di sini.

 

Exit mobile version