Zlatan Ibrahimovic membangkitkan Milan dari tidur panjangnya
Desember 2019, Milan bertandang ke Bergamo, kandang Atalanta hanya untuk dipermalukan 5-0. Raksasa Italia tidak pernah menderita kekalahan sebesar itu sejak 22 tahun. Hasil tersebut seakan menyimpulkan performa Milan sejak dimulainya musim Serie A 2019/2020 yang dapat diwakilkan melalui satu kata: BUSUK.
Kemudian waktu berjalan sebagaimana biasa bagi tifosi Milan, sebiasa mereka menderita kekalahan demi kekalahan, hingga kemudian kabar itu tersebar. Zlatan Ibrahimovic, pemain terakhir yang membawa Scudetto ke kota fashion dirumorkan akan kembali ke Milan. Bukan untuk bergabung ke sisi biru hitam melainkan kembali ke “neraka”, tempat para Iblis bersemayam. Ya, Zlatan kembali ke Il Diavolo Rosso (The Red Devil), julukan AC Milan.
Kembalinya Zlatan di paruh musim ke AC Milan sesungguhnya bukan kabar yang menghebohkan. Setidaknya, tak seheboh bergabungnya Ronaldo ke Juventus di awal musim sebelumnya. Hal ini tidak mengherankan karena Zlatan kembali ke Milan di umurnya yang ke-38, sudah sangat tua untuk ukuran pemain sepak bola. Namun, sebagai pemain dengan Curriculum Vitae mentereng, yakni selalu meraih gelar juara liga di klub manapun yang pernah ia bela, banyak yang bilang bahwa kedatangan Zlatan diproyeksikan Milan “hanya” sebagai penguat mental tim. Skuat Milan saat itu kebanyakan diisi pemain muda. Data dari Transfermarkt, di musim 2019-2020, Milan tercatat sebagai tim yang paling sering menurunkan line-up pemain dengan rata-rata usia termuda di liga, 19 kali alias setengah dari total game yang dimainkan selama semusim.
“Zlatan datang untuk menguatkan mental para pemain muda”. Terdengar klise, namun siapa yang tidak setuju dengan statement tersebut? Milan sudah hancur lebur di paruh musim, skuat minim pengalaman, pelatih medioker. Pioli bahkan sudah di ambang pemecatan. Zlatan bukan Superman, dia tidak akan serta merta mampu mengangkat performa Milan.
Biarlah orang berkata demikian. Kelak, pemain asal Swedia itu akan membuat orang-orang yang menyemburkan statement asal-asalan tersebut (dalam hal ini termasuk penulis) menyesal.
Paruh musim kedua digelar, Serie A tetap berlangsung meriah sebelum pandemi memaksa badan liga menunda banyak pertandingan pada medio Maret. Performa Milan mulai membaik. Usai bencana di Bergamo, Milan berhasil sedikit demi sedikit memperbaiki keadaan. Total 15 poin diperoleh dari 9 pertandingan sampai dengan masa penundaan liga. Hasil ini tentu jauh lebih baik dibanding periode sebelum kedatangan Zlatan di mana mereka hanya mengoleksi 21 poin dari 17 pertandingan.
Dalam masa on fire seperti ini, Milan harus dipaksa melepas pedal gas dan menginjak rem sekencang-kencangnya. Musababnya, agenda sepak bola dunia yang diharuskan mandeg selama 3 bulan akibat pandemi, sebelum kembali restart di bulan Juni. Banyak yang menganggap keputusan UEFA dan federasi sepak bola di seluruh Eropa memulai kembali kompetisi terlalu gegabah dan hanya memikirkan bisnis belaka. Pandemi masih mengintai, vaksin bahkan belum ditemukan saat itu.
Namun, meski di satu sisi kami para fans sepak bola mengutuki ketamakan UEFA dan konco-konconya, di sisi lain, 3 bulan dikurung tanpa sepak bola adalah tambahan derita tersendiri di masa pandemi. Oleh karena itu, keputusan untuk me-restart kembali kompetisi adalah salah satu penambah imunitas di periode yang gila ini.
