Universitas Terbuka: Takdir Menyedihkan dari Sebuah Kampus yang Selalu Diremehkan

Universitas Terbuka Kampus Ngenes karena Selalu Diremehkan (Unsplash)

Universitas Terbuka Kampus Ngenes karena Selalu Diremehkan (Unsplash)

Hingga saat ini, masih saja banyak yang meremehkan Universitas Terbuka (UT). Mereka menganggap UT itu “bukan universitas”, tapi tempat terakhir bagi orang yang nggak mampu secara akademi untuk mendapatkan ijazah. Sayang sekali, pikiran goblok seperti itu masih awet terawat.

Saya sendiri sedang kuliah di Universitas Terbuka. Lantaran kami kuliah secara online, maka muncul pertanyaan absurd seperti ini: “Terus gimana mau punya teman kalau nggak datang ke kampus?”

Saya menjawab dengan datar saja: “Zaman sudah maju. Ada WhatsApp. Lagian, tujuan utama kami kuliah itu bukan mencari teman semata.” Begitu mendengar jawaban saya, mereka terdiam. 

Sudah begitu, ada yang secara spontan mengernyitkan dahi ketika mengetahui bahwa saya kuliah di Universitas Terbuka. Mereka menganggap kami, mahasiswa di UT, adalah buangan yang nggak punya atau pernah merasakan sukses di dunia nyata. Pikiran seperti ini sungguh salah.

Banyak mahasiswa dan alumni Universitas Terbuka itu sudah sukses di luar sana. Atau, setidaknya, sedang merintis sesuatu sembari kuliah. Misalnya, salah satu teman 1 angkatan saya adalah pendiri komunitas menulis digital yang sudah menjangkau banyak wilayah di seluruh Indonesia.

Kenapa sikap meremehkan Universitas Terbuka masih ada, ya?

Terkadang saya heran ketika orang-orang di luaran sana masih meremehkan Universitas Terbuka. Padahal, isinya adalah orang-orang yang punya dedikasi tinggi akan pendidikan. Banyak dari teman saya yang statusnya karyawan biasa, tapi nggak mau melewatkan pendidikan.

Selain karyawan biasa, ada juga pemilik bisnis yang sudah sukses. Misalnya, suatu kali, saya pernah menghadiri perkumpulan komunitas kampus. Di sana, saya ketemu mahasiswa yang statusnya SPV, pemilik bisnis yang tidak bisa dikatakan kecil, bahkan tidak sedikit yang double degree. 

Oleh sebab itu, asumsi orang yang menganggap lulusan Universitas Terbuka nggak terpakai di dunia kerja itu sama sekali nggak benar. Kenyataannya, banyak dari kami yang sudah berpengalaman di dunia kerja! Jadi, ketika lulus, ya tinggal naik jabatan saja.

Biaya kuliah di Universitas Terbuka memang “terbilang murah”. Namun, lulusan kami nggak murahan. Lebih baik kuliah di tempat yang terjangkau, tidak mementingkan gengsi, tetapi bisa kuliah dengan lancar. Mementingkan gengsi nama kampus, akhirnya kamu yang akan “kelaparan”.

Baca halaman selanjutnya: Gengsi kuliah di kampus ternama…

Gengsi kuliah di kampus ternama itu (bisa) berbahaya

Sebelum kuliah, idealnya, kamu sudah merencanakan semuanya. Termasuk ketika harus menyisihkan pendapatan untuk biaya kuliah. Nah, bicara soal biaya kuliah, saya jadi teringat kasus mahasiswa DO semester 2. Mereka nggak kuat membayar biaya kuliah. Dan semakin sedih karena 2 mahasiswa itu adalah karyawan saya!

Jadi, saya sempat membuka usaha kecil-kecilan dengan 2 karyawan. Status mereka masih mahasiswa kampus ternama di Jogja. Keduanya sama-sama memiliki masalah finansial, hingga harus cuti. Setelah melewati sekian pertimbangan, akhirnya keduanya sama-sama DO.

Memang, seharusnya finansial bukan halangan bagi siapa saja untuk mendapatkan ilmu dan sekolah setinggi mungkin. Namun, kenyataan di luar sana tidak seperti itu. Jika tidak memungkinkan kuliah di kampus impianmu karena masalah biaya, pilih kampus yang terjangkau, misalnya Universitas Terbuka.

Menyandang status lulusan kampus ternama memang menyenangkan. Tapi itu kalau kamu bisa sampai lulus. Kalau akhirnya DO karena nggak mampu bayar? Maka dari itu, silakan pilih kampus yang sesuai dengan kantong dan seberapa besar kamu mampu menghadiri setiap proses pembelajarannya.

Ingat, banyak dari mahasiswa yang memutuskan untuk bekerja demi bayar kuliah. Namun, pada akhirnya tugas dan kehadiran kelas tak pernah dilaksanakan dengan baik, bahkan tertinggal.

Edukasi yang terjangkau itu sungguh ideal

Saya pribadi sempat mendaftar beberapa kampus negeri di Jogja. Namun, kini saya bersyukur kampus-kampus tersebut menolak saya. Jika tidak menjadi mahasiswa Universitas Terbuka, saya tak akan merasakan nyamannya mendapatkan edukasi, tetap berpenghasilan, dan tak pernah merasakan kesulitan finansial. 

Saya pernah membayangkan jika kampus negeri itu menerima saya. Melihat kesibukan saya sekarang ini, apa iya saya bisa bayar kuliahnya tanpa bekerja. Namun, kalau bekerja, sudah pasti kuliah saya keteteran. 

Pengalaman itu mengajari saya bahwa apa yang kita mau belum tentu baik untuk kehidupan kita. Tuhan sudah menyiapkan jalan terbaik untuk kamu berkehidupan dengan layak. 

Beruntungnya saya juga cukup apatis menyikapi orang-orang yang meremehkan Universitas Terbuka. Berkat kampus negeri menolak saya, sekarang saya bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki background dengan value tinggi dan menjadi relasi penunjang karier saya. 

Untuk kamu yang mau kuliah, pilih kampus dengan bijak. Sesuaikan dengan kemampuan finansial, minat, dan sistem perkuliahan. 

Saya berdoa supaya Tuhan mempermudah jalan kita dalam menimba ilmu. Karena selelah-lelahnya bekerja, jauh lebih lelah ketika kamu hanya bisa mencari-cari pekerjaan. Dan, ingat, selalu menghargai sesama manusia tak peduli kuliah di mana.

Penulis: Hayumi Suwanti

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Bersama Universitas Terbuka, Semua Mimpi Bisa Terwujud, lho!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version