Judul: Dawuk
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri, 2017
Gusti Allah. Saya menyelesaikan aktivitas membaca novel Dawuk dalam satu malam saja. Artinya, secara umum saya nyaman membaca novel Mahfud Ikhwan kali ini dibanding novel sebelumnya, Kambing dan Hujan (2015).
Saya sudah sadari itu sejak meraih Kambing dan Hujan di rak sebuah toko buku: membaca novel 400 halaman jelas perlu niat dan mental lebih, setidaknya untuk ukuran saya. Tapi, saya tetap membacanya sebab tertarik pada etiket yang tersemat di bawah judulnya. Kambing dan Hujan: Sebuah Roman.
Ya, roman. Meskipun tidak mendambakan karakter-karakter supranatural alias tidak logis sebab terlalu sempurna khas novel-novel penulis FLP yang saya baca semasa sekolah dulu, saya berharap nuansa roman itu muncul dalam Kambing dan Hujan. Namun, kemudian saya mendapati kisah cinta Mif dan Fauzia, dua tokoh utama novel itu, justru menjadi kisah yang serbatanggung.
Novel yang diakui sebagai roman itu mengisahkan kerumitan perjalanan cinta Mif dan Fauzia menuju pernikahan sebab orang tua mereka berselisih ideologi. Fauzia anak pemuka NU, Mif anak tokoh Muhammadiyah. Sengketa satu dua peristiwa masa lalu yang menjadi ingatan buruk bagi orang tua Mif maupun Fauzia memunculkan gengsi seandainya anak mereka akhirnya saling menyatu.
Inilah yang bikin saya agak jengkel. Latar masalah yang sederhana sekali mengajak pembaca untuk masuk pada keterangan-keterangan masa lalu yang seolah begitu rumitnya. Namun, bahkan sejak awal, bagi saya Mahfud sudah gagal membangun rasa antara Mif dan Fauzia. Kedua tokoh utama itu hilang dan tahu-tahu muncul begitu saja di akhir buku dengan drama yang tak dramatis.
Perasaan Mif dan Fauzia ketika jatuh cinta, saling kangen, atau waswas menanti restu malah tidak tampak dalam dialog yang bisa seharusnya bisa membikin kita berdesir layaknya ketika membaca roman kebanyakan. Yang terjadi, malah pembaca tersesat pada usaha keras Mahfud untuk membangun periodisasi sejarah dari masa ke masa, juga pesan-pesan moral membosankan ketika Mif maupun Fauzia bercakap-cakap dengan orang tua masing-masing.
Yah, bagian itu memang punya nilai lebihnya. Mahfud berhasil mengajak pembaca berjalan-jalan ke masa gawat pascakemerdekaan, juga menyajikan tokoh-tokoh masa kecil dalam semesta kehidupan orang tua Mif dan Fauzia dengan baik sekali. Tapi … cinta-cintaannya mana?
Syukurlah, gugatan-gugatan tersebut lalu terpuaskan ketika membaca karya Mahfud selanjutnya. Dawuk.
Dawuk, seperti dua novel Mahfud terdahulu, berlokasi di kawasan pesisir utara di timur Jawa, bersisian dengan hutan jati (wilayah yang melahirkan tradisi konflik sinder-mandor-blandongan), berkultur pesisiran yang ceplas-ceplos dengan orang-orang yang gemar menggunjing tetangga, dan bersemangat pada musik dangdut dan India, serta belakangan menjadi pemasok TKI ke Malaysia.
Protagonis novel ini, Mat Dawuk, adalah seseorang yang kelahirannya menyebabkan kematian ibu kandungnya. Tak lama kemudian, ayahnya juga meninggal dan kakeknya menghilang.
Terlahir dengan rupa menyeramkan dan latar keluarga yang tak bisa dibanggakan, Dawuk tumbuh jadi sosok terkucilkan yang menyimpan berbagai ketidaktuntasan identitas kedirian sekaligus amarah. Ia kemudian pergi ke Malaysia dan menjadi pembunuh suruhan. Ia membunuh siapa saja sesuai permintaan para penggajinya.
Di Malaysia, ia kemudian bertemu dengan Inayatun, kembang desa penggoda dan perusak rumah tangga orang lain. Tapi, yang Dawuk temui di Malaysia adalah Inayatun yang telah hancur-hancuran.
Tepat di sinilah saya bersorak untuk sang penulis. Ia berhasil membangun suasana manis ketika dua mantan preman laki-laki dan perempuan ini saling jatuh hati. Suasana manis itu muncul sejak di stasiun hingga di rumah singgah di Malaysia, berlanjut ke rumah kandang di desa mereka. Semua dialog pas, situasi batin pas, deskripsi-deskripsi adegan pada tiap segmen pas.
Ketika membaca novel ini, saya sempat waswas, senang, berbunga-bunga, hingga terempas dalam kesedihan yang mendalam secara proporsional. Lalu, epilog dan kejutan di akhir yang menguak diri si narator juga pas. Ini baru roman!
Latar-latar masa lalunya juga bisa saya nikmati. Takdir sebagai orang Blora membuat saya bisa membayangkan rezim Perhutani dan budaya pesisiran. Bahkan saya suka hampir keseluruhan penggambaran situasi psikologis di Desa Rumbuk Randu, desa Dawuk. Mulai dari para perangkatnya yang kemaki, detial-detail magis perdukunan, kesombongan penjual di pasar kepada Inayatun, sekaligus cara Inayatun berseloroh (bayangkan mantan preman yang tobat, tapi tidak hilang gaya premannya), dan adegan-adegan massal yang membuat merinding.
Kisah Dawuk diakhiri dengan tragis, tentunya karena dua tokoh utama sama-sama tak disukai banyak orang tapi sialnya sekaligus berkarakter menarik dan menantang hingga menimbulkan rasa iri dan dendam buat sosok-sosok jahat di Rumbuk Randu. Sebagai pembaca, saya sempat beralih rasa, mulai dari ikut ketakutan membayangkan sosok pembunuh itu, lalu sentimentil ingin jadi sahabat karib yang mengawaninya berbagi rasa, dan berakhir jatuh penasaran dan ingin menemukan keberadaannya hari ini.
Faktor penting kenapa saya gampang khatam Dawuk, sesungguhnya adalah karena buku ini relatif tipis. Buku tipis tapi efektif bagaimanapun adalah sebaik-baik buku untuk dibaca.