Kenapa sih kita masih harus nonton film di bioskop?
Pertanyaan itu relevan dibahas mengingat akses internet terus membaik, hard disk eksternal 1 TB bertambah murah, dan kualitas layar TV serta laptop kian moncer seiring waktu. Kualitas wajah, suratan nasib, jodoh, dan rezeki kebanyakan dari kita barangkali masih nyungsep begitu-begitu saja. Tapi, pengalaman nonton di kamar/rumah sendiri sekarang jauh lebih nyaman dan masuk akal dibanding menghabiskan waktu jalan ke mal/gedung bioskop terdekat. Apalagi jadwal tayang film yang masuk saluran streaming legal sama di seluruh dunia. Makin terpojok saja jaringan bioskop besar yang jualannya film-film komersial.
Kecemasan menghadapi era baru streaming tak cuma dialami pengusaha industri perfilman Indonesia yang tahan banting dan tahan rugi itu. Persoalan serupa menggelayuti sineas maupun pengusaha perfilman di Barat sono. Banyak sekali liputan mendalam media-media AS atau Inggris yang bertanya kepo, “Apakah bioskop bakal mati dengan adanya Netflix dan layanan streaming legal flix-flix lainnya?”
Seandainya jadi pengusaha bioskop, saya pasti senewen digituin. Rasanya macam ditanya, “Heh, kapan mati? Kamu kok nggak mati-mati sih?”
Tae ….
Untunglah, Tim League, pengusaha jaringan bioskop Alamo Drafthouse, masih menjaga santun saat ngeles dari pertanyaan jahanam tersebut. Dia bilang, “Bioskop adalah bisnis yang bisa menawarkan pengalaman partisipatif bagi penonton; jenis pengalaman yang mustahil kita alami saat menyaksikan film di rumah.”
Itu kata kuncinya. Bioskop harus berbeda dari sekadar nonton film di layar laptop kreditanmu itu sambil gegoleran di kamar kos. Kata kunci soal pengalaman inilah yang akan menjadi mantra pebisnis sektor hilir film.
Membahas kegalauan pengusaha bioskop ini penting sebagai pengantar sebelum kita ngobrolin Dunkirk.
Sebab Dunkirk adalah film yang sangat fokus mengajak penontonnya mengalami perang. Jenis film yang sangat cocok ditonton di bioskop. Tidak ada plot yang bersusah payah menjelaskan detail situasi sejarah saat itu (kecuali beberapa kalimat pengantar di awal cerita).
Bahkan tidak ada sama sekali penggambaran perang.
Filmnya dimulai ketika perang sudah selesai. Dunkirk memilih fokus pada satu momen khusus, ketika manusia terjebak dalam takdir nahas yang sama: kalah perang, tapi tak bisa kabur dari Kota Dunkirk di pesisir utara Prancis. Tak akan ada yang bisa disebut spoiler. Kalau ada satu dua karakter yang dibocorkan mati dalam review ini, ah, namanya juga lagi perang. Mati adalah keniscayaan.
Tiga sudut pandang ditampilkan buat memperkaya pengalaman traumatis Dunkirk: cerita para prajurit rendahan (yang terombang-ambing di tepi pantai), prajurit elite (di udara), dan warga sipil (yang membawa kapal kecil untuk evakuasi). Tiga sudut pandang tadi hadir simultan, tapi perspektif waktunya disesuaikan keadaan masing-masing. Peristiwa terjebak di pesisir dikisahkan berlangsung enam hari, warga naik kapal sehari semalam, sementara narasi pilot tempur hanya satu jam lebih sedikit.
Dunkirk bisa dibilang film yang memakai formula genre bencana, hanya setting-nya saja diubah jadi suasana awal Perang Dunia II ketika koalisi Inggris-Prancis-Belgia-Kanada terpojok oleh serangan kilat prajurit Nazi. Bencananya pun tak perlu digambarkan detail. Cukup raungan pesawat di langit, bom yang berulang kali jatuh, peluru tiba-tiba menembus tubuh, hingga torpedo yang nyelonong mendadak waktu ratusan prajurit sedang asyik ngeteh dan makan roti di dalam kapal.
