Bayangkan begini. Pada sebuah malam yang menggigit, perut Anda tiba-tiba didera rasa lapar yang teramat sangat. Tak ada pilihan lain, Anda kemudian berada di dapur dan segera melakukan ritual klasik: mengambil sawi dari kulkas, memotongnya jadi dua atau tiga bagian dengan tangan kosong, lalu membuka satu atau dua bungkus mie kesayangan. Ya, selain secangkir kopi, (kuah panas) mie rebus adalah penawar udara dingin yang mujarab.
Ndilalah, sebelum mie rebusnya matang, tiba-tiba selera Anda berubah drastis: ingin mie goreng dengan taburan bawang yang kemriuk di atasnya. Namun karena Anda malas membuang waktu lebih lama untuk memasak kembali, alhasil mie rebus yang sudah matang beserta bumbunya itu kemudian Anda paksa menjadi mie goreng dengan cara yang paling gampang: membuang kuahnya.
Tapi bukankah bumbunya tetap mie rebus? Lalu bagaimana rasanya? Tentu saja keasinan, Dab! Ya sudah, mau bagaimana lagi, wong sudah lapar tak terperi kan?
Eeeee… belum seperempat porsi mie goreng gadungan itu habis, selera Anda kemudian menikung kembali dengan tajam. Imajinasi Anda kini membayangkan seporsi spaghetti dengan luluran saus bolognaise. Kurang ajar betul, siapa sanggup mengabaikan imajinasi semacam itu di malam yang dingin dengan rasa lapar mendera?!
Membuang tiga perempat mie yang masih mengepul dan berselimutkan bawang goreng, lalu menyalakan kembali kompor untuk masak spaghetti, tentu bukan pilihan praktis. Cenderung bodoh, bahkan. Alhasil, mie rebus yang telah didandani menjadi mie goreng tadi kini berlumuran saus bolognaise.
Celakanya, meski telah tiga kali melakukan perubahan mie yang dipandu oleh nafsu kuliner tadi, pada akhirnya Anda tidak jadi meneruskan makan. Apa lacur, mie yang Anda buat itu kini rasanya jadi tidak karuan. Bahkan tambahan ayam bakar sisa tadi sore yang mempur, serta beberapa butir bakso yang empuk, tidak juga menggugah selera. Dan sekarang Anda hanya mampu terduduk di dapur dengan lapar yang makin hebat dan mulut yang mecucu sembari bersungut-sungut:
“Jiiiaaangkrik!”
Seandainya saja, ya, seandainya saja pikiran Anda tak mudah terbius imajinasi yang serakah tadi, mungkin kini Anda masih menikmati semangkuk mie rebus dengan potongan sawi dan butiran bakso yang menggugah selera. Demikian penyesalan Anda.
* * *
Setiap kali memperhatikan pemerintahan Jokowi, terus terang, pikiran saya selalu teringat pada lelucon mie rebus yang berubah jadi spaghetti tadi.
Coba bayangkan, seorang wali kota yang memenangkan 90,09 persen suara pada Pilkada periode keduanya di Solo, April 2010, belum juga separuh jalan, pada Juli 2012 ia sudah maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Setelah melalui dua putaran pemilihan, pada Oktober 2012 ia pun dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kembali, belum genap dua tahun jadi gubernur, pada Maret 2014, Jokowi menyatakan diri siap jadi calon presiden. Dalam palagan Pilpres 2014, ia akhirnya ditetapkan sebagai pemenang. Bekas pengusaha mebel ini dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2014.
Dari sisi karier, tentunya itu adalah perjalanan karier politik yang hebat. Memenangi dua kontestasi politik puncak di tingkat lokal dan satu kontestasi di tingkat nasional dalam rentang empat tahun adalah sebuah rekor yang akan sulit dipecahkan siapapun. Sepertinya, hanya keajaiban saja yang memungkinkannya terjadi. Dan fenomena Jokowi memang adalah keajaiban itu sendiri.
Tapi sebagaimana mie rebus yang malih rupa jadi spaghetti yang rasanya tidak karuan tadi, begitu pula pemerintahan Jokowi sekarang ini. Rezim yang semula didaku sebagai representasi kemenangan masyarakat sipil tersebut, belum lama ini tiba-tiba saja menawarkan ide pelatihan bela negara untuk seluruh penduduk, mulai dari anak TK hingga pensiunan.
Ditambah rencana memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia, yang dilakukan dengan jalan mengubah sejumlah regulasi di bidang pertambangan dan energi. Jauh sekali dari merek Trisakti dan label “Soekarnois” yang semula dilekatkan pada Jokowi semasa kampanye. Itu sebabnya kenapa perubahan nama kabinet Jokowi, dari yang mulanya “Kabinet Trisakti” menjadi “Kabinet Kerja”, bagi saya amat dilandasi kejujuran.
“Trisakti” membawa dan menyimpan beban ideologis yang tak ringan. Sebuah tujuan sekaligus metode yang tegas dan jelas. Sementara, karena hanya disebut “Kabinet Kerja”, kabinet Jokowi tak memikul beban berat mengenai apa yang mau dikerjakan, termasuk untuk siapa kerja-kerjanya akan diorientasikan. Penamaan Kabinet Kerja, dalam penilaian saya waktu itu, adalah pilihan yang cerdas sekaligus jujur.
Sudah setahun berlalu, anggapan tempo hari itu kini kian menjadi kenyataan.
Inkonsistensi pernyataan-pernyataan pemerintah terkait sejumlah persoalan penting yang menjadi perbincangan publik dalam setahun terakhir, mulai dari soal subsidi BBM hingga proyek kereta super cepat, misalnya, menggambarkan bahwa pemerintahan sekarang ini memang belum selesai mendefinisikan dirinya sendiri. Ada banyak keputusan dan pernyataan pemerintah yang saling bertolak-belakang satu sama lain, atau terus-menerus berubah tanpa bisa dipahami polanya.
Dan itu persis dengan ilustrasi cerita tentang seseorang yang kelaparan tadi, yang tidak jelas apa yang mau dibikinnya, mie rebuskah, mie gorengkah, ataukah spaghetti-kah.
Lantas di mana letak masalahnya, sehingga pemerintah masih plintat-plintut sampai sekarang dan belum juga sanggup mendefinisikan diri serta kehendaknya secara mandiri? Kepada blio yang bersangkutan, mungkin pertanyaan tersebut bisa kita ubah jadi begini:
“Pak Jokowi, nuwun sewu, sebenarnya siapa sih yang jadi chef di dapur kekuasaan Anda? Kok tidak jelas begini. Mau bikin mie rebus, mie goreng, spaghetti, atau apa, ya? Soalnya nganu, Pak, maaf loh ini sekali lagi, rasanya tidak enak sama sekali.”