Sebagai wanita Jawa, izinkan saya urun suara….
Beberapa hari ini, laman media sosial saya dipenuhi berita tentang statement Bu Mega yang dinilai rasis oleh sebagian orang dan dianggap bercanda oleh sebagian yang lain. Ucapan Bu Mega yang mewanti-wanti anaknya (Mbak Puan) untuk tidak menikah dengan tukang bakso, mengaitkan masalah pernikahan dengan Bhineka Tunggal Ika, dan mengatakan orang Papua hitam, menuai pro dan kontra.
Btw, kalau pembaca Terminal Mojok bingung, kok logika berpikirnya nggak runut, apa korelasinya antara tukang bakso, Bhineka Tunggal Ika, dan orang Papua berkulit hitam? Biar paham konteksnya, silakan simak video di bawah ini:
Sebagai wanita Jawa yang nggak punya gelar doktor seperti Bu Mega, saya nggak berani mengatakan kalau statement beliu keliru. Mungkin, bukan Bu Mega yang salah berucap, tapi tutur bahasanya saja ketinggian sampai nggak bisa dipahami rakyat jelata macam saya ini.
Namun, sebagai wanita Jawa yang jatuh cinta dan membangun hubungan dengan orang yang kata Bu Mega hitam, ditambah lagi keriting, yang disebut oleh Jules Dumont d’Urville dengan istilah Melanesia (Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua) saya ingin mengatakan dengan jujur kalau di otak dan hati saya, sama sekali nggak ada pikiran jika kelak akan memiliki anak yang lebih Indonesia daripada anak orang lain, hanya karena dia lahir dari ibu dan bapak yang berbeda suku dan kulitnya nge-blend, meminjam istilah Bu Mega, seperti kopi susu.
Saya juga nggak punya pikiran heroik, apalagi berharap melahirkan bayi berwarna cokelat agar dia selamat dari serangan rasisme. Ha wong memang nggak ada yang salah dengan warna kulitnya, sekalipun hitam juga nggak apa-apa juga, kok.
Kecuali kalau kulit anak saya, perpaduan wanita Jawa dan laki-laki Maluku Utara, berubah hijau. Baru deh saya takut, jangan-jangan bapaknya Hulk.
Saya juga nggak pernah tuh, punya cita-cita ingin membangun rumah tangga yang lebih Bhineka Tunggal Ika dengan cara menikahi orang Maluku Utara yang berkulit hitam cum keriting. Nggak, saya nggak sevisioner dan serevolusioner itu. Bu Mega terlalu berlebihan menilai rakyatnya. Kami nggak pernah punya misi hidup yang Pancasilais dari hubungan asmara.
Jatuh cinta ya jatuh cinta saja. Menikah ya menikah saja asalkan seiman dan cocok. Sudah cukup untuk pergi ke KUA.
Nggak usah ribet dengan urusan politik identitas. Lha wong saya wanita Jawa, saya rakyat jelata. Saya jatuh cinta dengan orang Maluku Utara juga nggak punya niatan mengambil hati penduduk setempat agar mereka nyoblos partai saya di PEMILU mendatang. Kecuali, kalau saya pimpinan partai besar, mungkin ada motivasi lain dalam sebuah pernikahan. Misalnya saja untuk melebarkan kepak sayap kebhinekaan kekuasaan. Mungkin, lho ya.
Lagipula, memangnya kalau laki-laki berkulit hitam, harus banget ya, menikah dengan wanita Jawa atau orang dengan kulit terang lainnya agar bisa lebih Indonesia? Lebih Bhinneka Tunggal Ika? Apakah jika orang Papua yang disebut Bu Mega hitam, menikah sesama orang Papua, lantas menjadi kurang Indonesia? Lho, sejak kapan urusan warna kulit bisa mengidentifikasikan keindonesian seseorang?
