Film yang Boleh dan Tidak Boleh Ditonton Sebelum Mudik

Buat saya, mudik dan bersua dengan orang-orang rumah yang bikin kangen sekaligus menjengkelkan itu adalah ritual yang bikin bimbang. Macam buah simalakama. Jika tak mudik, hati kangen dengan Ibu, Bapak, Simbah Putri, dan keponakan-keponakan. Di sisi lain, jika mudik, harus bersiap-siap rebutan kursi bus atau kereta dengan para pemudik lain. Atau bermacet-macetan karena jalur mudik yang dilewati selalu rusak jelang Lebaran. Atau risiko diberondong pertanyaan “Mana oleh-oleh?”, “Kapan lulus?, “Kapan kawin?”, “Sibuk apa?”, dan lain sebagainya. Klise sih. Tapi, beginilah kenyataan yang saya dan situ-situ hadapi ye kan?

Demi meyakinkan diri untuk mudik atau tidak, biasanya sih saya menonton film. Apa hubungannya? Ya ndak ada. Saya cuma menenangkan hati saja kok bahwa mudik adalah keputusan yang tepat. Lagi pula, menonton film adalah hiburan murah, menyenangkan, tidak membuang waktu banyak. Dalam tulisan ini, saya memilih empat film yang cocok ditonton sebelum mudik. Kenapa empat? Kalau 100, nulisnya di IMDb, bukan Mojok.

1. Last Train Home (2009)

Mudik, terutama saat Lebaran, adalah perjuangan tersendiri. Pesan tiket bus/travel/kereta harus dari jauh-jauh hari. Sudah dapat tiket pun masih harus berdesakan dengan banyak orang. Belum lagi perjuangan masuk kereta atau bus dengan riweuh karena hampir semua orang menjinjing bawaan segede gaban. Setelah itu, kita dihantui dengan waktu tempuh dan risiko yang tak pasti dan sebagainya dan sebagainya.

Tapi, perjuangan semacam itu nggak berat-berat amat dibanding mudiknya orang-orang Tiongkok saat tahun baru Tiongkok alias Imlek. Konon, Imlek adalah momen migrasi terbesar di dunia. Sudah, jangan coba-coba datang ke Tiongkok kalau hanya mau merasakan mudik. Cukup lihat film ini saja, sebuah dokumenter yang menceritakan perjalanan satu keluarga untuk merayakan Imlek di kampung halaman.

Melihat scene-scene perjalanan dalam Last Train Home barangkali membuat kita jengah dan urung pulang kampung. Berjubel. Sesak. Padat. Lelah. Membuat marah. Bahkan ketika sampai rumah pun masih harus berhadapan dengan drama-drama keluarga. Sungguh frustrasi yang asu. Meskipun begitu, mereka tak kapok. Seperti halnya kita yang tak pernah kapok menabung selama setahun penuh demi bisa mudik dan bertemu keluarga.

2. Sing Street (2016)

Keputusan mudik sudah ditentukan. Segala risiko mulai dari empet-empetan dengan pemudik lain hingga risiko kematian sudah dipahami dan diantisipasi. Tapi, apa itu cukup? Ternyata belum. Saya biasanya menonton kembali drama-drama keluarga. Tujuannya satu: meningkatkan kadar romantisme saat bertemu orang-orang rumah.

Sebenarnya ada banyak film yang bercerita tentang keluarga. Tapi, saya pikir Sing Street-lah yang menawarkan paket lengkap. Semua isu dari zaman jebot sampai termutakhir muncul dalam film ini meski beberapa hanya disinggung selintas. Mulai dari percintaan khas remaja, bullying, usaha mengejar cita-cita, pernikahan, perceraian, rasisme, sampai kegagalan negara. Meskipun drama ini berhasil membuat saya makin sayang simbok, bapak, saudara, kawan, dan juga pacar, drama ini diceritakan dengan cara tidak menye-menye. Barangkali karena film ini dilihat seutuhnya dari sudut pandang laki-laki muda yang dihadapkan pada berbagai persoalan hidup. (Nganu, kalimat ini tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa perempuan menye-menye ya.)

