Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Ulasan Bacaan

Soeharto, Anak Desa yang Loveable

Margareth Ratih Fernandez oleh Margareth Ratih Fernandez
8 Juni 2017
A A
Soeharto, Anak Desa yang Loveable

Soeharto, Anak Desa yang Loveable

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Lahir dari keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS) di era Soeharto, membuat saya terbiasa mendengar dan sepertinya juga “dicekoki” pandangan yang mendewakan Soeharto. Bapak pembangunan, presiden rakyat, penolong kaum papa, kepala keluarga yang bijak, dan berbagai sebutan lain yang tentu amat tidak biasa-biasa saja. Namun, keadaan itu rasanya tidak terlalu masif terjadi, mengingat masa kanak saya pada pertengahan sampai menjelang akhir1990-an adalah masa-masa yang berat bagi kekuasaan Soeharto yang mulai menurun.

Bagi ketiga kakak saya yang lahir dan menjalani masa kanak pada dekade 1980-an sampai awal 1990-an, menaruh Soeharto dalam list cita-cita adalah sebuah keharusan. Untuk anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar, antusiasme menonton berita tentang presiden atau malah pidatonya, sama besar dengan antusiasme mereka menonton film kartun “Saint Seiya” atau pertandingan All England yang selalu mendebarkan saat wakil Indonesia beraksi. Para orang tua pada masa itu ─apalagi yang PNS─lazim mengarahkan anaknya untuk jadi orang besar yang sukses dan lovable dengan senyum ramah yang meneduhkan. Sebagai tolok ukur, Soeharto tidak bisa tidak dijadikan ada di urutan teratas.

Citra yang demikian luhur tidak nampak secara eksplisit dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto karya O.G Roeder. Alih-alih menempelkan kata sempurna pada Soeharto, Roeder justru hendak menyingkirkan kata itu jauh-jauh. Bahkan hidup Soeharto sejak bayi diceritakan bukan kisah yang mengundang tawa dan riang.
Belum sampai 40 hari usianya, secara tiba-tiba Soeharto bayi ditinggal pergi sang ibu, Sukirah, yang menghilang entah ke mana. Beberapa saat kemudian, Sukirah ditemukan sedang berada dalam kamar tengah sebuah rumah joglo yang besar. Tubuh Sukirah amat lemah, tak ada kekuatan sama sekali karena tidak ada makanan dan minuman yang ia telan. Praktis kewajibannya menyusui anak sulungnya pun tak terlaksana.
Roeder menggunakan kata “ngebleng” untuk menyebut kepergian mendadak Sukirah itu.

Bisa jadi Sukirah mengalami baby blues syndrome, yang memang umum dialami ibu-ibu pasca melahirkan. Sukirah adalah perempuan muda yang pastinya sangat rentan terkena sindrom ini di kali pertamanya melahirkan bayi. Jika hari ini sangat mudah mencari informasi untuk menangani baby blue syndrome, lalu bagaimana seorang ibu baru pada tahun 1921 melewati masa sulit macam ini?

Selanjutnya, bayi Sukirah yang di kemudian hari menjadi presiden Republik Indonesia yang paling lama berkuasa, disusui oleh salah seorang bibinya, Mbok Amat  Idris. Apa yang terjadi berikutnya pada Sukirah tidak diceritakan. Apakah kemudian dia dibawa ke dukun untuk dijampi-jampi atau diobati dengan ramuan-ramuan herbal, tidak Roeder jelaskan lebih jauh.

Bagian ini jelas bukan cerita indah untuk dikenang-kenang, walau kemudian kita bisa menangkap pesannya; hidup Soeharto sudah getir sejak lahir, tapi ia kuat. Dan masa kecil Soeharto berikutnya diuraikan Roeder sebagai riwayat yang biasa-biasa saja. Sederhana sekali.

Soeharto hanyalah anak desa yang lahir tanpa keriuhan tanda-tanda alam yang kudus di langit atau gunung yang meletus meluluhlantahkan hidup orang-orang. Proses menyusuinya tidak lancar. Ayahnya hanya seorang ulu-ulu, tidak kaya dan bukan bangsawan.

Kampung Kemusuk yang sepi tidak menjadi lebih meriah saat Soeharto datang ke dunia. Sungguh, ia hanya anak desa yang tidak istimewa, setidaknya dalam buku ini.

Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto terbit pada 1990, cetakan kelima dari buku yang awalnya berjudul Soeharto dari Prajurit Sampai Presiden.

Kabarnya, Soeharto sendiri yang mengehendaki judul seperti itu untuk menampilkan citra sebagai rakyat Indonesia pada umumnya, tanpa keistimewaan yang terberi.

Dalam kata pengantarnya, Roeder mengemukakan, judul asli buku ini terlalu menonjolkan “faktor militer”. Setidaknya, yang bisa saya tangkap adalah cetakan kelima ini dimaksudkan untuk melepas citra Soeharto dari “faktor militer” tersebut. Ia hendak digambarkan sebagai orang biasa.

Apa untungnya menggambarkan diri sebagai anak desa, orang biasa seperti yang lain padahal rakyat sudah menganggapnya serupa dewa? Jelas Soeharto hendak mengatakan bahwa tidak harus jadi anak bangsawan untuk jadi  presiden. Tidak perlu latar belakang pendidikan yang gilang gemilang untuk jadi orang besar.

Ya, Soeharto sang presiden, bapak pembangunan yang inspiratif itu adalah anak desa dan akan selalu begitu. Ada satu pernyataan yang secara gamblang mengungkapkan kecintaan Soeharto pada desa, tempat ia berasal.

“Saya merasa berhutang budi yang di zaman revolusi fisik telah membantu para prajurit-prajurit TNI dalam perjuangannya dengan uang, telah melindungi mereka, dan selalu menyediakan apa-apa yang mereka perlukan. Adalah wajar bila saya menaruh lebih besar perhatian pada masalah pembangunan pembangunan pedesaan. Di samping itu saya sendiri adalah anak petani.” (hal.217-218)

Roeder mengakui, dalam kata pengantarnya, “untuk dapat menyelami kepribadiannya (Soeharto) secara lebih mendalam, perlu membandingkannya dengan kepribadian orang yang digantikannya, yaitu Soekarno.” Di sinilah pentingnya menampilkan sosok yang sederhana dan biasa-biasa saja.

Iklan

Jika Soekarno dikenal sebagai Bung Besar, Bapak Revolusi yang masyhur, Soeharto harus ditempatkan pada posisi yang berseberangan. Soeharto tidak seperti pendahulunya yang sedari muda sudah resah dengan keadaan bangsa dan merasa terpanggil untuk sebuah “tugas suci”. Soeharto pun “tidak pernah menyisipkan romantisme revolusioner dalam pidato-pidatonya untuk mendapatkan persetujuan sinis dari kaum intelek progresif ataupun untuk merangsang emosi histeris dari massa”.

Kurang lebih ini memang menjadi salah satu alasan kuat kenapa si ‘Anak Desa’ masih dicintai rakyat Indonesia sampai sekarang. Prestasi yang jelas sulit disamai oleh si ‘Anak Kampung’ apalagi ‘Anak Singkong’.

Terakhir diperbarui pada 27 November 2018 oleh

Tags: Anak DesaAnak Desa: Biografi Presiden SoehartoO.G. RoederSoeharto
Margareth Ratih Fernandez

Margareth Ratih Fernandez

Artikel Terkait

Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO
Ragam

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

11 November 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili Mantan Menantunya

1 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.