Orang Tua Membuat Selera Musik Kita Sangat ‘70-an

musik mojok.co

Ilustrasi Mojok.co

Momen pulang kampung selalu mengingatkan saya untuk kembali ke masa lalu. Bukan hanya dari suasananya yang serasa berbeda, tetapi juga sesekali memori-memori itu bangkit lagi melalui lagu-lagu yang pernah saya dengarkan ketika masih tinggal bersama orang tua. Kenangan itu berjangkar pada satu benda bernama VCD player.

Kebetulan pada akhir ‘90-an VCD player memang sedang populer. Selain gampang dihubungkan ke televisi rumahan, peranti audio visual ini bisa didapat dengan harga terjangkau. Keluarga kami tak perlu lagi menyewa pemutar VHS dan Betamax hanya untuk menonton video Kamen Rider atau film-film Kembalinya Si Janda Kembang Warkop DKI.

Kemunculan VCD itu menyebabkan mewabahnya lapak-lapak penjual CD/DVD bajakan (walau mereka kadang juga menjual disc ori juga). Harganya bisa dibilang murah, lima sampai sepuluh ribu per keping, tergantung jenis dan kontennya (video musik/MP3/film). Tape recorder perlahan ditinggalkan karena harga kaset masih tiga kali lipat lebih mahal ketimbang CD. Dan secara kualitas, MP3 tidak kalah bagus dibanding suara dari kaset tape atau Walkman.

Karena kami memang berbeda generasi, jadilah keluarga kami membeli CD MP3 kesukaan kami masing-masing. Bapak saya termasuk yang paling sering membeli CD musik bergenre lagu-lagu nostalgia era ’70-an hingga ’90-an, campursari, sampai lagu-lagu hits evergreen mancanegara.

Ibu yang lebih sering berada di rumah pun sering memutar CD tersebut sembari rikues untuk dibelikan CD kumpulan lagu-lagu kesukaannya. Kalau saya sendiri sering dibelikan CD dari musik/band yang populer saat itu, semacam Westlife, NSYNC, Boyzone, Base Jam, Wayang, Sheila On 7, Padi, dan semacamnya.

Hampir saban hari CD-CD bapak dan ibu tersebut diputar berulang kali. Mungkin ini juga dialami banyak anak dari generasi ’90-an, orang tua mereka membuat mereka juga punya selera jadul, musik-musik dari era ’70 hingga ’90-an. Saya tak bisa mengelak, beberapa lagu meninggalkan ingatan di kepala sampai sekarang.

Meskipun lagu-lagu berikut dikenal sebagai lagu menye-menye (seputar kisah cinta sedih, pelipur lara, kekuatan hati), bagaimanapun lagu-lagu ini sangat mewakili karakter lagu-lagu pop paling ngehits di eranya. Lagu-lagu yang dulu kala hanya bisa dinikmati lewat saluran radio dan kaset belaka.

Teluk Bayur”, Ernie Djohan

Konon lagu ini diciptakan oleh kelompok musik asal Solo, Zaenal Combo, pada 1953. Lagu ini tercipta saat mereka sedang show di Padang dan tinggal beberapa lama di sana. Untuk mengenal budaya Minang dan sebagai hadiah perpisahan, mereka menciptakan lagu ini.

Lagu “Teluk Bayur” semakin dikenal luas dalam belantika musik Indonesia setelah dinyanyikan oleh artis Ibu Kota yang sedang populer di tahun 1968, Ernie Djohan. Dalam versi yang lain, ada pula “Teluk Bayur” yang dinyanyikan oleh penyanyi Rani Pancarani.

Saya sih yakin, banyak di antara pembaca Mojok yang sebelumnya tak tahu di provinsi manakah letak Teluk Bayur itu kan? Ya sudah, resapi penggalan lirik lagu ini saja. Kalau bisa jangan sambil nyanyi, tapi dengan dramatisasi puisi.

