Harga rokok lima kali lipat dianggap bisa mencegah anak jalanan merokok. Lompatan logika macam apa ini?
“Yang kayak gitu yang disebut keblinger, Kin. Bener tapi nggak pener. Logis, tapi nggak peka situasi. Rasional tapi tidak tepat!” ujar Cak Narto sambil berlalu ke dalam warung.
Solikin yang sejak pagi njogrog di warung Yu Marmi menyetop Cak Narto yang baru datang, berusaha memantik diskusi, memperlihatkan sebuah berita dengan tajuk Jika Harga Rokok Naik 5 Kali Lipat, Anak Jalanan Bakal Stop Merokok di layar gawainya.
“Menurut Sampean gimana, Cak?” todong Solikin, ketika Cak Narto baru saja keluar dari dalam warung, membawa segelas jahe susu dan sukun goreng.
“Ya itu tadi, Kin. Keblinger, nggak pener, dan….” diseruputnya jahe susu itu, “…menyedihkan.”
“Pener itu apa, Cak? Hehehe….” Tanya Solikin malu.
“Gini, Kin. Misalnya kamu bilang bahwa sukun goreng ini tidak menyehatkan karena hasil studi menunjukkan bahwa ada kandungan berbahaya bagi tubuh manusia, itu bener, Kin. Itu logis dan obyektif. Tapi, ketika kamu katakan kepada Yu Marmi agar berhenti menjualnya demi kesehatan konsumennya, itu nggak pener. Itu namanya kamu nggak peka situasi.” Solikin tampak belum menangkap analogi yang digunakan Cak Narto kepadanya.
“Dalam filsafat Jawa, Kin, kata pener diletakkan di atas kata bener (benar). Sebab logis atau obyektif saja tidak cukup. Dalam penyampaiannya juga harus peka situasi, agar ‘kebenaran’ yang ingin disampaikan menjadi presisi dan tepat guna. Bahkan, ada situasi di mana kebenaran seharusnya tidak perlu disampaikan, jika hanya akan menjadi sumber perselisihan. Sebab seharusnya ‘kebenaran’ menjadi jawaban atas perselisihan, bukan sebaliknya.” Jelas Cak Narto pepak.
“Ooo… lha terus hubungannya sama berita kenaikan harga rokok lima kali lipat itu apa, Cak?” kejar Solikin.
“Ya itu tadi, kalau dikatakan bahwa ‘anak jalanan akan berpikir secara rasional untuk berhenti merokok apabila harga rokok naik 5 kali lipat’ itu jelas benar, wong itu hasil penelitian. Tapi apakah itu pener? Menurutku kok tidak. Karena begini, Kin…” Cak Narto mengambil ancang-ancang.
“Orang kantoran, akademisi, atau bahkan Bu Susi, yang mantan menteri sekaligus perokok itu, kalau dihadapkan pada pertanyaan semacam itu juga akan menjawab dengan hal yang sama. Siapa yang akan berpikir rasional jika dihadapkan dengan kenaikan harga barang? Apalagi untuk produk rekreasional seperti rokok begini…” Cak Narto menjeda penjelasan, membakar sebatang kretek milik Solikin.
“Lagi pula, Kin, tanpa ada studi itu pun, tiap tahun pemerintah juga sudah menaikkan tarif cukai rokok. Karena cukai hasil tembakau memang sejak lama menjadi sumber penerimaan negara. Maka, argumen menaikkan harga rokok menjadi lima kali lipat, ‘hanya’ dalam rangka mengatasi keterjangkauan anak jalan itu terdengar semakin nggak pener, serampangan, dan naif. Sebab studi itu tidak melihat implikasi lainnya, Kin.”
“Implikasi apa, Cak?”
“Ya, banyak, di antaranya implikasi ekonomi, ketenagakerjaan dan industri. Karena begitu harga rokok dinaikkan secara ekstrem, itu akan mempengaruhi daya beli masyarakat yang tentu akan berpengaruh ke penerimaan negara dari sektor industri tembakau. Dan secara bertahap juga akan berdampak ke perusahaan rokok yang jumlah karyawannya ribuan itu. Dan mengapa kusebut serampangan, karena…” Cak Narto menjeda, menyesap susu jahe di hadapannya.
“…menaikkan harga suatu produk itu memicu munculnya ilegalisme. Pasar gelap, Kin. Permintaan atas produk yang lebih murah tentu akan jadi lebih banyak, dan itu memicu terjadinya penghindaran pajak (cukai) karena mengejar harga yang murah. Wong tarif cukai naik secara gradual saja rokok ilegal tanpa pita cukai banyak beredar, apalagi jika langsung dinaikkan ekstrim lima kali lipat begitu.” Ujar Cak Narto sinis.
