Sudah menikah kok malah jadi dosa. Itu mungkin yang dirasakan banyak perempuan ketika mencoba melamar kerja. Status “menikah” di KTP yang seharusnya cuma formalitas administratif, di meja HRD sering kali berubah jadi palu godam yang menolak lamaran.
Alasannya klasik dan hampir selalu sama: nanti kalau hamil, repot; nanti cuti melahirkan, merepotkan; nanti anak sakit, izin terus. Seolah-olah HRD sedang mencari karyawan robot yang nggak punya rahim, nggak bisa capek, apalagi sakit.
Padahal kalau dipikir, pria menikah malah sering dianggap stabil, lebih dewasa, punya tanggung jawab. Laki-laki menikah disebut “mapan”. Sementara kalau perempuan menikah? Disebut “beban”. Double standard macam apa ini?
Sialnya lagi, beberapa lowongan kerja terang-terangan menulis “wanita lajang” sebagai syarat. Katanya biar fokus kerja. Pertanyaan saya, jadi kalau sudah menikah, otomatis tidak fokus bekerja? Apa HRD pernah ikut rapat RT lalu menyimpulkan, “Oh ya, emak-emak ini pasti nggak bisa multitasking.”
HRD dan perusahaan harus tahu, perempuan menikah tak kalah tangguh
Banyak perempuan menikah justru terbukti lebih tangguh. Bayangkan, mereka bisa mengurus rumah, anak, mertua, sambil bekerja di kantor. Itu artinya, skill manajemen waktu mereka sudah level dewa. Kalau HRD pintar, mestinya malah buru-buru merekrut mereka.
Coba bayangkan, karyawan yang sudah terbiasa masak nasi sambil gendong bayi dan menjawab chat grup anak sekolah. Itu berarti koordinasi multitasking-nya sudah S3.
Akan tetapi stigma itu keras kepala. Banyak perusahaan dan HRD yang masih menutup mata. Seakan-akan perempuan menikah pasti lebih banyak dramanya ketimbang kontribusinya.
Padahal kalau mau jujur, karyawan lajang pun bisa saja sering izin kerja. Entah karena sakit, urusan keluarga, atau sekadar nonton konser. Tapi kenapa kalau perempuan menikah yang izin disebut tak profesional, sementara kalau yang lajang dianggap masih manusiawi?
Diskriminasi yang merugikan perusahaan sendiri
Ironisnya, diskriminasi ini justru membuat dunia kerja kehilangan banyak talenta. Banyak perempuan menikah akhirnya banting setir ke usaha mandiri. Mereka berjualan online, buka usaha katering, atau jadi freelancer. bukan karena mereka nggak mau kerja kantoran, tapi karena dunia kerja formal sudah memasang pagar tinggi. “Kami menerima semua orang, asal belum menikah dan bukan kamu.”
Fenomena ini nggak cuma soal ketidakadilan, tapi juga kerugian besar bagi HRD dan perusahaan. Bayangkan, berapa banyak tenaga kerja kompeten yang akhirnya tersingkir hanya karena status sipil. Apalagi di era sekarang, kemampuan teknis bisa dipelajari, tapi kemampuan bertahan hidup—yang sering dipraktikkan perempuan menikah—itu priceless.
Di banyak negara, aturan diskriminatif seperti ini sudah lama ditinggalkan. Perusahaan justru berlomba memberi fasilitas ramah keluarga: cuti melahirkan yang layak, ruang laktasi, bahkan subsidi penitipan anak. Alasannya sederhana, karena karyawan yang merasa didukung, akan lebih loyal.
Sayangnya, di Indonesia, beberapa perusahaan masih berpikir pendek. Banyak HRD yang kemudian berpikir lebih baik cari karyawan lajang daripada memikirkan solusi jangka panjang.
Mau sampai kapan diskriminasi ini dibiarkan?
Kalau memang HRD dan perusahaan takut rugi karena perempuan menikah nantinya akan cuti melahirkan misalnya, mestinya pemerintah hadir memberi insentif. Atau minimal ada regulasi yang lebih tegas melindungi perempuan. Karyawan bukan mesin produksi. Mereka manusia dengan fase hidup yang wajar: menikah, punya anak, mengurus keluarga.
Apalagi realitasnya, peran perempuan di dunia kerja bukan sekadar angka. Mereka membawa perspektif, empati, dan keterampilan unik yang sering kali justru menjadi nilai tambah. Menutup pintu bagi perempuan menikah berarti menutup peluang inovasi. Dan parahnya lagi, itu memperkuat budaya patriarki yang sudah terlalu lama menempatkan perempuan di posisi “pilihan terakhir”.
Kalau HRD dan perusahaan tetap ngotot mencari karyawan yang single, bebas beban hidup, nggak ada urusan keluarga, nggak punya anak, dan nggak pernah sakit, mungkin solusinya cuma satu. Rekrut alien. Soalnya cuma alien yang memenuhi kriteria tersebut. Mereka nggak menikah, nggak hamil, nggak pernah cuti, dan bisa kerja 24 jam nonstop.
Tapi sampai hari ini, alien belum melamar. Yang ada justru ribuan perempuan Indonesia yang siap bekerja keras, punya potensi besar, dan hanya menunggu satu hal: kesempatan tanpa syarat diskriminatif. Kalau perusahaan dan HRD terus menutup mata, jangan kaget kalau suatu saat yang tersisa hanya alien, atau generasi perempuan yang memilih berhenti percaya pada dunia kerja formal.
Penulis: Adhesari Putri Pratama Rynma
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
