ADVERTISEMENT
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Ulasan Film

Nyai Ahmad Dahlan Layak Mendapat Film yang Lebih Baik

Arie Saptaji oleh Arie Saptaji
28 Agustus 2017
0
A A
FILM NYAI AHMAD DAHLAN

FILM NYAI AHMAD DAHLAN

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Satu lagi sosok pahlawan nasional kita dilayarlebarkan. Pahlawan perempuan pula. Setelah dua biopik Kartini (Sjumandjaja, 1984; Hanung Bramantyo, 2017) dan Tjoet Nja’ Dhien (Eros Djarot, 1988), kini giliran Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, istri pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan.

Nyai Ahmad Dahlan (Olla Atta Adonara, 2017) dituturkan secara lempang, dimulai dari Walidah kecil yang ingin mengenyam pendidikan. Bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga teman-teman sekampungnya. Mereka diajar oleh ayah Walidah, Kiai Haji Muhammad Fadli (Cok Simbara), seorang ulama Keraton Yogyakarta.

Film lalu bergegas mempertemukan kita dengan Walidah dewasa (Tika Bravani) yang siap dinikahkan dengan Muhammad Darwis, yang nantinya dikenal sebagai Kiai Ahmad Dahlan (David Chalik). Sebagai Nyai Ahmad Dahlan, ia mendukung suaminya mendirikan Muhammadiyah dengan menyedekahkan perhiasan warisan orang tuanya. Kiai Dahlan, pada gilirannya, mendukung istrinya merintis pengajian perempuan Sopo Tresno (Siapa Cinta), yang nantinya berkembang menjadi ‘Aisyiyah, organisasi Islam bagi perempuan.

Selebihnya, sinopsis film ini sejajar dengan lema “Nyai Ahmad Dahlan” di Wikipedia. Film berakhir ketika Nyai Ahmad Dahlan meninggal di Kauman, Yogyakarta, pada 31 Mei 1946, di umur 74 tahun.

Biopik atau film biografis paling tidak dapat memilih salah satu dari dua jalur: memadatkan riwayat hidup tokoh sesuai dengan durasi film atau menyoroti penggalan peristiwa penting tertentu yang mewakili keistimewaan sang tokoh. Tugas utama biopik bukan merekonstruksi sepersis mungkin kehidupan tokoh. Itu tugas yang hampir mustahil, terlebih ketika dokumentasi tokoh bersangkutan memang terbatas, seperti dalam kasus Nyai Ahmad Dahlan ini. Namun, pembuat film dapat menyuling kisah hidup tokoh menjadi sebuah cerita, sebuah parabel, yang enak ditonton, menghibur, dan reflektif.

Film sendiri adalah pergulatan antara teknik dan gagasan. Teknik piawai, tapi gagasan dangkal atau tak jelas juntrungannya, maka kita serasa menonton sirkus kampungan. Gagasan hebat, tapi teknik kedodoran, film-film semacam itu cenderung jatuh menjadi khotbah atau ceramah. Film mula-mula diharapkan untuk menghibur, namun kepaduan antara teknik dan gagasan itulah yang menentukan nantinya ia berkembang menjadi entah hiburan dengan H besar atau sekadar hiburan kopong.

Baca Juga:

Hanung Bramantyo Cinta Tak Pernah Tepat Waktu.MOJOK.CO

Saat Hanung Bramantyo Coba Menghilangkan Mitos Keramat Novel ‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’

3 Desember 2023

Meneropong Suara Politik Kaum Muhammadiyah pada Pilpres 2024 Bersama David Efendi

17 November 2023

Riwayat hidup Nyai Ahmad Dahlan mestinya menarik untuk difilmkan. Film berpotensi memperkenalkan kepahlawanannya ke kalangan yang lebih luas secara efektif. Saya kenal bocah kelas 6 SD yang bisa menceritakan riwayat Bung Karno secara runtut berdasarkan film Soekarno: Indonesia Merdeka (Hanung Bramantyo, 2013) yang entah sudah berapa kali ditontonnya. Bahasa film rupanya melekat kuat dalam ingatannya.

Pertanyaannya, apakah Nyai Ahmad Dahlan dibesut secara mumpuni sehingga perjuangan pahlawan perempuan ini dapat diresapi dengan baik oleh khalayak pemirsa?

Sungguh disayangkan, sang sutradara, Olla Atta Adonara, terlihat gagap menggarap debutnya ini. Masalah utamanya ada pada pengisahan. Ia berambisi memadatkan 74 tahun masa hidup Nyai Ahmad Dahlan ke dalam film sepanjang 102 menit. Di bagian awal ia cukup bersabar menuturkan masa kecil Walidah, lalu menampilkan sosok Nyai Dahlan sebagai istri, sebagai ibu, sebagai perempuan yang peduli pada tetangga yang kurang beruntung.

Selanjutnya, kisah bergulir cepat, peristiwa demi peristiwa disajikan secara kronologis tetapi bergegas, tak menjelaskan sebab akibatnya secara memadai, tak memberi banyak ruang bagi penonton untuk mencernanya, untuk ikut terlibat di dalamnya. Sebagian besar adegan berkutat di dalam ruangan. Tidak terlihat upaya untuk merekonstruksi konteks sosial masa itu. Kesan drama keluarga lebih menonjol, kurang mengemuka sosok Nyai Dahlan sebagai aktivis sosial pejuang emansipasi perempuan.

Saat Kiai Ahmad Dahlan hendak mendirikan Muhammadiyah, misalnya. Ia tergerak mendirikan organisasi tersebut dengan niat menangkal takhayul, bidah, khurafat, kemiskinan, dan penindasan pemerintah kolonial Belanda. Contoh khurafat ada dimunculkan sebentar melalui suami istri petani yang mengandalkan jimat. Sisanya hanya disebutkan dalam ucapan Kiai, tidak diperlihatkan.