“Tapi ‘kan itu bukan tugas akademisi, Cak. Penelitian ini kan berbasis fakta dengan tujuan mulia: mengatasi problem anak jalanan terhadap ketergantungan rokok yang harganya dirasa terlalu murah. Menurutku itu rasional, Cak” sergah Solikin.
“Lho gimana, sih, dari awal aku bilang ini rasional, Kin. Obyektif dan logis. Bener, cuma nggak pener. Dan menyedihkan!” nada Cak Narto sedikit landai kali ini.
“Mengapa menyedihkan, Cak?”
“Karena nggak tertib nalar, Kin. Menjadi semakin menyedihkan karena itu datangnya dari akademisi, yang seharusnya terbiasa tertib bernalar, berpikir komprehensif, dan holistik. Kalau dari awal subyeknya adalah anak jalanan, menurutku penelitian itu gagal menentukan fokusnya. Sebab…,” Cak Narto menggerus rokoknya ke asbak, “…ketimbang menghitung rasionalitas anak jalanan terhadap harga rokok, apa nggak mending memikirkan untuk menyejahterakan atau merumahkan mereka. Biar mereka nggak di jalanan lagi.”
“Lho menaikkan harga rokok ‘kan dalam jangka panjang bisa saja ‘menyejahterakan’ anak-anak jalanan itu, Cak. Bagian mana mereka nggak tertib dalam bernalar?” kejar Solikin seperti tidak terima.
“Lho ya itu tadi, to. Kalau subyeknya adalah anak jalanan berarti fokusnya yang kurang tepat. Sebab, penelitian itu seolah-olah meletakkan rokok sebagai satu-satunya variabel dan abai terhadap variabel lainnya, variabel sosial dan budaya, misalnya.”
“Kalau memang objeknya adalah harga rokok, justru itu sungguh naif, sebab implikasi kenaikan harga rokok itu banyak dan berkelindan. Paham nggak sampai sini?” Cak Narto tersenyum, lantas membakar sebatang lagi rokok milik Solikin.
“Tapi meskipun begitu, Cak, menurutku penelitian seperti ini tetap penting, sebab paling tidak masih ada perhatian terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak jalanan itu!” Sarjana yang kini menjadi pengangguran itu seperti masih tidak terima.
“Kin, mengangkat narasi kesehatan kepada perokok itu adalah salah satu bentuk kesia-siaan yang paripurna. Hehehe. “ Cak Narto tertawa kecut sembari bersufi-sufi ria.“Bagi perokok seperti kita, termasuk anak-anak jalanan itu, kesehatan adalah faktor yang pertama kali diabaikan ketika memutuskan merokok. Sebab merokok itu bukan semata kegiatan fisikal, Kin, ia lebih tepat dilihat sebagai kegiatan rekreasional-spiritual.”
“Dari aktivitas merokok, Kin, telah lahir puisi-puisi hebat. Lahir tulisan-tulisan yang menggugah. Lahir musik-musik yang membersamai peradaban. Asap rokok pernah menguar di meja-meja diplomasi internasional. Juga menghangatkan para serdadu di hutan-hutan gerilya. Entah kapan dan siapa yang memulainya, tapi saat ini rokok dilihat sebagai produk terkutuk yang pantas dienyahkan dari muka bumi.” Tiba-tiba saja nada Cak Narto terdengar lunglai dan melankolis.
“Sudah lah, Kin, perdebatan begini tuh selalu muncul tiap tahun. Repetitif, Kin, dan cenderung memuakkan. Sebab, selalu terjadi menjelang Hari Kretek Nasional. Entah apa agenda di baliknya.” Asap dari mulut Cak Narto yang membumbung dengan cepat terbawa angin lalu lalang kendaraan di seberang warung.
“Iya sih, Cak. Bagian repetitif ini aku setuju, tapi dari tadi Sampean ngemut rokokku, sementara punya Sampean masih utuh di dalam saku itu rasanya juga nggak pener, Cak. Ini bisa memicu perdebatan lebih jauh nantinya.” Solikin mendesis sinis.
“Lho aku juga penjelasan rasional atas ini, Kin. Hehehehe.”
***
Langit di barat desa menguning. Di bawah mega-mega sekelompok burung bercengkerama tentang fenomena-fenomena. Salah satu di antara mereka curiga terhadap agenda-agenda. Sementara yang lain terlihat tak peduli dengan narasi-narasi sumir lainnya.
Penulis: Suwatno
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Harga Rokok Naik: Ketika Rakyat Dianggap Beban oleh Negara