Pada Selasa siang (25 Mei 2021) terjadi kebakaran di kawasan Alun-alun Utara Jogja. Kawasan yang dahulu menjadi pusat perayaan pasar malam sekaten ini mengalami kebakaran di bagian barat, tepatnya yang berhadapan dengan Masjid Gedhe Kauman. Kebakaran yang tidak terlalu hebat ini meluluh lantakkan area rerumputan kering seluas 8×8 meter.
Octo Noor Arafat selaku Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Yogyakarta menyampaikan dua unit kendaraan pemadam kebakaran berhasil memadamkan api hanya dalam waktu 15 menit. “Titik kebakaran tidak dekat Keraton, tetapi lebih dekat ke arah Masjid Gedhe Kauman,” kata Octo kepada Tempo.
Saya mencoba mewawancarai korban kebakaran yang fenomenal ini. Sayang sekali (atau syukurlah) tidak ada korban manusia pada peristiwa ini. Maka saya mewawancarai korban yang terlewatkan dari peristiwa ini, yaitu rumput di kawasan Alun-Alun Utara. Sebagai warga asli yang tidak perlu ditanyakan KTP mana bos, tentu rumput Alun-alun Utara sangat terpukul dengan peristiwa ini.
Tidak menyangka terjadi kebakaran
Mas Teki (beberapa bulan) mengaku baru saja tumbuh subur di kawasan Alun-alun Utara Jogja. “Saya cuma ikut orang tua saja mas. Pengennya sih merantau ke Mandala Krida, tapi saya tidak lolos kriteria jadi rumput lapangan bola. Lha saya nggak ada harganya, kalau rumput lapangan bola kan bisa dikorupsi,” ujar Mas Teki.
“Apa Mas Teki ini tahu kronologi sebenarnya dari kebakaran ini? Apakah ada pihak yang sengaja membakar rumput Alun-Alun Utara?” Cecar saya sambil jongkok di hadapan Mas Teki. Sayang sekali, pagar besi dua milyar menghalangi kami untuk kontak fisik. Itung-itung social distancing.
“Saya tidak tahu kronologinya mas. Dengar-dengar sih ada orang gila yang melempar api ke alun-alun. Ya saya maklum saja, Mas, musim seperti ini kami sedang kering. Jadi mudah terbakar seperti boomer yang marah-marah ke kurir,” ungkap Mas Teki.
“Yang saya tahu, api sudah membesar dan membakar beberapa saudara saya. Lha wong satu alun-alun ini semua rumput satu saudara. Tiba-tiba mak klap muncul asap dari arah sana,” imbuh Mas Teki sambil menunjuk ke arah lokasi kebakaran. Kebetulan Mas Teki tumbuh tidak terlalu jauh dari lokasi kebakaran.
“Luka-luka nggak, Mas?” Tanya saya. Mas Teki menjawab, “Ya Cuma tambah kering saja mas kepanasan. Tapi, alhamdulillah tidak sampai terbakar. Adik-adik saya juga selamat gemah ripah loh jinawi.” Mas Teki menambahkan, kebakaran ini baru pertama dialami blio dan keluarganya.
“Dulu-dulu nggak pernah kebakaran mas. Lha wong sebelum kering kami juga sudah habis. Baik dimakan ternak dan kuda yang kadang merumput di sini. Kalau pas Sekaten kami juga dipangkas. Atau diinjak-injak warga yang main bola atau sekadar nongkrong. Dulu malah kondusif, Mas, nggak ada kebakaran. Kata pakde saya yang di bawah lampu sorot itu, bertahun-tahun tidak ada kebakaran di Alun-alun Utara,” ungkap Mas Teki.
“Apakah kebakaran ini ada hubungannya dengan geger gedhen yang terjadi di dalam keluarga Keraton, mas?” Tanya saya.
“Wah no comment, Mas. Takut kualat jadi krokot, Mas. Tapi, opo tumon yang geger para bangsawan, yang jadi korban itu kami kawula narimo ing pandum,” jawab Mas Teki syahdu. Saya mengangguk-angguk takzim sambil menyalakan rokok.
“Jangan dekat-dekat, Mas!” Seru Mas Teki yang terlihat masih trauma dengan api. Mungkin Mas Teki mengalami PTSD.
Para rumput tidak bersalah
Mas Sokle (2 tahun) yang bekerja sebagai lampu highmast di kawasan Alun-alun Utara ikut berbagi rasa. Lampu yang dibangun dengan nilai kontrak satu miliar ini menyayangkan kebakaran yang terjadi. Menurut Mas Sokle, kebakaran ini baru pertama dialami dan seharusnya tidak terjadi.