Sebagaimana kompetisi lain di benua biru, Serie A juga kembali bergulir dengan jadwal super padat. Pada periode ini, Milan ternyata lebih menggila. Libur 3 bulan, Milan seakan terlahir sebagai tim baru, bukan Milan yang dihajar Atalanta 5-0, bukan Milan yang kalah 8 kali dari 17 pertandingan (hampir separuh jumlah pertandingan dilalui dengan kekalahan). Pendek kata, Milan is Back (kata bapak-bapak Milanisti). Salah satu teman saya, seorang Milanisti bahkan berkelakar bahwa Milan adalah satu-satunya tim Italia yang selama tiga bulan masa reses, “WFH”-nya dilewati dengan kerja betulan, tidak seperti tim lain.
Puncak parade kegilaan Milan adalah ketika mereka menggilas Juventus 4-2, setelah sebelumnya sempat tertinggal 0-2. Dapat ditebak dengan mudah siapa jenderal gagah perkasa yang memimpin Milan menabuh genderang perang melawan sang juara Italia dan berakhir dengan mempermalukan mereka. Ya, dialah Ibrakadabra.
Usai pertandingan ini penyakit musiman Zlatan, yaitu songong, kambuh lagi. Dengan pedenya dia berkoar “If I was here from the beginning of the season, we would have won the Scudetto!”. “Kalau saya di sini sejak awal musim, Milan bakal dapat scudetto”. Namun siapa yang mau peduli dengan ucapan songong Zlatan Ibrahimovic selain media? Para pecinta sepak bola yang sudah tahu tabiatnya sejak lama, bahkan tidak akan peduli andai dia berkata bisa pergi ke luar angkasa tanpa baju astronot.
Penikmat sepak bola boleh merasa jengkel dengan mulut besar Zlatan Ibrahimovic. Namun, deretan angka dan statistik berkata lain. Keduanya bertekuk lutut, sungkem ndlosor, di hadapan manusia jangkung asal Swedia itu. Whoscored mencatat, andai liga dimulai sejak Zlatan bergabung kembali ke Milan, Milan akan berada di posisi kedua di tabel klasemen, terpaut hanya 2 poin dari Atalanta. Dan jika poin dihitung sejak liga dimainkan kembali usai penundaan pandemi, niscaya Milan lah yang akan bertengger sendirian di puncak klasemen.
Sayangnya performa maksimal Milan pada paruh musim kedua musim 2019/2020 tidak banyak menolong posisi mereka. Sudah babak belur sejak awal musim, Milan hanya dapat menempati posisi ke-6 di klasemen akhir. Tidak cukup buruk sebenarnya, karena jika kita simulasikan paruh musim kedua dilewati Milan sebagaimana paruh musim pertamanya, mereka hanya akan meraih 44 poin dan terlempar jauh dari 10 besar klasemen.
Sudah dua setengah tahun waktu berjalan sejak kembalinya Zlatan Ibrahimovic ke Milan. Pagi ini, usai drama semusim penuh dengan rival sekota Inter, AC Milan akhirnya merasakan lagi manisnya gelar juara. Scudetto kembali setelah 11 tahun. Trofi liga sebenarnya bisa saja datang semusim lebih awal. Namun tahun lalu, Inter Milan yang notabene tetangga satu kontrakan dengan Milan terlalu kuat untuk disaingi dengan duet Lukaku dan Lautaro yang dipimpin Antonio Conte.
Panitia liga memberikan gelar resmi sebagai MVP, pemain terbaik Serie A, musim 2021/2022 kepada Rafael Leao, pemuda Portugal andalan AC Milan dua tahun belakangan ini. Beberapa fans Milan tidak sependapat. Mereka menganggap kiper cadangan Inter, Ionut Radu, lebih pantas menjadi MVP Milan musim ini karena sumbangsih besarnya melakukan blunder saat laga Inter lawan Bologna. Namun bagi saya pribadi, pahlawan sesungguhnya dari kembalinya Scudetto ke Milan adalah Zlatan Ibrahimovic.
Jika Anda pecinta anime Dragon Ball, Anda pasti familiar dengan yang namanya kacang senzu, kacang ajaib buatan pendeta Karin. Kacang ajaib ini berkhasiat memulihkan kembali stamina serta kekuatan orang yang memakannya, meski ia sudah sekarat. Son Goku, Kuririn, Piccolo, Vegeta, dan banyak tokoh lain di Dragon Ball tercatat pernah mengkonsumsinya. Dan AC Milan, raksasa Italia yang 10 tahun lebih sekarat, telah menemukan kembali kacang senzu-nya dalam diri pemain kawakan bernama Zlatan Ibrahimovic.
Penulis: Abdul Abas Nur Aprianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rodrygo, The Starboy