Sing Street menceritakan seorang remaja laki-laki usia 15 tahun bernama Conor yang tinggal di Irlandia. Conor begitu dekat dengan kakak laki-lakinya. Kakaknya pula yang menularinya soal selera musik. Seperti remaja lain, Conor jatuh cinta kepada seorang gadis. Sampai-sampai ia membuat band bersama teman-teman sekolahnya. Conor sendiri berasal dari keluarga yang cukup berada sampai suatu saat mereka bangkrut dan ibunya selingkuh. Keluarganya karut-marut, perceraian sudah ditetapkan.

Buat saya, menonton film ini berarti menegaskan bahwa orang tua (dan juga keluarga, pun kawan, serta kekasih) itu hanya manusia biasa. Mereka bisa saja menyaru sebagai malaikat. Di lain kesempatan, mereka bisa membuat seseorang menjadi pendendam yang enggan bertaubat. Bagaimanapun, hal itu bukan alasan untuk mengurangi kadar kasih kepada mereka.

Saya sarankan supaya situ-situ menonton ini film tepat dua belas jam sebelum berangkat mudik. Mengapa? Supaya semangat yang dibawa dalam film ini tetap bertahan sampai bertemu keluarga.

3. Kapan Kawin? (2015)

Buat yang masih lajang, bersiap-siaplah dihujani pertanyaan “Kapan kawin?” kala mudik. Saya sendiri, sejak lulus kuliah empat tahun lalu, semakin akrab dengan pertanyaan basik satu ini. Awal-awal sempat berang. Lama-lama akhirnya saya anteng juga. Capek kali kuping saya mendengar pertanyaan orang-orang tidak kreatif itu. Mbok tanyakan hal lain. Misalnya, saya ini termasuk bala jaer atau bala nemo? Atau, apakah saya ikhlas melihat Babang Hamish tunangan sama bekas sahabat saya? Pasti saya langsung sigap menjawabnya.

Saudara senasib sepenanggungan yang juga kerap diberondong pertanyaan sama ada baiknya juga menonton film ini. Alurnya sih biasa saja, tapi masih tertolong oleh akting ciamik para bintangnya. Plotnya? Standar. Orang tua yang menuntut anak perempuannya (yang sudah berusia 33 tahun) untuk segera menikah. Kata mereka, perempuan belum menikah di usia itu seumpama kapal yang siap ditorpedo Jepang. Kata mereka juga, anak yang belum menikah itu anak yang belum bisa membahagiakan orang tua. Kata mereka juga, anak yang belum menikah adalah anak yang tidak taat beragama. Duh, Gusti, betapa berat beban yang dipikul seorang lajang!

Bagi yang cukup desperate ketika ditanya kapan nikah, situ bisa menjajal tips yang digunakan dalam film ini: nyewa pacar! Yang tampan! Yang bisa berakting maksimal! Tapi untuk nyewa pacar kayak Reza Rahadian kan butuh duit juga. Yang ada, orang berharap pacaran dengan Babang Reza supaya kecipratan harta tujuh turunan.

Bagi yang cukup beruntung sudah punya pacar sih bisa saja pakai trik lain. Misalnya, sesekali bawa gandengan situ ke rumah. Biarkan si gandengan yang mendapat jatah menjawab pertanyaan “Kapan kawin?”. Situ cukup cengengesan.

4. Film Barbie, apa pun judulnya

Kenapa Barbie masuk dalam les film yang ditonton sebelum mudik? Alasannya sederhana: saya kudu latihan. Supaya apa? Supaya tahan menemani keponakan-keponakan yang ngotot menonton film-film Barbie yang kerap diputar di stasiun televisi-televisi nasional saat Lebaran. Itu saja.

Semoga empat entri di atas bisa membuat mudikmu lebih indah. Jika masih belum cukup, ingatlah satu hal, ada banyak orang di luar sana yang iri karena tidak pernah merasakan keseruan bernama mudik. Mau mudik bagaimana kalau rumah orang tua ada di sebelah, rumah nenek di belakang, dan rumah kakak-adik berderet-deret di depan.

Lalu apa film yang nggak boleh ditonton sebelum mudik? Nomor satu: The Shining. Nomor dua: Sinister. Nomor tiga: American Psycho. Pokoknya yang ada kapak-kapaknya, hindari!

Bonus tebak-tebakan: film, film apa yang soundtrack-nya “I like to mudik! Mudik!”?

Exit mobile version