Lebih dari 20 tahun lalu, Art Spiegelman menerbitkan mahakarya yang kemudian mengubah pandangan orang mengenai komik: Maus. Sebagai komik, ia tidak hanya dibaca sambil mojok atau mengupil atau tidur-tiduran sampai ketiduran, tetapi juga didiskusikan secara serius di dalam kelas.
Lalu dimulailah era komik-komik autobiografis: Persepolis, Diary of Teenage Girl, dan seterusnya.
Maus tidak lahir begitu saja. Proses yang melatarbelakangi komik itu bahkan lebih ruwet daripada kelahiran anak gajah; (saya Perth nonton video gajah melahirkan dan itu kelahiran teruwet yang pernah saya saksikan) perlu pembantaian, pengusiran, trauma, dan hal-hal menyakitkan yang dibayangkan saja sudah bikin nyeri: Holokaus.
Di tahun 1938 terbit sebuah komik seharga sepuluh sen. 78 tahun embel-embel ‘Komik paling penting yang pernah diterbitkan’ membuat komik itu terjual seharga 956 ribu dolar. Komik itu, Action Comics No. 1, menceritakan Clark Kent dan Lois Lane, dan Petualangan Pak Superman. Kesuksesan Pak Superman kala itu mendorong berkembangnya komik-komik manusia misterius yang kemudian lebih dikenal dengan istilah ‘pahlawan super’. Dari Kapten Amerika hingga Manusia Plastik, dari Manusia Laba-laba hingga Manusia Ikan. Kelahiran dan tren pahlawan super ini pun tak lepas dari hal menyakitkan. Perang Dunia 2.
Seperti media-media di Amerika tahun 40-an, komik-komik pun dipenuhi propaganda. Ketika perang berakhir, pahlawan-pahlawan super-yang-misterius-tapi-nga-misterius-misterius-amat ini pun sekarat. Hingga 1950 hanya sedikit yang bertahan, salah satunya tentu yang paling (((anjeeeng))): Captain Marvel-nya C.C. Beck, yang kini sudah dilupakan banyak orang. Barangkali perlu perang lain untuk bikin Captain Marvel diingat lagi.
Bahkan komik fiksi ilmiah dan komik-komik antropomorfis (semoga Stan Sakai masuk surga karena telah menciptakan Usagi Yojimbo), tak muncul dan mendapat tempat begitu saja, mereka mesti berdiri di atas mayat-mayat pahlawan super yang tak laku.
Itu di Eropa dan Amerika, sekarang kita ke Asia.
Film dan komik Osamu Tezuka banyak membahas tema-tema luhur, seperti, cara mengatasi kesedihan, dan gagasan bahwa alam dengan segala keindahannya bisa dirusak oleh hasrat ingin memiliki yang menempel pada manusia. Tema lain yang sering digarap Tezuka antara lain kesepian (kehilangan orangtua, terpisah dari keluarga) dan bagaimana tokoh utama mesti bertahan dengan caranya sendiri, misalnya, Little Wansa. Atau cara mengatasi kesepian dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, seperti di Astro Boy.
Tetangga Tezuka, Hayao Miyazaki—yang kartunnya disukai banyak orang itu, juga tak jauh berbeda dengan Tezuka; berbicara banyak soal kehilangan. Di pembukaan Nausicaä of the Valley of the Wind, sang narator mendeskripsikan keganjilan yang terjadi akibat kesalahan manusia.
Tahun-tahun pasca-perang, Jepang tumbuh sebagai negara super haibat, baik ekonomi maupun teknologi (10 dari 10 anak muda yang saya tanyai di kantor ingin mengunjungi Jepang, ke kota mana pun~) tetapi dari karya-karya Tezuka dan Miyazaki (kita ambil dua saja, yha, di samping Akira dan Barefoot Gen) tampak jelas bahwa semaju apa pun teknologi di sana, seenak apa pun kita melihatnya sebagai tetangga, kemajuan teknologi tak sanggup menggantikan relasi antar-manusia.
Dan pemikiran seperti ini mustahil lahir tanpa sebab. Efek setelah nuklir dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki menyisakan kenangan pahit: anak-anak yatim piatu, bayi-bayi lahir tidak normal, bertahan hidup di bawah bayang-bayang radiasi nuklir, dan usaha-usaha memulihkan trauma. Tak heran Miyazaki gemar membuat karakter gadis independen, yang memecahkan masalah tanpa campur tangan orang dewasa; dan kartun seperti Grave of the Fireflies bikin Arman Dhani menangys~
Miyazaki dan Tezuka kecil menyaksikan kehancuran negeri mereka.
Saya membayangkan, Mojok, setelah bosan merokok dan ngopi dan putus asa melihat kelakuan netizen (dari yang tadinya sangat lucu sampai bermutasi menjadi makhluk berkaki delapan yang keluar dari lumpur Lapindo sehingga baik wajah maupun sikapnya merupakan cetak biru dari Pak Jenglot), memutuskan untuk membeli tali rafia di warung terdekat. Mojok gantung diri.
Namun pilihannya menggunakan tali rafia adalah cerminan dari keyakinannya yang masih separuh. Jelas-jelas penggemar Mojok banyak (dan saya bukan salah satunya), dan situswebnya sudah lebih berat dari dirinya sendiri.
Alhasil tali rafia putus dan Mojok cuma tersengal-sengal di lantai, memikirkan segelas air putih sambil berusaha bernapas.
Sebuah tragedi, dengan cara-cara aneh, melahirkan produk yang asyik dan di sisi lain memelihara kewarasan penikmatnya. Semoga tragedi bunuh-diri-yang-gagal bisa bikin Mojok melahirkan produk-produk seperti yang saya ceritakan dari awal, yang bukan cuma bisa men-tahi-anjing-kan kesedihan, tetapi juga mencegah umat manusia menjadi mutan terlalu cepat.