“Meski begitu, vonis Juliari Batubara itu tetap nggak adil, Kin.” Desis Pardi.
“Adil atau tidak itu masalah perspektif, Mas Di. Bagi masyarakat mungkin tidak adil, tapi di mata majelis hakim vonis itulah yang paling pas.” Tukas Solikin seraya meletakkan gawainya, meraih sukun goreng yang masih mengepul dari piring logam.
“Ya, memang. Dan akan selalu begitu selamanya, Kin. Di sini, keadilan adalah dominansi para penegaknya.” timpal Kanapi tersenyum.
Pagi ini Solikin mendatangi forum di warung Yu Marmi dengan semburat kelegaan. Ia yang sempat khawatir pleidoi Juliari Batubara akan dikabulkan oleh majelis hakim, kini tampak bahagia menyusul vonis yang diterima Mantan Mensos itu. Ia bahkan dengan senang hati membaca cuplikan vonis itu dengan suara lantang di depan forum.
“Lantas apa yang mengganggu, Cak? Apa yang tidak wajar?” Solikin kembali mengejar. Seolah semua orang patut bahagia layaknya dirinya melihat vonis itu.
“Keduanya, Kin. Alasan yang memberatkan, juga alasan yang meringankan. Keduanya terlalu absurd. Belum lagi fenomena yang mengikutinya.” Ujar Cak Narto sembari meniupi kepulan asap dari sukun di tangannya.
“Gini maksudku, Kin. Kata majelis hakim, di cuplikan yang kamu bacakan tadi, kan dibilang kalau alasan yang memberatkan hukuman adalah terdakwa dianggap ‘tidak kesatria’ dan ‘seperti lempar batu sembunyi tangan’, tho?.”
“Iya, Cak. Lantas?”
“Itu apa nggak absurd namanya? Mbok ya kalau ngasih alasan memberatkan itu yang rasional dan mak jleb gitu lho. Ya masak koruptor diharapkan bersikap ksatria? Masak koruptor diharapkan berteriak bangga di persidangan ‘Iya, Pak Hakim. Saya yang korupsi. Saya yang perintah. Saya siap dihukum. Saya tidak akan menuding siapa pun’. Ya pasti lempar-batu-sembunyi-tangan, lah.” Cak Narto terkekeh. Butiran sukun di ujung bibirnya nyaris terjatuh.
“Lha, terus alasan memberatkan apa yang mak jleb, Cak?” Kanapi menggoda.
“Ya, banyak, Pi. Bahwa apa yang telah dilakukan Pak Mantan Mensos itu setara kejahatan kemanusiaan, misalnya. Atau, bahwa korupsi yang dilakukan beliau di masa krisis seperti ini akan membawa pemakluman baru bagi calon-calon koruptor di masa depan, misalnya.”
“Pemakluman gimana, Cak?” Kanapi penasaran.
“Kan berita korupsi sudah menjadi asupan kita sehari-hari, tuh. Sudah sejak dulu. Dan kita, sebagai masyarakat, ketika mendengar berita semacam itu sudah semacam maklum, gitu. Udah biasa. Tapi, dengan adanya kasus korupsi di masa pandemi, terlebih yang dikorupsi adalah dana bantuan bagi masyarakat yang sedang kritis menyambung nyawa, takutnya nanti para calon koruptor akan merasa biasa saja ketika korupsi di masa krisis. Tidak ada lagi yang pantang dan tabu untuk di korupsi. Tidak ada lagi batasan moralitas dan kemanusiaan ketika akan korupsi…”
“Lho yo opo seh, Cak. Korupsi itu sendiri sudah merupakan perbuatan nir-moral dan nir-kemanusiaan!!” Suara Pardi tetiba meninggi.
“Lho…iya, Di. Tapi, kamu pasti sudah maklum kan ketika baca berita tentang korupsi suatu proyek ini, sunat menyunat suatu pengadaan itu, atau suap menyuap di masa pemilu, misalnya. Korupsi di sini sudah sistemik, Di. Bukan lagi membudaya. Tapi maksudku…” Cak Narto mencecap kopinya.