Bebeberapa tokoh antagonis sekadar numpang lewat, tidak sempat mencuat sebagai sosok yang utuh dan tangguh. Konflik-konfliknya pun terlalu mudah diselesaikan. Si penghasut di awal film segera luluh begitu Kiai Fadli muncul di pasar. Perlawanan di Banyuwangi juga dengan lekas dipadamkan. Tidak ada sosok seperti Kamaludiningrat dalam Sang Pencerah.

Alih-alih sebuah kisah dengan konflik yang bergerak memikat menuju klimaks, Nyai Ahmad Dahlan bagaikan rangkaian meme atau video klip motivasional religius. Gagal sebagai parabel tentang semangat juang Nyai Dahlan, hanya menjadi kaleidoskop (aneka peristiwa yang telah terjadi yang disajikan secara singkat) yang melelahkan untuk disimak. Saat film usai, keping-keping dialog dan adegan sudah berhamburan, tidak menyisakan kesan yang mendalam.

Akting dan penataan adegan terlihat canggung. Saat Nyai Dahlan meminta pertimbangan suaminya tentang perlunya pengajaran membaca dan menulis huruf Latin, misalnya. Di ujung percakapan, Kiai mengapresiasi semangat juang istrinya, dan berkata, “Saya semakin mencintaimu.” Anehnya, keduanya tetap duduk berjauhan, senyum terkulum, tersipu-sipu seperti sepasang remaja ingusan. Tidak mungkinkah digambarkan Kiai merengkuh dan mendekap Nyai dengan hangat? Ayolah, ini suami istri yang sudah punya enam anak di kamar pribadi mereka! Masak tetap jaim juga?

Adegan-adegan luar ruang berlangsung secara gugup. Perhatikan saja penataan gerak saat adegan perkelahian di tepi pantai, lelang pencarian dana, rapat dan kongres, atau penindasan tentara Jepang. Kikuk dan kaku.

Para pemain figuran terlalu sadar kamera. Mulai dari cara duduk, gaya tersenyum, menahan senyum, sampai saat menelengkan kepala terlihat tidak rileks. Meskipun mata mereka tidak menatap kamera, gestur mereka memperlihatkan ketegangan orang awam yang takut salah bergerak ketika disorot kamera.

Nyai Ahmad Dahlan mestinya bisa menjadi pendamping yang manis bagi Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, 2010), film tentang Kiai Ahmad Dahlan. Namun, kualitas produksi dan pengisahan keduanya berbeda kelas. Jika dibandingkan dengan film ini, Sang Pencerah terkesan sebagai sebuah masterpiece.

Nyai Ahmad Dahlan layak mendapatkan film yang lebih baik.

Terakhir diperbarui pada 28 Agustus 2017 oleh

Tags: ahmad dahlanaisyiyahFilmMuhammadiyahnyai ahmad dahlanreview
Arie Saptaji

Arie Saptaji

Artikel Terkait

Hanung Bramantyo Cinta Tak Pernah Tepat Waktu.MOJOK.CO
Liputan

Saat Hanung Bramantyo Coba Menghilangkan Mitos Keramat Novel ‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’

3 Desember 2023
Movi

Meneropong Suara Politik Kaum Muhammadiyah pada Pilpres 2024 Bersama David Efendi

17 November 2023
Berselempang Tas Boneka Teddy Bear, Kaesang Dapat 3 Wejangan dari Ketum PP Muhammadiyah MOJOK.CO
Kotak Suara

Berselempang Tas Boneka Teddy Bear, Kaesang Dapat 3 Wejangan dari Ketum PP Muhammadiyah

6 Oktober 2023
Universitas Aisyiyah (UNISA): Profil, Program Studi, dan Informasi Lengkap Lainnya MOJOK.CO
Kilas

Universitas Aisyiyah (UNISA): Profil, Program Studi, dan Informasi Lengkap Lainnya

27 September 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Poligami yang Adil - Mojok

Adakah Poligami yang Ideal?

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

ganjar pranowo cari suara di masterchef indonesia

Netizen Sindir Ganjar Pranowo Saat Tampil di Masterchef Indonesia

5 Desember 2023
Pendaki Nekat di Gunung Marapi hingga Merapi.MOJOK.CO

Gunung Marapi hingga Merapi, Pendaki Nekat di Gunung Berstatus Waspada hingga Siaga Masih Terus Terjadi

7 Desember 2023
kecamatan depok sleman.MOJOK.CO

Geliat Kecamatan Depok Sleman dengan 24 Kampus dan Deretan Pusat Hiburan, Bisa Jadi Kabupaten Tersendiri?

9 Desember 2023
Cerita Penjual Duwet tentang Hal-hal yang Hilang di Pasar Legi Kotagede MOJOK.CO

Cerita Penjual Duwet Tentang Hal-hal yang Hilang di Pasar Legi Kotagede

4 Desember 2023
Nikah siri.MOJOK.CO

Sisi Gelap Nikah Siri di Jogja, Mahasiswa Berani Melakoni dengan Dalih Hindari Zina

5 Desember 2023
UGM ungkap bahaya manusia silver.MOJOK.CO

Pendapatan Manusia Silver Sehari Bisa Tembus Sejuta tapi Cairannya Punya Risiko Mengerikan

8 Desember 2023
Susahnya Memotret Perilaku Pemilih Generasi Z untuk Pemilu 2024

Susahnya Memotret Perilaku Pemilih Generasi Z untuk Pemilu 2024

7 Desember 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Liputan
    • Sosok
    • Geliat Warga
    • Kuliner
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Histori
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In