Kemarin saya nyoba lalar sepanjang Jalan Jalur Lintas Selatan (JLS) yang menghubungkan Kabupaten Gunungkidul dengan Wonogiri. Proyek jalan yang menghabiskan anggaran hingga ratusan miliar rupiah itu, membelah bukit-bukit karst yang dimiliki kedua kabupaten ini. Sejauh mata memandang, saya melihat Gunungkidul-Wonogiri memiliki banyak persamaan, seperti saudara kandung, tapi beda nasib.
Ya, terus terang saya iri dengan tetangga sebelah, Wonogiri, yang memiliki kondisi ekonomi jauh lebih baik dari Gunungkidul. Padahal, kalau dilihat-lihat kedua kabupaten ini nyaris serupa, lho. Sama-sama memiliki pegunungan karst, garis panjang pantai yang nyaris sama, dan penghasil gaplek terbesar di Indonesia. Tapi, kenapa, ya, Gunungkidul gini-gini saja (baca: angka kemiskinan sangat tinggi), sementara kita tahu, kian hari Wonogiri semakin menunjukkan taringnya di bidang ekonomi?
Biar nggak jadi asumsi belaka, saya kasih data nih. Menurut BPS, ada sekitar 17,69 persen warga Gunungkidul tergolong penduduk miskin pada tahun 2021. Artinya, ada lebih 135.330 ribu warga di Bumi Handayani ini terjerat kemiskinan. Sementara, dibandingkan Gunungkidul, angka kemiskinan di Wonogiri jauh lebih kecil, yakni 11, 55 persen.
Sekali lagi, kenapa saya harus membandingkannya dengan Wonogiri, ya, karena kabupaten yang berada di sebelah timur Gunungkidul itu letak geografis dan kehidupan sosial masyarakatnya cukup mirip. Saking miripnya, nggak sedikit kawan-kawan saya yang ada di luar daerah sangat sulit membedakan antara pantai Gunungkidul dan pantai Wonogiri. Maklum, kedua kabupaten ini memang punya panorama keindahan pantai pasir putih yang nyaris sama.
Jelas, potensi wisata di Gunungkidul bisa dibilang menang banyak jika dibandingkan Wonogiri. Ribuan wisatawan dari penjuru daerah datang ke tanah kelahiran membeli tiket, lalu dengan leluasa menikmati panorama keindahan alam yang ada. Tapi, kalau bicara masalah kesejahteraan masyarakat, saya kira Wonogiri jauh lebih unggul, ygy.
Semua orang tahu, Gunungkidul ramai dikunjungi wisatawan, karena peran para buzzer Jogja influencer yang begitu vokal dan pintar mempromosikan aneka objek wisata di media sosial. Tak ayal, setiap akhir pekan kendaraan dari penjuru daerah tumpah ruah memadati jalur wisata. Pertanyaannya, apakah semua masyarakat Gunungkidul ikut menikmati “kue pariwisata” ini?
Tidak. Sebagai orang yang dari orok sampai kepala tiga hidup di Gunungkidul, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa potensi wisata di Kota Belalang ini nggak bisa dinikmati masyarakat lokal. Saya kira semua sudah melihat dengan gamblang bahwa sebagian warga sejak dulu cuma jadi penonton saja. Hampir semua penginapan, toko-toko besar, hingga tengkulak ikan pun, milik orang luar Gunungkidul (baca:investor). Jadi, kalau ada yang tanya apakah sektor periwisata sangat berdampak pada kesejahteraan masyarakat hingga ke pelosok-pelosok desa, jawabannya adalah tidak.
Ironi memang, di saat sektor wisata semakin mendunia, tapi masyarakat Gunungkidul hidup di bawah garis kemiskinan. Akibatnya, masalah sosial, kayak kasus bunuh diri, perkawinan dini, hingga angka putus sekolah cukup tinggi di Gunungkidul. Dan kita tahu, semua masalah klasik itu ujung pangkalnya karena masalah ekonomi. Pasti.