“…setidaknya ngerti timing, gitu lah. Mbok korupsinya nanti lagi aja, kalau sudah nggak masa pandemi.” Cak Narto kembali terkekeh.
“Kali ini argumen Sampean yang absurd, Cak. Sampean terdengar seperti menormalisasi tindakan korupsi.” tuduh Solikin.
“Lho kok jadi aku yang salah! Ha, kalau semua berita korupsi di media tak ambil hati apa ngga tambah edan aku, Kin. Pemakluman ini kan bentuk coping mechanism, bentuk usaha agar tetap waras, bagi rakyat yang hidup di negara yang sudah kebacut semerawut begini…” Suara Cak Narto menanjak kali ini.
“…Aku sama sekali nggak membenarkan, Kin. Berita begitu dan berita-berita absurd lainnya yang susul menyusul, seperti makanan busuk yang terus menerus dijejalkan ke tenggorokan. Tadinya aku mau muntah, Kin. Juga marah dan uring-uringan. Tapi kalau kemarahanku tidak mengubah apapun, aku bisa apa?” Cak Narto kembali tenang.
Ia meraba tikar, matanya berputar, mencari pemantik. Pardi mengulurkan dan cepat Cak Narto menyambarnya. Napas berat terhembus dari kerongkongannya diiringi kepulan asap. Bau tembakau dan cengkeh menguar di seantero warung. Suasana agak hening.
“Lha terus alasan yang meringankan vonis Juliari Batubara itu tadi, Cak? Absurd juga?” Kanapi kembali menggoda.
“Ha, jelas. Masak cercaan dan hinaan masyarakat jadi alasan meringankan hukuman. Dengan logika seperti itu, Pi, nanti kalau ada orang yang melanggar hukum, kalian puja-puji saja mereka, siapa tahu hukumannya tambah berat. Nyahahaha.” Cak Narto terpingkal.
“Tapi apa pun itu, Cak. Vonis Juliari Batubara ini patut diapresiasi karena lebih berat setahun ketimbang tuntutan jaksa yang cuma sebelas tahun. Dan, Pak Mantan Mensos itu sudah dicabut hak politiknya selama empat tahun, Cak.” Ujar solikin mantap.
Cak Narto, Pardi dan Kanapi berpandangan. Mereka tersenyum aneh.
“Iya, Kin. Aku tetap mengapresiasi. Mau 11, mau 12 tahun, tetap aku apresiasi. Mau adil atau tidak, tetap tak apresiasi. Mau meringankan, memberatkan atau pun membingungkan, tetap aku apresiasi. Dan…” Cak Narto berdiri dan melompat ke atas motor bututnya.
“…semua orang berhak dapat kesempatan kedua, tho? Setelah empat tahun dicabut hak politiknya nanti beliau bisa masuk gelanggang politik lagi. Dan kita semua mungkin sudah lupa. Dan ia bisa saja jadi politikus dan pemimpin yang lebih baik di masa depan. Sebab…” mesin motor Cak Narto meraung.
“…ini adalah negara demokrasi yang adiluhung. Siapa saja bisa jadi apa saja. Bahkan bekas koruptor sekali pun. Biar kami telan kenyataan ini. Biar kami maklumi segala keabsurdan ini. Sekarang kami marah, kemungkinan besar besok kami lupa, karena berita seolah ini tidak ada habisnya. Dan akan tetap seperti itu. Entah sampai kapan…”
“Yu, kopi sama sukun gorengnya ngebon dulu yaaaa….”
***
Cak Narto memacu motornya ke arah selatan desa. Asap knalpotnya sungguh bau dan tidak ramah lingkungan.
Teras warung itu kembali sepi. Mendung yang bergelayut sedari subuh akhirnya meneteskan rinai airnya. Terpal alas untuk menjemur gabah di sepanjang jalanan desa kembali digulung. Gemericik air sungai seperti membisikkan bahwa diterjang masalah seperti apa pun, bangsa ini akan baik-baik saja.
BACA JUGA Mentertawakan Permohonan Bebas Juliari Batubara, si Paling Menderita dan tulisan Suwatno lainnya.