Ini adalah sebuah keresahan seorang pejalan kaki jomlo yang tiap berangkat atau pulang kerja diliputi perasaan waswas. Khawatir diserempet mobil atau motor, bahkan truk, entah untuk keberapa kalinya.
Pagi itu, sekitar pukul 07.30, saya hendak berangkat kerja seperti biasa. Sambil menjinjing tas biru tua, saya melangkahkan kaki dengan penuh semangat, menyusuri jalanan di kawasan Cinambo, salah satu kecamatan di Kota Bandung bagian timur–yang mau ada covid atau enggak, tetap rame itu lho.
Bagi yang masih asing dengan daerah ini, gapapa, saya tidak pelit untuk mengenalkannya. Kawasan ini sebetulnya masuk Kota Bandung, tapi berasa kabupaten karena kondisi jalannya yang menurut saya, tidak mencerminkan nilai-nilai ke-Kota-an pada umumnya. Sempit, sepanjang jalan (daerah saya) ada selokan yang entah kenapa tidak ditutup, dan kiri-kanan jalan dipenuhi dengan pabrik-pabrik, pedagang aneka macam makanan, maupun kos-kosan.
Foto di atas adalah pemandangan langka, ketika jalanan cukup lengang dari lalu lalang kendaraan. Setiap saya maju empat atau lima langkah, setelahnya pasti akan langsung menengok ke belakang untuk memastikan ada kendaraan yang akan melintas atau tidak. Bukan apa-apa, khawatir si pengemudinya tidak sadar kalau ada seorang perempuan jomlo yang berjalan mepet sampai ke bibir selokan demi menghindari marabahaya.
Setidaknya sudah lebih dari tiga kali, saya keserempet dari arah belakang. Yang paling parah baru keserempet spion mobil doang, sih. Alhamdulillah. Saat itu saya langsung refleks bergeser semakin ke pinggir. Itu pun lumayan sakit dan kaget juga. Maklum, saya orangnya selalu kagetan, efek pernah kesetrum ketika umur 12 tahun.
Sebagai pejalan kaki, saya sempat terpikir: apa beli sepeda aja, ya? Tapi, takut disangka ikut-ikutan “anak sepeda” hits nan kekinian yang mendadak ramai dan kadang bikin risih para pengemudi. Eh, nggak semua, sih. Ada oknum yang sembrono aja ini mah. Pokoknya, jadi banyak dilemanya perkara jalan kaki doang.
Terdengar lebay emang, kalau ada kendaraan yang lewat tuh, berasa kayak mau ditabrak dari arah belakang gitu, loh. Apalagi kalau si empunya nyalain klakson yang bunyinya amat menyebalkan, bikin kuping sakit setengah mampus. Ada dendam apa, sih? Perasaan saya udah sampai pinggir banget jalannya? Lalu, setelahnya, istighfar kembali sambil tetap melanjutkan perjalanan yang padahal nggak jauh-jauh amat.
Lebih seramnya lagi, kalau yang melintas itu truk gede. Belum ditambah lirikan-lirikan menyebalkan dari si sopir atau kernetnya. Duh, cobaan pejalan kaki jomlo kenapa gini amat, yak?
Foto di atas adalah suasana perjalanan pulang saya ketika kendaraan sedang ramai-ramainya. Kalau lagi halu, sih, auto-ngebayangin cerita FTV yang kalau ada perempuan keserempet, jatuh di jalan, atau kecipratan air genangan bekas hujan, kelanjutannya pasti happy ending. Selalu ada sosok tamvan yang kebetulan jomlo juga, keluar dari mobil mevvah, datang menawarkan bantuan, dan berlanjutlah sebuah pendekatan. Hmmm, tapi nyatanya tidak sesederhana dan semengharukan itu. Kiranya benar kalau cerita di FTV itu terlalu lebay dan sulit diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Anjayani!
Masih heran aja, ada dendam apa, sih, sebenernya sama pejalan kaki? Emang sih, jalanan ini nggak ada trotoarnya dan jelas sangat tidak cocok bagi siapa pun yang nekat jalan kaki minimal dua kali sehari kaya saya ini.
Tapi, yaaa, mau gimana lagi? Sebagai seorang yang belum punya kendaraan apalagi ojek pribadi yang bisa antar-jemput setiap hari, mau tidak mau saya mesti jalan kaki. Lha wong, cuma 7 menitan dari kosan. Sayang kaaan, kalau mesti pesan ojol, mending uangnya ditabung buat modal nikah renovasi rumah orang tua di kampung.
Ketika jiwa suuzan dalam diri saya bergejolak, agaknya, para empunya kendaraan bermesin itu emang beneran punya dendam pribadi sama pejalan kaki. “Ini jalan udah jelas-jelas cuma buat kendaraan, sadar diri aja ya, Mbak.”
Kalau prasangka ini benar, “Helowww … di mana letak nuranimu, wahayyy para empunya mobil Mitsubishi dan motor Suzuki?”
Jadi, harus semepet apa diriku berjalan? Bawaannya waswas terus tiap jalan kaki dari kosan ke kantor, atau sebaliknya. Saking deg-degannya lewatin jalan dengan bejubelnya kendaraan itu.
Pernah, saking sempitnya jalan raya Cinambo ini, dengan amat terkejut dan tentu saja malu, saya pernah terperosok ke dalam selokan pinggir jalan ketika hendak berangkat kerja. Tenang, saya tidak menyalahkan para pengendara, kok. Mungkin saat itu saya yang tidak hati-hati karena terlalu banyak mikirin doi yang padahal udah lama pergi.
“Kamu teh abis dari sawah?” tanya si bapak satpam yang setia menanti di depan gerbang, saat melihat sepatu putih saya yang mendadak berubah warna dan menimbulkan aroma tidak sedap.
“Abis kerja bakti di selokan, Pak.” jawab saya dengan santai padahal hati masih menyisakan sejumput kemurkaan.
Secuil harapan dari saya, sebagai perwakilan “Aliansi Pejalan Kaki”, semoga para pengendara di daerah Cinambo dan sekitarnya bisa lebih arif lagi dalam menikmati perjalanan. Tidak hanya bisa menyombongkan deretan kendaraan pribadi, tapi juga mau (agak) peduli sama para pejalan kaki, apalagi yang masih sendiri ini. Sekian.
Sumber gambar dalam artikel: dokumentasi pribadi penulis.
BACA JUGA Saya Lulus Kuliah Lama Gara-gara Kecewa dengan Sosok Si Doel
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.