Setelah Liga 1 dan Liga 2 di Indonesia akhirnya bergulir setelah sekian lama, kini gelaran Liga 3 yang tak kalah serunya pun sudah dimulai. Berbeda dengan Liga 1 dan Liga 2 yang langsung digelar secara nasional, Liga 3 harus memulainya dari putaran provinsi terlebih dahulu. Nantinya, setiap tim yang juara di putaran provinsi akan melanjutkan kiprahnya di putaran nasional. Tim yang lolos ke babak 8 besar Liga 3 nasional akan mendapatkan tiket ke Liga 2 di tahun mendatang.
Namun, yang menarik, Liga 3 juga dibagi menjadi dua kasta: Liga 3 seri 1 dan Liga 3 seri 2 saking banyaknya tim yang berpartisipasi. Di Liga 3 seri 2 Jawa Barat misalnya (kompetisi di mana nanti saya akan ikut bermain juga), terdapat 52 tim yang akan bertanding. Sementara itu, Liga 3 seri 1-nya akan diikuti 23 tim. Perhatian saya tentu tertuju ke klub kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung, yakni Persikab. Tidak seperti yang saya sempat tuliskan dulu, kini Persikab sudah dikelola oleh swasta, PT Persikab Bandung Bedas atau PT PBB (emang agak mirip PT PBB-nya Persib, sih)
Di akun IG Persikab, tampak klub ini sudah mulai mempersiapkan dengan ancang-ancang demi target mereka lolos ke Liga 2. Kabarnya, PT PBB juga akan membangun training ground bertaraf internasional demi menunjang target-target tersebut. Jelas ini merupakan angin segar. Tapi, sedikit yang tahu bahwa mayoritas pemain tahun ini berasal dari tim PON Jawa Timur. Eksodus para pemain PON Jatim ke Persikab sempat membuat Anggota EXCO PSSI Jawa Timur, Thoriq, naik pitam. “Enggak ada sopan santun,” katanya.
Pada titik tertentu, saya setuju dengan Thoriq. Persikab jelas mengambil jalan pintas untuk mencapai misinya ke Liga 2 dengan mengambil seluruh pemain (bahkan ofisial) yang pada helatan PON Papua kemarin mendapatkan perunggu. Namun, di hadapan uang, sopan santun (juga proses) tampaknya bukan lagi menjadi tolok ukur. Ini terbukti dari hanya sekitar lima pemain asli daerah saja yang membela Persikab. Minoritas di tanah sendiri. Ini juga menunjukan Persikab tak percaya diri dengan talenta lokal mereka.
Tidak, saya tidak berharap membela Persikab meskipun terlahir di Kabupaten Bandung. Akan tetapi, alih-alih berinvestasi pada pengembangan pemain lokal seperti mendirikan akademi berjenjang misalnya. Persikab justru terjebak pada visi jangka pendek: mengumpulkan pemain-pemain luar yang “sudah jadi” demi menjadi juara. Dampaknya, putra-putra daerah akan merasa bahwa Persikab tidak tertarik dengan talenta mereka. Dalam kondisi ekstrem, putra-putra daerah mungkin saja akan kehilangan sense of belonging dengan daerahnya sendiri.
Sebetulnya, Persikab, pada titik tertentu, juga melakukan hal yang sama seperti RANS Cilegon kepunyaan Raffi dan AHHA PS Pati milik Atta. Mereka sama-sama kepengin menjadi juara dengan jalan pintas mengumpulkan pemain-pemain berpengalaman. Namun, yang membedakan, Persikab punya sejarah dan tradisi sepak bola yang panjang. Klub ini merupakan identitas masyarakat Kabupaten Bandung dan Lulugu-nya.
Ketika identitas itu berubah, salah satunya dari tidak ada atau sedikitnya representasi pemain daerah di suatu tim, nilai suatu tim juga berubah di mata masyarakat. Lihat saja AHHA PS Pati, kolom komentar Instagramnya menyiratkan bahwa mereka tidak terlalu didukung suporternya sendiri.
Hal yang sama mungkin saja terjadi pada klub ini andai mereka tidak fokus pada visi yang lebih besar dan panjang: membina talenta lokal. Saya sendiri bukan bermaksud melarang, kok, praktik instan seperti yang dilakukan Persikab. Bukan juga bermaksud chauvinis kedaerahan. Setiap tim berhak menambah amunisi yang bagus. Hanya saja, jangan sampai praktik seperti dilakukan terus-menerus.
Sumber Gambar: Pixabay