Kondisi yang dialami masyarakat Gunungkidul ini tentu jauh berbeda sama Wonogiri. Meski sama-sama hidup di lereng-lereng gunung, pelosok desa, jauh dari peradaban kota, tapi warga Wonogiri setidaknya terdengar lebih mapan. Saya kira, ini nggak lepas dari peran pemangku kebijakan di sana yang cenderung lebih niat membangun daerah dan mengelola sumber daya yang ada dengan baik.
Terlepas dari banyaknya kesamaan antara Wonogiri dan Gunungkidul, ada sejumlah perbedaan kebijakan yang cukup siginifikan, salah satunya perihal pengelolaan UMKM, yang dalam hal ini adalah mi ayam. Ya, kita tahu Wonogiri sangat identik dengan kuliner berbahan dasar mi dan suwiran ayam ini. Bahkan, bisa dikatakan mi ayam berperan besar bagi pertumbuhan ekonomi di Wonogiri.
Hampir semua penjuru daerah di Indonesia, bisa dipastikan ada orang Wonogiri yang jualan mi ayam. Dan lihat, nyaris semua pedagang asal Wonogiri sukses dan hidup layak di tanah perantauan. Sebuah fakta yang cukup sulit dibantah. Cuma modal semangkuk mi ayam saja, Wonogiri mampu menguasai pasar kuliner di berbagai wilayah, dan pastinya bisa meningkatkan taraf kehidupan masyarakat lokal.
Tentu ini nggak terjadi secara ujug-ujug dong, melainkan butuh semacam support system dari pemangku daerah yang benar-benar tahu potensi sumber daya yang ada di masyarakatnya. Sementara, Gunungkidul yang punya potensi alam sebegitu besarnya, lha kok kondisi ekonomi masih gini-gini saja.
Menurut pengamatan pemuda asli Wonogiri, Rizky Prasetya, tanah kelahirannya terlihat lebih makmur beberapa tahun terakhir ini karena ada dukungan dari pemangku daerah untuk para perantau, baik dalam bentuk materi maupun kebijakan. Begitu juga sebaliknya. Istilah “bali desa, mbangun desa” itu nggak hanya jadi jargon. Adanya pola seperti ini mampu menjadi support system untuk warga dan langsung bisa dirasakan dampaknya.
Bukankah hal seperti ini yang perlu dilakukan Pemkab Gunungkidul? Bukan malah sibuk gembar-gembor wisata, tapi warga nggak dilibatkan sama sekali? Atau jangan-jangan potensi wisata Gunungkidul emang sengaja “dijual” dan warga dipaksa untuk jadi penonton saja?
Maksud saya begini, terlepas dari konstelasi politik apa pun itu di Jawa Tengah, saya kira Pemkab Gunungkidul perlu bercermin, belajar, dan ngangsu kawruh sama tetangga dekatnya, Wonogiri. Gunungkidul nggak cuma punya potensi pariwisata saja lho, Pak, ada bakmi, tiwul, gatot, dan seabrek potensi kuliner lainnya yang sangat menjanjikan. Soal potensi di Gunungkidul, saya kira nggak kalah sama Wonogiri, baik SDA maupun SDM sebenarnya sangat mumpuni. Tapi, kenapa Gunungkidul justru jadi salah satu daerah paling melarat di Indonesia?
Wis, misal Pemda benar-benar mentok nggak ada langkah-langkah konkret dan meneruskan sistem mawut kayak gini, mending Gunungkidul-Wonogiri digabung jadi satu kabupaten saja lah. Kedua daerah sudah memenuhi syarat, kok, mulai dari keadaan geografis, kuliner, dan sama-sama adoh ratu cedak watu. Saya kira kalau digabung, Gunungkidul akan jauh lebih sejahtera dan simbiosis mutualisme akan tercipta di sana. Yakin wis.
Perkara gabungan dua kabupaten ini mau masuk provinsi Jateng atau DIY, itu urusan nanti, tak ngopi-ngopi dulu sama Mas Prabu Yudianto dan Pak Sri, gimana baiknya. Tapi, kayaknya lebih asik Jateng deh, ygy.
Sumber gambar: Rizal Setiya via Unsplash
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Istimewa, Gunungkidul Merana