Opor Ayam: Tradisi, Idul Fitri, dan Kolestrol yang Kian Menjadi-jadi

Opor Ayam: Tradisi, Idul Fitri, dan Kolestrol yang Kian Menjadi-jadi

Opor Ayam: Tradisi, Idul Fitri, dan Kolestrol yang Kian Menjadi-jadi

Hanya ada satu hari paling afdol dalam setahun, yang secara tidak langsung diakui nasional oleh para hadirin wal hadirat, untuk jadi hari yang sah-sah saja memamerkan apapun yang serba baru. Mulai dari baju baru, sandal dan sepatu baru, gorden baru, furniture rumah baru, gelas, piring dan toples kue baru, ponsel baru, motor atau mobil baru, kerjaan baru, pangkat baru, muka baru, pacar baru, atau bahkan suami maupun istri baru.

Hari mana lagi coba yang saya maksud kalau bukan hari lebaran?

Nah, Hari Raya ini kerap dijadikan ajang pesta-pora bagi para kaum borguis, kaum beranjak borguis, atau kaum yang maksa setengah mati jadi borjuis, untuk memamerkan benda-benda yang serba baru dan up to date kepada keluarga besar, tetangga, teman sepermainan, atau siapapun yang kebetulan bisa disapa di jalan.

Hari di mana pintu rumah dibuka selebar-lebarnya bak pintu masjid, dan perut bengkak kekenyangan adalah al wajari al bagusi.

Seperti petasan, balapan liar, takjil dan kumandang adzan magrib yang tenar betul di bulan puasa. Atau seperti selebriti K-Pop yang identik dengan cowok atau cewek cakep dengan kulit bersih, tubuh proporsional dan tinggi semampai, muka oplas, mata besar dan berponi, lebaran juga punya hal yang sama identiknya dengan semua itu, selain tentunya, sumber pembaruan barang bagi yang merayakan.

Dalam hal ini: Makanan lebaran.

Sayangnya, bagi sebagian besar orang, ragam makanan lebaran ini ibarat kentut—disukai sekaligus dibenci. Kalau kentut disukai karena itu satu-satunya pelepasan setara orgasme untuk penyembuhan orang yang masuk angin dan dibenci karena baunya. Hari lebaran disukai karena melimpahnya stok makanan lezat dan keanekaragamannya, tapi dibenci sebab kesemua makanan tersebut sedemikian cepat dapat menambah berat badan dan memperlebar lingkar pinggul yang tadinya 82 cm jadi 92 cm.

Bagi para manusia paruh baya dan lansia, segala makanan yang berlemak (dan bersantan) khas lebaran itu kancrut betul. Seperti mengaktifkan bom waktu yang bisa memperpendek usia walau sudah tai chi tiap pagi. Uang habis karena pengobatan dan perawatan di rumah sakit akibat kolestrol, stroke, diabetes, asam urat naik, atau penyakit jantung yang seringnya bikin kaget.

Para wanita pun, terlebih yang sedang diet ketat, mengharamkan benar makanan bersantan dan daging berlemak, dan lebih sibuk mengunyah tisu atau sayuran hambar tanpa rasa. Setali tiga uang pula dengan para pria yang hobinya kelayaban di gym dengan kutang dan bulu ketiak ke mana-mana, juga anti dengan makanan macam itu.

Tengok saja makanannya: ketupat, rendang, opor ayam, segala jenis soto (campuran daging, jeroan, kikil, paru, hati dan usus), sambal goreng ati campur kentang dan lontong sayur. Bersanding pula dengan kue kering; dari nastar, segala jenis olahan kacang-kacangan, sampai cookies. Belum lagi ditutup dengan sirup atau soda-sodaan yang manisnya tak ketulungan.

Siapa coba yang tidak ngeces air liurnya kalau disuguhi makanan dan minuman macam begitu?

Lebih-lebih kalau yang disuguhi itu orang yang setahun sekali baru balik dari perantauan karena tuntutan kuliah, yang terlampau sering makan apa adanya karena terpaksa pengiritan.

