Jalanan Jogja semakin hari semakin nggak manusiawi. Penuh sesak, macet, dan semrawut. Sebagai bala lajon Gunungkidul-Jogja, saya bisa menghabiskan waktu dua jam lebih perjalanan hanya untuk sampai di kawasan Gejayan. Padahal sekitar 2009 lalu, saya cuma membutuhkan waktu sekitar satu jam setengah, lho. Sekarang? Mustahil hal itu bisa terjadi.
Bisingnya suara klakson bercampur pedasnya knalpot kendaraan, semakin memperkeruh suasana jalanan Jogja. Adu mulut dan cekcok antarpengendara juga sudah jadi hal biasa. Nggak heran kalau jalanan Jogja disebut-sebut sebagai jalur neraka jahanam di muka bumi. Pancene asw.
Malam minggu lalu, saya menemui salah seorang seniman sekaligus pemerhati jalanan Jogja yang dianggap paling berkompeten berbicara masalah ini, siapa lagi kalau bukan balon goyang WAWAWA di Gejayan. Awalnya, saya janjian pengin curhat masalah hubungan asmara, tapi melihat kondisi jalanan Jogja yang semakin semrawut, saya mengurungkan niat untuk bicara soal cinta. Berikut wawancara saya dengan pria yang disapa Mas Wawa itu.
“Selamat malam Minggu, Mas Wawa.”
“Lha iki, sing tak tunggu datang juga.”
“Tak lihat-lihat, makin kuning dan semangat bergoyang-goyang saja panjenengan, Mas Wawa. Sehat to, Mas?”
“Jelas sehat, dong. Asal ndak kamu tubles pakai jarum pentul saja, insyallah badanku sehat.”
“Nggak, dong, punyanya peniti ini, mau? Hehehe. Maaf lho, Mas Wawa, agak telat, nih. Gunungkidul-Jogja macet parah soalnya!”
“Ndak apa-apa, sudah biasa. Kalau ndak macet, ya bukan Jogja namanya, to, Mas Jevi…”
“Sampean tiap hari lihat kemacetan kayak gini kok bisa tetap bahagia to, Mas Wa? Resepnya apa?”
“Bahagia piye iki maksude, Dab?”
“Lha itu, goyang-goyang terus full dua puluh empat jam, lho. Nggak pusing po, Mas Wa?”
“Justru itu, aku goyang. Nek ndomblong saja ndak goyang, malah mumet namati keruwetan Jalan Gejayan, Dab. Lagian sudah tuntutan pekerjaan, nikmati saja lah.”
“Jan… Totalitas panjenengan ki, apa pun keadaannya tetap goyang ra urusan. Betewe, jalan Gejayan kalau malam minggu kayak gini makin padat ya, Mas?”
“Cetho. Ndak cuma malam minggu saja ta, ya, tiap hari juga seperti ini. Apalagi daerah Ringroad Kentungan ke Monjali sana, parah pol. Setiap tahun penghuni kota ini makin nambah dan mereka bawa kendaraan pribadi. Otomatis macet parah!”
“Jadi, kemacetan Jogja ini gegara para pengguna jalan, Mas Wa?”
“Gundulmu! Ngawur ae, yo ndak cuma salah pengguna jalan saja to, Dab. Mesti ana sing ndak bener sama penataan kota ini.”
“Terus solusinya gimana, Mas Wa?”
“Lho, pekok to, ujug-ujug malah takon solusi. Tanya Dinas Perhubungan sana, lho. Mereka digaji buat mikirin masalah ini je, Dab.”
“Nggak, maksud saya, tanggapan sampean tentang ruwetnya jalanan di Jogja ini gimana? Kayaknya tiap hari makin semrawut saja.”
“Gini, Dab. Jujur, sebenarnya malas aku bahas ginian. Ndak sedikit lho warga yang sudah ngasih masukkan bagus buat Pemda. Kawan-kawan saya yang goyang di beberapa sudut kota juga sering ngasih saran tentang penataan kota, lho. Tapi, ya, dirimu tahu sendiri respons Pemda berakhir seperti apa.”
Baca halaman selanjutnya
Apa saja masalah utama yang bikin jalanan Jogja macet kayak gini?