Lambaian tanganmu

Ku rasakan pilu di dada

Kasih sayangku bertambah padamu

Air mataku berlinang tak terasakan olehku

Nantikan aku di Teluk Bayur

Bonus track dari penyanyi yang sama: “Kau Selalu di Hatiku

Hati yang Luka”, Betharia Sonata

Mungkin lagu ini adalah lagu Indonesia paling pedih yang pernah saya dengarkan, baik secara lirik maupun aransemen. Nadanya simpel dan hanya dibangun dengan tiga kunci dasar G-C-D.

Saya mendengarkan lagu “Hati yang Luka” seperti sedang menyaksikan adegan film sepasang suami istri zaman dulu yang berada di ambang perceraian. Kedua-duanya sudah pasrah menjadi manunggal. Tak ada lagi sifat sakinah mawaddah warahmah di antara mereka. Siap kembali ke pangkuan orang tua masing-masing.

Suara khas Betharia Sonata muda yang tinggi sekali itu semakin menambah pilu aura lagu ini. Uniknya, lagu yang diciptakan oleh Obbie Messakh ini juga punya versi jawaban dari pihak laki-laki (suami), berjudul “Jawaban Hati yang Luka”, dipopulerkan oleh Johan Untung. Lagu dibalas dengan lagu dan perihnya jadi kuadrat!

Saking pesimis dan cengengnya, lagu ini pernah dicekal oleh Menteri Penerangan Harmoko, hiks.

Dulu, segenggam emas kau pinang aku…

Dulu, bersumpah janji di depan saksi…

Namun semua hilanglah sudah, ditelan dusta…

Namun semua tinggal cerita, hati yang luka…

Widuri”, Bob Tutupoly

Jauh sebelum Om Bob dikenal sebagai pembawa acara Golden Memories Tembang Kenangan di Indosiar, ia sudah dikenal sebagai penyanyi pop Indonesia. Karakternya setipe dengan almarhum penyanyi kawakan Broery Pesulima alias Broery Marantika.

Om Bob dikenal dengan suaranya yang serak-serak basah. Lagu-lagu yang ia nyanyikan cenderung sentimentil dan romantis. Barangkali lagu-lagu yang ia nyanyikan cocok dengan suasana asmara muda-mudi zaman itu. Jika diperhatikan, pada bagian setelah reff lagu “Widuri” ini, ada selipan kata-kata puitisnya lo. Perempuan mana yang tidak kelepek-kelepek mendengar rayuan Bob Tutupoly muda satu ini?

Ini adalah salah satu lagu kesukaan ibu saya. Ia biasa menyetel dan mendengarkan lagu ini sembari membersihkan kenangan rumah.

Widuri … elok bagai rembulan, oh sayang

Widuri … elok bagai lukisan, oh sayang

Widuri … bukalah pintu hati untukku

Widuri … ku akan menyayangi

Madu dan Racun”, Arie Wibowo

Dulu awalnya saya kira Arie Wibowo yang dimaksud adalah aktor sinetron laga Deru Debu, adik Ira Wibowo. Eh ternyata beda orang. Yang musisi adalah Arie Wibowo, sedangkan yang aktor adalah Ari Wibowo.

Sosok Arie Wibowo sangat lekat dengan lagu ini. Meski bukan termasuk sosok yang sering tampil di televisi, lagunya masih sering dibawakan sampai sekarang. Musik-musik ciptaan Arie Wibowo biasa dibawakan dengan irama pop disko. Lagu-lagunya ciptaannya cenderung ceria, semacam “Astaga” dan “Singkong dan Keju”.

Lagu “Madu dan Racun” dipopulerkan oleh grup musiknya sendiri, Bill & Brod. Jika Anda ada yang masih ingat, karakter Arie Wibowo dalam video musiknya selalu mengenakan topi baret dan kacamata necis. Selain dibawakan oleh beberapa penyanyi solo, termasuk Jamal Mirdad, band J-Rocks juga pernah membawakan lagu ini dengan irama rock.

