Sepertinya tidak perlu mengumpamakan seorang Valentino Rossi dengan tokoh apa pun ketika melihat kondisinya saat ini. Blak-blakan saja, Valentino Rossi dengan berbagai status menterengnya memang sudah wajib fardhu ain mundur dari ajang MotoGP.
Saya bukan haters The Doctor. Saya akui saya adalah fans utamanya. Saya punya poster blio pose jumping yang saya beli dengan harga 10 ribu lalu saya tempel di pintu kamar saya. Saya punya baju kaus dengan tulisan Valentino Rossi dengan warna kuning kebanggaannya. Dan yang pasti, setiap seri MotoGP, selama di situ ada nama Valentino Rossi pasti saya akan menjagokan blio.
Seiring waktu saya sadar dan semakin sadar. Rossi memang legenda dengan segudang prestasi. Namun tidak ada yang abadi. Tidak terkecuali Valentino Rossi. Tahun 2020 semakin meyakinkan saya bahwa Rossi memang harus pensiun.
Seberapa pun hebatnya Rossi mampu berjibaku di barisan depan, dia bukan lagi seorang Rossi yang dahulu. Ia adalah Rossi sang legenda. Yang namanya akan lebih baik didengar sebagai kisah paling hebat sepanjang sejarah MotoGP.
Tidak perlu mengumpamakan Rossi sebagai Doc atau Lightning McQueen yang ada di film Cars agar kita semua sadar bahwa Rossi sebaiknya pensiun. Kenyataannya, kemenangan Rossi di GP Andalusia kemarin menjadi bukti bahwa saat ini Rossi lebih baik duduk di rumahnya dan fokus saja ke akademi yang ia buat.
Di GP Andalusia kemarin Rossi memang naik podium. Namun kemenangan itu lebih bersifat keberuntungan alih-alih hasil unjuk determinasi Rossi seperti yang dahulu. Di sana nampak sekali, zaman telah berubah. Era Rossi sudah tamat. Seandainya dua motor di depan dan belakangnya tidak kena sial motornya rusak. Saya yakin, di GP Andalusia kemarin Rossi harus kembali puasa naik podium.
Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang Rossi. Saya adalah fansnya. Hanya saja saya bersikap realistis. Di usia kepala 4 saat ini. Rossi terlihat hanya seperti brand ambassador MotoGP. Hanya sebagai simbol yang membuat orang tertarik untuk menonton MotoGP.
Rossi sempat menjelaskan bahwa alasan ia tetap bertahan membalap di usia 40 tahun karena semangatnya membalap belum redup dan blio nggak mau mengandalkan kesuksesan masa lalu. Semangat Rossi memang layak diacungi jempol. Namun sebagai fans Rossi kadang saya justru jengkel. Melihat Rossi nampak ampas di tangan pembalap muda yang namanya nggak saya kenal itu rasanya sangat tidak menyenangkan. Memang sepele, tapi saya yakin. Seberapa pun semangatnya Rossi membalap di usia saat ini, ia hanya akan menjadi Rossi sang legenda. Dan akan sulit untuk menjadi Rossi sang juara dunia lagi.
Saya sudah menyaksikan betapa hebatnya Rossi di tiap zaman punya berbagai macam musuh yang silih berganti. Mulai dari Sete Gibernau, Max Biaggi, Casey Stoner, Nicky Hayden, Jorge Lorenzo, sampai Marc Marquez. Dan saya menyaksikan momen-momen di mana saat itu Rossi memang masih punya taring dan determinasi yang luar biasa.
Puncaknya saya rasa di tahun 2015. Tahun itu adalah masa di mana Rossi masih luar biasa kompetitif. Ia masih mampu duel satu lawan satu dengan Lorenzo. Masih mampu kejar-kejaran dengan Marquez. Dan ditambah drama adanya persekongkolan untuk memenangkan Lorenzo agar menjadi juara dunia. 2015 sepertinya adalah kali terakhir saya melihat Valentino Rossi yang sebenarnya. Itu ditambah dengan upacara tak resmi di GP Valencia. Rossi disambut tumpah ruah fansnya walau ia kalah. Semacam menjadi pertanda bahwa itu adalah tahun terkahir saya melihat Rossi yang benar-benar garang, ngotot, penuh determinasi, dan nggak mau kalah sama siapa pun.
Setelah 2015, Rossi memang cukup kompetitif. Namun Rossi perlahan meredup dan meredup. Bahkan sempat pindah ke Ducati. Sebuah keinginan yang tinggi untuk menjadi juara lagi serta simbol frustasi mengetahui dirinya sudah sangat sulit membabat anak-anak muda itu.
Di MotoGP, Rossi semacam kultus. Seperti Messi dan Ronaldo di sepak bola. Di MotoGP, jika ingat MotoGP pasti ingat Rossi. Konsep sederhana bahwa Rossi sudah menjadi darah dan daging di MotoGP. Dan kenyataannya, tak ada daging yang tak busuk. Tak ada darah yang tak berhenti mengalir. Valentino Rossi bukan robot. Ia manusia biasa. Ia adalah legenda. Dan ia adalah pembalap yang punya semangat luar biasa. Dan ia memang benar-benar layak untuk menjadi legenda saja tanpa membalap lagi. Ia memang benar-benar layak pensiun saja.
Biarkan kultus yang bernama Valentino Rossi itu perlahan turun tahta dan berganti menjadi kultus baru bernama kultus Marc Marquez. 8 gelar juara dunia Marquez sepertinya sudah pantas menjadi simbol baru bahwa saat ini ikon utama dan raja MotoGP adalah Marc Marquez.
Bahkan sekelas Rossi pun, saya rasa sudah tidak bisa berbuat apa-apa saat ini ketika menghadapi Marquez. Apalagi ketika melihat nama pembalap musim 2020. Tidak ada lagi nama-nama seperti Dani Pedrosa dan Jorge Lorenzo. Tidak ada lagi fantastic four yang selalu bersaing di depan.
Sekarang adalah era Marc Marquez. Era di mana kultus baru itu bernama Marquez. Era di mana pembalap akan dianggap hebat ketika mampu memenangi duel melawan Marquez. Era di mana Marquez akan merajai MotoGP hingga 5 sampai 10 tahun ke depan.
MotoGP 2020 dan tahun-tahun berikutnya dipastikan hampir semuanya diisi pembalap muda. Diisi oleh determinasi gila anak muda yang bercita-cita ingin menjadi juara dunia baru. Dan saya rasa di situ Rossi tidak punya tempat lagi.
Lantas di mana tempat Valentino Rossi? Tempat terbaik Valentino Rossi adalah di hati para fansnya dan di hati para pembalap muda yang menjadikan Rossi sebagai simbol pantang menyerah dan determinasi.
Valentino Rossi sudah tidak punya tempat di trek balap MotoGP era ini. Karena trek balap MotoGP saat ini adalah milik Marc Marquez seutuhnya.
Tidak perlu memakai perumpamaan apa pun untuk mencap Rossi layak pensiun. Karena faktanya, Valentino Rossi memang wajib pensiun. Apa pun alasannya, kultus bernama Rossi sudah harus dialihtugaskan kepada kultus baru bernama Marquez.
BACA JUGA Perspektif Orang Ketiga dalam Prahara Rumah Tangga Orang Lain dan tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.