Saya bukan anak indie, meski punya banyak totebag. Saya menggunakan totebag sesuai fungsinya untuk tempat belanjaan dan menggantikan kantong plastik kresek. Saya bukan pencinta lingkungan, saya cuma nggak suka melihat banyak sampah di mana-mana. Saya tahu yang saya lakukan tak begitu terasa bedanya, tapi tetap saya lakukan guna mengurangi sampah plastik, minimal di rumah saya dulu. Paling nggak, di rumah terasa sekali bedanya.
Beberapa produk yang saya beli kadang masih dibungkus dengan plastik. Seperti yang saya bilang, saya sedang berusaha untuk meminimalisir penggunaan plastik. Bukan untuk menghindari plastik sepenuhnya, apalagi jadi penggiat atau pelindung lingkungan, saya masih jauh dari itu. Pelan-pelan, saya terapkan cara meminimalisir plastik dengan santuy, sedikit demi sedikit. Bermula dari memilah sampah, bawa botol minum sendiri, bawa totebag untuk belanja, sampai ke menghindari sedotan dan membeli barang hasil daur ulang. Di lingkup kerja saya, itu hal lumrah dan sudah banyak yang menerapkan. Namun, lain cerita di kampung saya tercinta.
Di kampung, hal yang paling sering terjadi adalah saya dianggap pelit, medit, dan ndeso oleh teman-teman saya. Misalkan saat pergi belanja ke minimarket dan membawa totebag sendiri, teman saya bakalan menawarkan diri untuk membayarkan kantong plastik.
Begitu juga waktu kami beli minuman saat tengah bersepeda atau jalan-jalan. Saya akan diejek medit lantaran dianggap nggak mau keluar duit untuk sekadar beli Aqua. Walau sudah beratus kali saya jelaskan, entah kenapa mereka tetap menganggap yang saya lakukan ngisin-isini. “Wes gedhe kok koyo cah TK, sangu mimik!” (Sudah besar kok kayak anak TK, bawa minum). Begitulah b*c*t mereka yang adiluhung.
Sempat dikira agak sedeng juga karena selalu bawa tas belanja. Entah sudah berapa kali saya ditertawakan pemilik warung. Ada yang bilang kurang kerjaan, ada yang bilang kalau kantong plastik gratis, sampai ada yang tetap memaksa saya untuk pakai kantong plastik. Padahal, saya sudah ngotot nggak mau, namun tetap saja semua belanjaan saya dimasukkan ke dalam plastik tadi. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Sampai ada pemilik warung yang WA ibu saya guna menanyakan kelakuan aneh saya itu. Gosip saya gila karena nganggur (karena saat itu sering di rumah dan WFH masih terdengar asing, padahal ya memang nganggur) merebak dengan cepat, dan saya ikhlas, Bund~
Pemaksaan para penjual nggak hanya saya alami saat di warung kelontong, tapi juga di warung makan atau angkringan. Tiap kali saya pesan es teh, saya selalu kasih embel-embel “tawar dan tanpa sedotan”. Namanya sudah kebiasaan mungkin, tetap saja ada gula dan sedotan menjulang di gelas es teh yang saya pesan. “Sedotan gratis, Mas.” Pasti itu yang selalu mereka katakan.
Begitu juga saat saya bungkus makanan untuk dibawa pulang. Walau sudah saya kasih kotak makanan dan totebag, makanan itu tetap dimasukkan plastik dulu. Alasan takut tumpah ada benarnya, tapi sejauh ini nggak pernah tumpah, kok. Lagi pula, apa susahnya nurut sekali saja sih, Mylov? Tapi nggak apa-apa, tetap saya terima dengan senyuman penuh kedamaian, saya memang orang baik.
Begitu juga saat saya bikin kertas gambar sendiri dari kertas bekas. Kertas daur ulang itu saya gunakan untuk berkarya, sekadar bikin lukisan atau gambar pakai arang. Lagi-lagi saya dianggap gila dan kurang kerjaan oleh tetangga. Tapi karena kuping sudah tebal, sudah tak terasa lagi cemoohan itu.
Para warga di kampung saya masih suka membuang sampah ke sungai dan selokan. Sampah itu juga tak mengalami pemilahan. Sampah organik dan sampah plastik dicampur dan dibuang begitu saja. Kebiasaan itu sudah ada sejak zaman dulu. Bedanya, sampah jadul semuanya organik. Sampah zaman dulu paling banter terdiri dari daun pisang atau sampah sisa dapur.
Sayangnya, teknologi yang berubah tak diimbangi dengan perubahan budaya masyarakat. Gorengan zaman dulu dibungkus daun pisang, gorengan zaman now dibungkus kertas dan plastik. Tapi yang makan gorengan masih sama kelakuannya. Padahal memilah sampah itu nggak susah, tinggal pisah-pisahin saja.
Padahal, banyak kok keuntungan dari memilah sampah. Sampah organik bisa dijadikan pupuk tanaman hias, sampah botol, plastik, dan kertas bisa dijual, pokoknya usahakan jangan sampai ada yang terbuang. Apalagi kalau dibuang ke selokan, yang akan bermuara ke sungai, langsung ke laut, nubruk mahkota Nyai Roro Kidul, kuwalat!
BACA JUGA Galon Sekali Pakai, Efektif Tingkatkan Sampah Plastik di Indonesia dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.