Madu di tangan kananmu

Racun di tangan kirimu

Aku tak tahu mana yang

Akan kau berikan padaku

Hatimu Hatiku”, Titiek Sandhora & Muchsin Alatas

Pada mulanya saya penasaran dengan video musiknya yang sering tampil berduaan, begitu pula dengan sampul album-albumnya. Ternyata mereka berdua memang sepasang suami istri. Duh, romantisnya. Dua-duanya sama-sama bisa nyanyi bagus, baik saat sendiri maupun duet. Dua-duanya pun dikenal sebagai aktris dan aktor film Indonesia pada zamannya.

Lagu “Hatimu Hatiku” adalah salah satu lagu duet Titiek & Muchsin yang paling populer selain “Halo Sayang”, “Dunia Belum Kiamat”, “Pertemuan Adam & Hawa”, dan “Jangan Marah”. Hingga saat ini mereka tercatat telah menelurkan empat album duet.

Di era ketika popularitas lagu hanya ditopang lewat medium radio, lagu-lagu Titiek & Muchsin baru benar-benar merakyat di awal 1970-an. Saya mengibaratkan pasangan Titiek & Muchsin ini seperti pasangan penyanyi Endah & Rhesa pada masa sekarang.

Di antara hatiku hatimu

Terbentang dinding yang tinggi

Tak satu jua jendela di sana

Agar ku memandangmu

Benci tapi Rindu”, Hetty Koes Endang 

Tante Hetty yang saya kenal dulu sering membawakan lagu-lagu pop golden hits ke dalam irama musik keroncong. Siapa yang belum pernah mendengarkan lagu “Ada Apa denganmu”-nya Peterpan versi Hetty Koes Endang? Cengkok keroncongnya punya aura yang Indonesia banget. Selain itu, ia juga acap membawakan lagu-lagu pop Sunda.

Meski lagu ini sudah dibawakan oleh banyak penyanyi, dari Ratih Purwasih, Diana Nasution, Ello (anak Diana Nasution), Titi DJ, hingga Glenn Fredly, lagu ini punya daya tarik tersendiri. Lagu ini juga merupakan salah satu masterpiece pengarang lagu legendaris Indonesia yang sering namanya diparodikan untuk menggambarkan sifat menye-menye, seperti lagu-lagunya. Yak, dialah Rinto Harahap. Yang muka Rambo, hati Rinto, silakang ngacung.

Dulu lagu ini sering saya dengarkan melalui speaker Simbadda dengan setelan bass penuh di rumah. Menyimak indahnya versi keroncong lagu ini sambil menunggu hidangan makan siang dalam keadaan perut keroncongan sepulang sekolah adalah momen yang masih cukup berkesan sampai sekarang.

Kau datang dan pergi sesuka hatimu

Kejamnya dikau, teganya dikau, padaku

Sebenarnya masih ada beberapa lagu lagi yang ingin saya tulis. Daripada Anda keburu bosan, mending saya kasih lagu bonus yang dinyanyikan oleh grup pengamen di Telaga Warna sana. Lagu ini diciptakan Rinto Harahap juga dan pernah dipopulerkan oleh Tante Christine Panjaitan (yang masih cantik sampai-sampai bikin Om Ikang Fawzi nggak bisa move on, menurut versi Tante Marissa Haque), juga Yuni Shara, Nindy Idol, sampai band Armada.

Ini dia lagu “Katakan Sejujurnya”!

Menurut Anda yang generasi ’90-an atau lebih, apa lagu jadul paling berkesan selain yang sudah saya sebut di atas? Tidak usah menyangkal jika Anda juga termasuk salah satu yang rindu mendengarkan para pengamen menyanyikan sederet lagu-lagu lawasan tadi.

Exit mobile version