Yamaha Vega ZR lahir tahun 1999 dan mewarisi bentuk fisik sang legenda Yamaha FIZ R, batok dengan mata memandang tajam, bodi ramping sedikit nungging serta membawa mesin ber-isi silinder 105 cc. Dan yang paling utama adalah banderolnya yang terjangkau. Generasi pertama Vega memang dilahirkan untuk menjadi idaman anak muda kala itu
Tahun 2016, saat masih kuliah, saya memutuskan bertukar motor dengan adik saya. Vega ZR miliknya bertukar dengan Jupiter MX milik saya. Bodi ramping dan transmisi manual tanpa kopling tangan, menjadi solusi untuk menyusuri jalanan kota Makassar yang penuh dengan omong kosong.
Pada saat itu, Vega ZR yang merupakan generasi ke-3, sudah tak lagi se-superior pendahulunya. Ibarat film, Vega saat itu adalah “underrated” dari pabrikan Yamaha lainnya seperti Jupiter Z dan MX begitu pun bebek dari pabrikan lain.
Tak ada setitik pun penyesalan dalam hati saya memilih si merah. Demikianlah sapaan akrab saya dan teman-teman, mesin yang sudah dibore-up ke 113 cc, dan tampilan bodi yang sudah 2 kali berganti dengan tetap memegang teguh filosofi bebek sporty. Kenampakannya tetap sangar untuk sekadar digunakan berkeliaran di sekitar kampus. Sekalipun tentu saja tidak segagah Vixion atau X-Raid apalagi N-Max untuk memikat mahasiswi.
Berawal dari sekadar opsi default, track demi track yang kami lalui, saya mulai memahami hal-hal tentang si Vega ZR ini. Di antara yang membuat saya jatuh hati adalah mesin si merah yang bandel dan tidak rewel bahan bakar. Dengan kapasitas tangki 4+ liter, 120 km jarak antara kampung saya dan Makassar, motor ini hanya meminta singgah di SPBU 2 kali.
Perjalanan ke kampung biasanya saya tempuh dalam waktu -+3 sampai 4 jam. Waktu tempuh yang lama dan medan jalan yang naik turun gunung bukan menjadi masalah baginya. Sepanjang perjalanan saya sama sekali tidak merasakan tarikannya yang ngos-ngosan di tanjakan maupun saat menyalip kendaraan di depan. Mesin 2 valve/4 tak, menghasilkan tarikan setara dengan 4,5 daya kuda pada 7.500 rpm. Semakin panas, mesinnya semakin bandel. Yamaha memang selalu berhasil membuktikan bahwa mereka adalah yang terdepan.
Awal kebersamaan saya dengan si merah Vega ZR berlalu dengan penuh pragmatisme. Saya tak pernah menaruh kekhawatiran berlebih saat tak memiliki kesempatan atau uang untuk mengganti oli tepat waktu. Perihal stamina, tarikannya tak pernah sambat, saya sampai curiga. Vega ZR sebenarnya adalah motor Vixion yang menyamar jadi bebek.
Untuk seorang mahasiswa dengan budget bulanan pas-pasan, Vega ZR jelas motor yang sempurna. Sampai pada akhirnya saya menyadari ada masalah serius sekaligus lucu pada motor ini. Rantainya rupanya gemar los seperti rantai sepeda. Awalnya saya pikir ini accident semata. Sampai kejadian itu berulang dengan intensitas yang semakin bertambah, khususnya saat tersentak karena lubang atau polisi tidur.
Transmisi Vega tanpa kopling tangan ditambah dengan cara saya dalam memutar gas setiap kali berganti gigi, membuat gear mudah tergerus dan rantainya melar karena terlalu panas akibat gesekan yang sangat intens.
Memotong rantai hingga mengganti gear belakang adalah langkah yang saya tempuh untuk mengatasi masalah ini. Namun kejadian serupa tetap saja terulang. Mungkin karena kualitas rendah gear yang saya beli.
Belakangan saya ketahui, masalah los rantai memang persoalan yang sering dialami kebanyakan pengguna Vega ZR. Hingga suatu ketika saya harus membonceng wanita dengan motor ini. Di perjalanan, perasaan campur aduk antara senang dan khawatir muncul kalau-kalau si merah berulah. Saya pasti malu setengah mampus jika harus meminggirkan motor sekedar untuk memasang rantai, beruntung hal itu tak terjadi.
Kebersamaan saya dengan si merah hanya dalam kurun waktu 2016-2018. Dia telah banyak meninggalkan kesan sampai pada akhirnya kami berpisah begitu saja. Semata-mata agar saya terhindar dari kekhawatiran terutama soal rantai.
Konon Tuhan menciptakan dua jenis manusia. Kepada orang awam, Tuhan beri mereka kisah cinta yang indah. Kepada penyair, Tuhan beri mereka kisah cinta yang sesungguhnya. Bersama si merah, Tuhan memberikan saya kisah cinta yang “sesungguhnya”. Saya menyadari, menjual maupun mempertahankan si merah adalah sebuah kebodohan untuk saya.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Sensasi Berkendara di Jalan Raya 6 Tahun Tanpa SIM dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.