[MOJOK.CO] “Menjadi indigo, pengalaman hidup dengan mata batin terbuka.”
Malam itu cukup berangin sebagaimana malam-malam di musim penghujan. Saya baru saja selesai salat Isya, masih di serambi masjid mencari sepasang sandal, ketika Wenny sudah sampai di lokasi tempat kami berjanji temu.
Wenny adalah sahabat saya. Ia seorang indigo atau, sederhananya, orang dengan kemampuan supranatural. Soal indigo itulah yang menjadi alasan pertemuan kami malam itu, saya ingin bertanya-tanya seputar indigo kepadanya.
Saya menghampiri Wenny yang baru saja memarkirkan kendaraan di halaman parkir sebuah kafe di selatan Jogja. Masjid dan kafe hanya bersebelahan, jadi saya bisa melihat kedatangannya.
“Hai, Wen! Ngobrolnya di dalam saja yuk,” ajak saya. Kami tak bertanya kabar, bahkan untuk basa-basi semata. Sesama indigo biasanya bisa merasai kondisi satu sama lain. Itu membuat mereka—atau kami—irit kata.
Sambil menenteng buku menu yang telah disediakan pramusaji, kami memilih meja yang jauh dari kegaduhan pengunjung lain. Biar lancar obrolannya.
Wenny memesan jus mangga sedangkan saya memesan segelas teh panas dan kudapan. Saya yang memilih bertemu di kafe ini. Alasannya, atmosfer atau nuansanya cukup “positif”. Maklum, kalau energi sekitar positif, biasanya pikiran manusia di tempat tersebut juga ikut positif dan segar. Ini menjelaskan kenapa kadang ada tempat yang bisa tiba-tiba mempengaruhi mood atau kelancaran ide-ide kita.
Sambil menunggu pesanan dihidangkan, saya membuka obrolan.
“Wen, kan banyak tuh orang yang menyangka macam-macam tentang indigo. Ada yang bilang itu hasil perbuatan baik di kehidupan sebelumnya, ada yang bilang itu berkah dari Tuhan, bahkan ada yang bilang itu gangguan jin,” sambil menyatakan poin yang terakhir, sebenarnya saya menahan tawa, “kalau menurutmu bagaimana?”
“Pilihan. Indigo itu pilihan.”
“Maksudnya pilihan bagaimana?”
“Iya. Itu (menjadi indigo) sudah digariskan Tuhan. Tapi, ada juga indigo yang memilih menutup keindigoannya. Ada kenalan yang memilih menutup mata batinnya karena alasan tertentu, seperti tidak sanggup melihat atau merasakan yang tidak semestinya.”
Ini senada dengan jawaban Vivit, teman indigo saya yang lain. Ia pernah bilang, kemampuan indigo adalah berkah. Saya jadi ingat kepada salah seorang teman: ia bukan indigo dan sempat mampu melihat makhluk halus karena ada “gangguan” (istilah umumnya, ketempelan) jin. Barangkali, ini yang rancu dipahami oleh awam sehingga kemudian menganggap kemampuan berinteraksi dan melihat makhluk halus sebagai pengaruh jin.
“Kan tingkatan ‘pemberian’ dari Tuhan ada bermacam-macam. Ada mukjizat yang diberikan kepada para nabi. Ada karamah (berupa kemampuan indigo) yang diberikan kepada golongan di bawah nabi, misalnya kepada para ulama atau wali atau orang-orang yang dipilih oleh kehendak Tuhan. Kalau awam, diberkahi dengan hikmah.”
“Jadi indigo juga tidak mudah,” lanjut Wenny, “Kadang sakit kepala berat karena mengetahui banyak sekali hal padahal pikiran belum siap.”
Kata Wenny, ada beberapa tokoh pilihan yang diberi karamah indigo. Ia menyebut Almarhum Gus Dur dan Cak Nun. Dalam hati saya mengirimkan Al-Fatihah untuk keduanya.
“Kalau beda dukun, paranormal, dan indigo apa, Wen?”
“Dukun dan paranormal memperoleh ilmunya dari belajar, Mbak. Menjalankan tirakat atau laku. Klien yang meminta bantuan biasanya menyediakan syarat-syarat tertentu. Atau meramal menggunakan kartu tarot, misalnya. Kalau indigo atau ustadz tidak seperti itu. Kalau menyadari akan terjadi sesuatu di masa depan, datangnya di perasaan atau batin (berupa firasat), tidak pakai perantara kartu tarot. Paling diminta rajin salat atau membaca doa pilihan dalam Al-Quran.”