“Padahal rumput di kawasan sini itu baik lho mas. Ramah juga pada wisatawan. Nggak nyangka lho mas,” ujar Mas Sokle. Blio menambahkan, ketika Alun-alun Utara belum dipagari, tidak ada kejadian kebakaran seperti ini. Mas Sokle bersyukur, blio tidak mengalami luka dan cedera saat kebakaran kemarin. “Disyukuri wae mas, saya masih bisa bersinar,” ungkap Mas Sokle.
“Menurut saya, Mas, ini ada andil dari pagar besi yang baru setahun berdiri ini. Untuk memadamkan api kemarin, petugas pemadam kebakaran sampai harus melompati pagar dengan susah payah,” ujar Mas Sokle. Blio menambahkan, sebelum ada pagar besi ini memang tidak pernah ada kebakaran di Alun-alun Utara.
“Dulu itu ya mas, kawasan sini asri. Rumput juga tumbuh sewajarnya. Tidak sampai menjadi belukar yang nggak estetis itu. Jadi ketika musim panas seperti ini rumput keringnya tidak sampai menjulang dan mudah terbakar. Lha semenjak ada pagar ini, malah tidak terurus. Rumput tumbuh subur semaunya sampai kering,” ujar Mas Sokle.
Tapi, Mas Sokle tidak memandang para rumput bersalah. Blio berujar, “lha jangan salahkan rumputnya. Kebakaran kemarin bukan 100% salah rumput dan apinya. Pembangunan pagar ini yang sebenarnya bertanggung jawab. Katanya menambah estetika, tapi malah membuat kawasan sini kumuh dengan rumput. Akhirnya kejadian tho kebakaran seperti ini. Aku wes mbathin mas,” ujar Mas Sokle menggebu-gebu.
Pagar Kraton hanya menjaga estetika Jogja
Kyai Pacak Suji (satu tahun) sang pagar Alun-alun Utara ikut bersuara. Blio merasa tidak diterima menjadi biang dari kebakaran rumput ini. Menurut Kyai Pacak Suji, kebakaran ini murni bencana dan tidak bisa dihubung-hubungkan dengan kebakaran yang terjadi.
“Jadi begini, kebakaran itu ya karena ada rumput yang terbakar. Bukan karena didirikannya saya selaku pagar Alun-alun Utara. Lha saya cuma anteng mengayomi rumput yang ada di dalam kok, malah saya yang disalahkan,” ungkap Kyai Pacak Suji. Menurut blio, seharusnya para rumput bisa beradaptasi dengan pembangunan yang ada.
“Kalau sudah tahu lingkungan alun-alun sekarang tertutup, ya harusnya para rumput yang tahu diri. Tumbuhlah sewajarnya, jika perlu jangan sampai kering. Kalau seperti ini, rusak sudah estetika Alun-alun Utara yang masyur,” keluh Kyai Pacak Suji.
“Tapi kehadiran njenengan menghalangi proses pemadaman kebakaran lho, Mbah. Jika Anda tidak didirikan, rumput di sini bisa terkontrol tumbuhnya. Toh menurut rumput di sini, dari dulu tidak ada kebakaran sampai njenengan dibangun,” ujar saya.
“Kok jadi salah saya. Seharusnya para rumput mengikuti new normal di sini. Jangan malah menyalahkan saya yang hadir demi keindahan Jogja. Kalau rumput-rumput ini tidak terbakar, tidak perlu juga para petugas repot-repot memadamkan,” pungkas Kyai Pacak Suji.
“Jangan menyalahkan pembangunan, Mas. Justru para rumput harus menerima pembangunan ini dengan suka cita. Semua demi mempercantik Jogja yang istimewa ini. Kalau dipandang makin kumuh dan menimbulkan kebakaran, ya yang bersalah para rumput itu tadi. Cobalah untuk narimo ing pandum, toh saya mengayomi mereka,” ujar Kyai Pacak Suji. Blio menolak untuk memberikan jawaban lebih lanjut sembari berkata, “sabda pandita ratu mas. Kalau sudah berdiri, untuk apa dipermasalahkan.”
Ingin saya mendapatkan klarifikasi dan jawaban dari pihak Keraton Jogja. Toh saya tinggal jalan ke selatan sedikit. Tapi, siapa saya ini. Lagipula, ini masalah rumput Alun-alun Utara. Bukan perkara yang penting juga.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Sayuri, Legenda Mahasiswa Jogja yang Pasti Pernah Kamu Dengar Namanya dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.