Sejak kapan, kita harus berkulit cokelat atau putih baru dibilang Indonesia banget. Please deh, konyol banget. Pikiran sempit semacam itu harus segera dienyahkan. Ha mosok kalah sama brand kosmetik yang dengan tren sudah mulai bergeser. Manusia yang cantik nggak harus putih dan berkulit terang. Kamu hitam, cokelat, putih atau kuning, tetap cantik dan bisa mengekspresikan diri masing-masing dengan shade bedak yang warnanya beragam.
Lagipula nih, yah, misalnya saya, sebagai wanita Jawa, menikah dengan orang Maluku Utara yang kebetulan masnya memang hitam dan keriting, apakah ada jaminan anak kami warna kulitnya akan nge-blend, seperti dugaan Bu Mega. Ha kalau tetap hitam seperti bapaknya, yak opo? Apa sebagai ibu dan bapak, kami nantinya dianggap telah gagal. Lantaran meminjam istilah Bu Mega “rekayasa genetika” yang kami praktikkan zonk. Lha kok jadi ribet, sih.
Saling memahami dan beradaptasi dengan kebiasaan masing-masing saja sudah njelimet. Misalnya, saya kalau makan pisang goreng itu dengan cokelat dan keju, lha kok dia makan pisang goreng pakai sambal colo-colo, sekte makanan apa itu?
Sebagai wanita Jawa, saya punya weton yang setiap bulannya diperingati dengan membuat bubur abang dan jajanan pasar. Lha dia, boro-boro memperingati weton, orang Maluku Utara mana paham wetonnya apa? Kalau kami mau menentukan hari baik, misalnya agar bisa menikah, karena dia nggak tahu wetonnya, hitungannya lebih susah dari integral parsial kalkulus tujuh.
Urusan yang udah ruwet itu, makin menjadi ruwet lagi saat harus dibebani dengan istilah Bhineka Tunggal Ika. Ditambah lagi, konstruksi sosial yang telanjur terbentuk di negeri ini, masih menganggap mereka yang berkulit hitam atau yang biasa dipanggil dengan orang Timur, lebih terbelakang dari mereka yang berkulit terang.
Nggak jarang, orang-orang melakukan hinaan dengan dalih sedang guyon. Contohnya, saat berkenalan dengan orang NTT, mulut orang yang sok keren nyeletuk “sumber air su dekat”. Hadeh, buat apa, sih? Kalimat yang katanya bercanda itu menurut saya jahat. Nggak lucu dan N.O.R.A.K!
Saya juga kurang setuju dengan istilah orang Timur untuk menyebut mereka yang berada di Papua, Maluku Utara, dan semua wilayah yang dulunya masuk dalam Groote Oost (Timur Raya). Indonesia tuh sudah merdeka, Bestie. Selama nggak pernah ada istilah orang Barat untuk menyebut orang Jawa dan nggak ada istilah orang Tengah untuk mereka yang berasal dari Kalimantan. Kenapa harus ada sebutan orang Timur, coba?
Jadi ya, mohon maaf untuk semua pendukung Bu Mega atau orang-orang yang mati-matian membela ucapan beliau dengan alasan bercanda. Saya kira, ada banyak hal yang bisa dijadikan objek candaan dan lebih lucu daripada guyon soal orang berkulit hitam. Misalnya, kenapa partainya wong cilik kok nggak mau memiliki menantu tukang bakso yang juga wong cilik? Kan lucu itu, nggak sinkron antara tagline dan tindakan.
Btw, saya juga nggak sedang sok-sokan menjadi aktivis HAM. Sebagai orang biasa, saya ingin semua orang tahu kalau bercanda tentang fisik, seperti soal warna kulit, nggak relevan lagi dengan zaman. Candaan seperti itu kuno dan terbelakang. Apalagi candaan fisik yang dibalut dengan alasan keberagaman.
Kebhinekaan juga nggak harus diwujudkan dengan pernikahan lintas suku, antara wanita Jawa dan laki-laki Maluku Utara. Menikah ya karena beribadah, nggak ada urusan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Titik!
Baiklah, sambatan ini saya akhiri sampai di sini dulu. Ngapunten, kulo ajenge maem bakso dulu.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jangan Nyinyirin Megawati yang Tak Mau Punya Menantu Tukang Bakso.