Dan dari sebegitu banyak makanan khas Idul Fitri itu, yang paling ngetop sejagat raya tentunya adalah: Opor ayam.

Membayangkan wangi, kekentalan kaldu, dan warna kuahnya yang cerah-meriah menggiurkan dalam mangkuk, bercampur dengan potongan kentang lembut dan ketupat, ditambah irisan bawang goreng renyah… Duh… laptop saya jadi ketetesan iler deh…

Tapi, repotnya, opor ini pula yang jadi juara dalam menambah jumlah penderita kolestrol di hari lebaran nanti. Apalagi lemak jenuh katanya bisa menjadi pupuk untuk menyuburkan penyakit jantung.

Edan! Enak sih enak, tapi kalau ujung-ujungnya harus dapat infus dan dirawat di rumah sakit? Persetan! Sikat terus!

Saya pernah iseng cari informasi di internet tentang seberapa besar pengaruh opor ayam bagi kesehatan para penikmatnya. Dan hasilnya bikin takjub campur takut.

Ada kurang lebih sekitar 11.900 artikel yang berkaitan dengan masalah tersebut. Bahkan di satu situs web, saya dapat ini: dalam satu porsi opor ayam (per 240 g) mengandung kira-kira 392 kalori. Kalau dirincikan, ada sekitar 13% karbohidrat, 40% protein, dan 47% lemak (di mana lemak jenuhnya sebesar 12. 756 g dan mengandung kolestrol sebanyak 96 mg), mengalahkan cheese burger dan beberapa jenis makanan cepat saji lain.

Coba hitung saja sendiri dengan kalkulasi sederhana bagaimana kalau kita makan opor lebih dari seporsi dalam sehari?

Sebenarnya bukan salah ayamnya juga sih kenapa kadar lemaknya bisa setinggi itu. Sebab kalau dipikir-pikir, ayam itu penyuka olah raga lari. Lihat saja kakinya yang mirip kaki sprinter—langsing dan aerodinamis, jadi mestinya badannya kalau nggak berotot, pasti proporsional dan rendah lemak.

Akan tetapi, kedegilan sesungguhnya berada di balik lebatnya bulu mereka: Daging lezat dan berlemak.

Ada mungkin penikmat opor ayam garis keras yang bilang, lebaran kan cuma sekali dalam setahun, jadi nggak apa-apalah dirayakan dengan makan besar khas makanan lebaran. Toh makan sekali ini nggak apa-apa.

Ya kalau cuma sekali makan dalam sehari sih memang nggak akan terjadi apa-apa. Kadar kolesterol juga nggak akan langsung melonjak drastis. Tapi apa mungkin di hari lebaran Anda cuma makan opor satu piring? Omong kosong!

Hari pertama lebaran saja Anda sudah harus bersilaturahmi ke sanak saudara, teman, dan tetangga. Itu artinya, kemungkinan Anda bakal menyuap opor lagi kian besar. Sebagai orang Indonesia yang baik, tentu nggak enak rasanya menolak ajakan tuan rumah yang sudah repot-repot menyiapkan makanan, meski perut kekenyangan hampir meledak. Alhasil akan makan lagi deh.

Belum lagi menu makan siang, malam, dan besoknya lagi itu masih sama: Opor ayam.

Yah, begitulah. Opor ayam sejatinya hanyalah salah satu dalam tradisi hari lebaran di Indonesia. Dan yang namanya tradisi–sudah dilakukan turun-temurun–segala hal yang menumpang di belakangnya, baik atau buruk, tak perlu dipersoalkan lagi.

Apapun itu, nikmati saja sudah. Anggap saja kolestrol hanyalah mitos belaka dunia medis yang sering digawat-gawatkan. Saran saya sih singkat saja, sebelum makan ya baca doa dulu dong.

Jangan lupa juga apa? Minum air. Jangan minum pasir, nanti keselek, repot. Kasihan kan ayamnya, sudah merelakan diri dipotong, eh kita malah nggak bisa menikmatinya.

Anda tega?

Exit mobile version