Tak ada sama sekali sosok atau lambang Nazi sepanjang durasi. Tidak ada pula politikus sibuk membahas strategi perang atau wacana-wacana ndakik lainnya. Gerak plot fokus soal penyelamatan diri.
Barangkali karena semangatnya bercerita tentang bencana (kemanusiaan), semua karakternya dibikin ngenes dalam waktu bersamaan.
Nasib paling merana tentu saja dialami para prajurit rendahan (konon salah satu bintangnya adalah personel boyband Inggris One Direction, tapi karena mukanya mirip-mirip, saya nggak tahu yang mana. Toh mau seganteng apa pun superstar bernama Harry Styles, di medan perang semua lelaki jadi kumal dan kemproh). Tentara rendahan itu yang paling capek di sepanjang cerita. Tanah air Inggris cuma berjarak 41,8 kilometer, kelihatan dari bibir pantai Dunkirk.
Cuma, ya kali mereka harus renang sejauh itu. Paling bener memang naik kapal, eh malah bolak-balik ditenggelamkan kapal selam Nazi. Baru ngaso sebentar, sudah harus renang lagi di laut. Belum lagi ketika antre naik kapal di laut, mereka bisa koit akibat kejatuhan bom. Sedih.
Yang pilot kalian pikir enak-enak saja hah? Selain harus menghadapi pesawat Jerman, si tokoh pilot yang diperankan Tom Hardy (mukanya lagi-lagi jarang kelihatan, kali ini ketutupan helm pilot) terpaksa dapat masalah tambahan karena meteran bahan bakarnya rusak, jadi dia nggak bisa baca.
Cerita dari sudut pandang kapal sipil setali tiga uang. Awak sipil mengangkut prajurit yang trauma gara-gara kapalnya ditenggelamkan Nazi. Si prajurit ngambek ketika diberi tahu kapal akan balik menuju Dunkirk menyelamatkan tentara lainnya. Terjadilah insiden yang bikin penonton geregetan.
Kesederhanaan cerita ini nggak sepenuhnya jelek kok. Berkat linearitas ceritanya, Dunkirk malah sangat efektif dalam durasi 106 menit. Dunkirk berhasil memadukan gagasan besar dengan pengalaman yang wah dari darat, laut, dan udara.
Hal positif lainnya, hati penonton pasti terasa hangat ketika klimaks film berhasil membalik semua premis dasar peperangan yang dikotomis, menang/kalah atau heroik/pengecut. Pukpuk ringan dari pria sepuh di kepala para prajurit bisa membuat penonton mewek.
Menonton Dunkirk menimbulkan sensasi seperti adegan pendaratan D-Day Omaha yang brutal di pembuka Saving Private Ryan tanpa perlu kehilangan energi seperti di pertengahan cerita kayak film perangnya Steven Spielberg yang kesohor itu.
Ingat, karena Dunkirk filmnya Christopher Nolan, tentu saja muncul strategi visual khas yang kerap dijuluki “Nolan Time”—ini julukan buat proses editing gambar cerdas yang mengacaukan persepsi kita mengenai linearitas waktu saat menonton film-filmnya. Kesannya ada alur maju mundur, menggabungkan cerita berbeda, tapi ternyata nyambung di satu titik, atau menambah perspektif dari sebuah peristiwa yang muncul di adegan sebelumnya.
Bagi pencinta film yang mulai sering nonton sejak awal 2000-an, Christopher Nolan adalah gerbang paling tepat untuk nyantri. Sanad keilmuan Nolan—yang teraba dari karya-karyanya—apabila dirunut bakal menuntun kita kepada Alfred Hitchcock dan Andrei Tarkovsky, raksasa-raksasa masa lalu yang karyanya penting dipelajari.
Lambat laun, Nolan paling pede dan merasa punya suaranya sendiri dengan mengacaukan persepsi penonton soal kronologi peristiwa. Jenis trik yang cocok banget buat anak sedang belajar memahami keajaiban film. Nolan membantu kita menyadari, “Wah, film ternyata bisa dibikin begini ya jalan ceritanya.” Penonton awam dilatih peka pada ritme editing, pilihan sudut pandang, penataan kamera, serta tak lupa dialog kunci antarkarakter.