Saya ingin membenarkan, namun perhatian saya teralihkan oleh kedatangan pesanan kami.
Tentang keilmuan yang dipelajari tersebut, saya jadi ingat bahwa dalam wawasan Kejawen, ada yang meyakini bahwa hari lahir seseorang memengaruhi bakat orang tersebut di dunia supranatural. Orang dengan kelahiran Sabtu Pahing, misalnya, dikatakan memiliki doyo perbowo atau energi halus paling tinggi.
“Benarkah?”
“Ya, dalam Kejawen ada seperti itu. Tapi, orang yang auranya bukan indigo lantas mempelajari hal-hal supranatural tidak lantas mengubah warna auranya menjadi indigo.”
“Kemampuan indigo itu apa saja?”
“Macam-macam. Berbeda-beda. Ada yang déjà vu, jadi sesama indigo bisa saling mengingatkan. Ada yang bisa flashback. Ada yang bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib. Ada juga yang hanya bisa melihat tapi tidak mampu berkomunikasi.”
Wenny menjelaskan juga sedikit tentang penampakan hantu yang terkadang memiliki dua wujud. Wujud pertama adalah wujud semasa hidupnya, misal perempuan cantik dan berpenampilan menarik. Wujud kedua adalah wujud mereka setelah wafat. Kalau misal wafatnya karena kecelakaan, terkadang wajahnya berdarah-darah.
“Hantu dan jin juga beda. Kalau hantu menampakkan wujud berdarah-darah, bisa diminta menampakkan wujud yang lebih baik. Kalau jin kadang sukanya menganggu dengan penampakan menakutkan.”
Bab ini mengingatkan saya kepada Vivit. Dirinya hanya bisa melihat, namun tidak mampu berkomunikasi. Vivit pernah bilang bahwa seorang indigo “Ada yang bisa mengobati penyakit, melihat aura orang lain, meramal, dan banyak lagi sebenarnya. Dipengaruhi juga oleh tingkat kecerdasan si anak indigo yang di atas rata-rata.”
Inti dari penjelasan Wenny dan Vivit ialah indigo juga memiliki tingkatan-tingkatan. Saya sendiri termasuk indigo kasta paling bawah.
Menurut Vivit, umumnya seorang indigo terlahir dengan bawaan kemampuan tersebut. Namun, ada juga yang mendapat kemampuannya saat dewasa alias bukan bawaan lahir karena mata batinnya baru terbuka di usia tertentu.
Wenny tergolong indigo dengan kemampuan “tinggi”, di atas indigo kebanyakan. Ia, misalnya, menjelaskan, yang merupakan hasil dari menyaksikan, proses kelahirannya sejak masih berupa gumpalan darah dengan detail.
“Pernah dimintai tolong yang aneh-aneh, Wen?”
“Sering. Sekarang saja ada tiga: mencari dompet temannya Mama yang hilang, ATM suami sesama apoteker yang jatuh, dan uang Mama yang hilang”. “Tapi,” katanya lagi,
“paling berat itu kalau dimintai tolong orang yang mau meninggal tapi punya ‘pegangan’. Itu berat dan ngeri.”
Ia menuturkan kengerian itu, tetapi saya tak berani menceritakannya di sini. Batin indigo kasta rendah saya ikut tak nyaman.
Di akhir obrolan kami, Wenny memberi tips dari indigo untuk non-indigo: sebaiknya, kalau sedang berada di tempat baru, jangan asal menunjuk. Ada energi yang bisa masuk lewat jari. Bisa ketempelan atau kesurupan. Itu sebabnya mengapa merukyah dilakukan dengan menekan jari.
Pengalaman indigo sebagaimana kisah Wenny atau Vivit mungkin sulit dipercaya akal sehat. “Aku pernah ditertawakan orang karena menceritakan hal tidak masuk akal, tapi kalau curhat dengan sesama indigo baru nyambung,” kata Wenny. Sebagai seorang indigo, saya bisa bilang bahwa pengalaman indigo adalah soal “mengalami”.