Sayangnya, bertahannya ciri khas ini memunculkan persoalan besar, terutama pada Dunkirk. Gaya tutur dan kosa gambar paten ala Nolan membuat film ini terasa datar sekali, persis seperti gambaran jalan cerita yang saya tulis beberapa paragraf sebelumnya. Sangat besar risiko penonton membatin, “Udah nih, gitu doang?”
Penyebabnya bukan semata karena kita bosan sama “Nolan Time”. Sutradara kenamaan lain banyak kok yang selalu memasukkan ciri khasnya dalam film-film mereka. Di masa sekarang contohnya ya Quentin Tarantino (gambar old school dan plot nonlinear) atau Guillermo del Toro (yang selalu menghadirkan desain karakter monster/mahluk halus keren).
Problemnya, Nolan sejak dulu punya dua penyakit kambuhan: menghadirkan emosi dan penataan adegan laga. Dua masalah laten itu menodai Dunkirk di momen-momen penting. Nolan Time tidak cukup menambalnya.
Mari kita mulai dari poin kedua dulu.
Kita tentu ingat, Trilogi Batman adegan laganya hambar betul, kalau tidak bisa dibilang payah.
Dunkirk memang disiapkan sebagai film bencana, bukan film laga berlatar perang. Namun, tetap saja terasa sekali dogfight para pilot di atas Selat Inggris repetitif. Adegan-adegan itu beruntung tak jadi membosankan sebab Nolan menolak pakai CGI, bahkan memakai pesawat betulan buat dijatuhin ke laut (Ya Rabb, suara mesin Stuka-nya Jerman itu memang indah, cocok melambangkan malaikat maut. Jauh lebih indah dari Spitfire yang pakai Rolls Royce).
Untungnya lagi, gambar-gambar pilihan Director of Photography Hoyte van Hoytema ciamik betul. Ditambah soundtrack Hans Zimmer yang menyayat dan sering mengagetkan, repetisi perang udara jadi tak terasa.
Persoalan lebih penting terletak di poin pertama: emosi. Nolan terbiasa menambatkan jangkar emosi—dan momen dramatis yang menggerakkan cerita—pada persoalan yang dialami satu atau maksimal dua karakter utama. Dari Following sampai Interstellar, pakemnya selalu begitu. Biasanya tokoh utama punya pengalaman traumatis di masa lalu (istri mati, berpisah dari anak, dsb.). Si tokoh utama lalu akan berusaha mengatasi trauma atau menebus kesalahan di masa lalu. Pola berulang untuk penokohan protagonis ini membuat kita merasakan bobot tambahan dari kecanggihan teknis yang dipamerkan Nolan. Filmnya menjadi manusiawi, bukan cuma tontontan yang berusaha pamer bahwa sineasnya pinter.
Nah, karena di Dunkirk Nolan sengaja menghapuskan keberadaan tokoh utama, kualitas akting doang yang menentukan membekas tidaknya karakter di ingatan penonton. Prajurit, perwira, maupun warga sipil porsinya sama, tapi ujung-ujungnya cuma tokoh Pak Dawson yang paling bersinar. Dawson adalah pria yang ngotot membawa kapal kecil menyelamatkan para prajurit. Akting mumpuni Mark Rylance (pemeran Dawson) berhasil menampilkan keberanian, welas asih, serta kecintaannya pada laut dan mesin pesawat (yang terbukti menyimpan kenangan pahit). Semuanya terekam sempurna di benak penonton walau durasi kemunculannya di layar tak banyak-banyak amat. Di peringkat kedua karakter menonjol barangkali diisi oleh Komandan Bolton (Kenneth Branagh), perwira AL Inggris yang tak cuma dituntut memikirkan nasib anak buahnya, tapi juga pasukan Prancis, Kanada, dan Belgia yang ikut terjebak di pesisir Dunkirk.
Sisanya, biasa saja. Banyak tokoh yang mati numpang lewat gitu saja, namanya juga perang. Ada satu momen diniatkan mengharukan, ketika seorang prajurit sebetulnya bisa selamat tapi malah mati tenggelam. Seharusnya kita sedih, tapi penonton paling banter cuma bisa mengucapkan innalilahi dalam hati, saking cepatnya adegan itu berlalu. Begitulah risiko editing dan ritme gambar ngebut yang digemari Nolan. Demikian pula tokoh-tokoh yang dipaksa mati atau bernasib sial sekadar untuk kebutuhan plot. Jikalau momen klimaks terasa hangat dan mengharukan, itu bukan karena kita peduli pada karakternya. Keharuan itu lebih dipicu gagasan solidaritas serta pengorbanan tanpa pamrih demi kemanusiaan.
Kesimpulannya, Dunkirk adalah proses mengalami. Ketika penonton ingin masuk ke fase menghayati, pasti segera banyak terdeteksi bolong-bolong cerita (sebab memang ceritanya sederhana dan linear banget). Selain itu, Dunkirk merupakan film yang secara visual dan naratif akan maksimal hanya ketika kita menyaksikannya di bioskop, sebisa mungkin IMAX. Lanskap langit ketika Spitfire menukik, ratusan prajurit berbaring saat bom berjatuhan, dan kapal karam; semua unsur yang menggambarkan suasana evakuasi perang memilukan baru bisa kita alami sepenuhnya di layar lebar dan tata suara mumpuni.
Coba pindahkan film ini ke layar laptop 14 inci, pasti akan ada yang terasa kosong di dada kita setelah credit scene muncul. Perasaan hampa yang menyakitkan, apalagi jika kita rindu menantikan Nolan suatu saat bisa menceritakan kisah yang menyentuh tanpa struktur naratif serbacanggih andalannya.
Bagaimanapun, film Nolan selalu menonjol karena semakin sedikit sineas Hollywood yang berani mengajukan gagasan besar dan menghadirkan adegan minus CGI tanpa harus khawatir boros anggaran. Selama film-film superhero generik terus bertebaran kayak gulma, selama itu pula pendekatan khas Nolan (yang oleh produser dijual sebagai citra jaminan mutu pada penonton) akan mencuat di kerumunan. Ciri khasnya menjadi merek dagang yang berbeda.
Selain itu, visi Nolan memandang tradisi sinema sangat ramah kepada bisnis bioskop, seperti diharapkan Tim League. Filmnya bisa menghadirkan pengalaman berbeda dibanding tiduran sambil nonton layar laptop di kamar kos. Film Nolan memberi alasan orang masih perlu berangkat menonton film di layar lebar.
Akan menarik seandainya dia pindah ke Indonesia. Bisakah Nolan tetap menonjol di lanskap perfilman kita yang sedang dilanda wabah sejenis?
Hollywood dan perfilman Indonesia sama-sama kena wabah. Kalau di sono wabahnya superhero tak habis-habis, di Tanah Air yang masih mewabah adalah YouTuber mendadak main film medioker untuk mengapitalisasi popularitasnya (serta adaptasi novel populer jalan-jalan di negeri orang). Wabah-wabah itu tak jelas kapan bakal berakhir.
Kalau Nolan menonjol karena ciri khasnya menolak kompromi dan jadi cult, di Indonesia, salah satu sineas yang sukses mencuat dari kerumunan film medioker adalah sineas yang karyanya kacrut nggak ketulungan. Tentu saja yang saya maksud adalah Aa Gatot, aktor-cum-sineas dengan fans paling cult di tanah air.
Bisa nggak Nolan bikin karya lebih lucu dari Azrax? Belum tentu. Film-filmnya aja serius mulu dari dulu. Adegan lucu jarang-jarang. Batman sukses dibikin syurem. Sudah gitu, film Nolan tak pernah toh dianggap jelek? Mungkin ada yang nggak suka, tapi rasanya pencinta film tak akan sampai hati menuding salah satu judul dari katalog filmnya sebagai “jelek banget”. Aa Gatot jelas memiliki apa yang Nolan tak punya.
Katakanlah Nolan tertarik menjawab tantangan saya. Beban Nolan makin berat, karena bentar lagi Rafathar—yang trailer-nya menjanjikan kekacauan serupa Azrax—segera tayang.
Jadi jangan jemawa ya, Lan. Sana belajar dulu bikin film ke Aa ….