Kampus UNESA di Ketintang Surabaya masih kebanjiran, tapi udah pengin menyandang world class university aja. Emang boleh universitas kelas dunia sebanjir itu?
Sebenarnya saya nggak ingin membicarakan kampus tempat saya mencari ilmu. Selain sudah banyak dibahas di Terminal Mojok, saya jadi terkesan tukang pamrih. Tapi peduli setan. Salah sendiri mereka nggak pernah menanggapi kritik yang diberikan. Malah tetep melakukan sesuatu yang nggak ada manfaatnya bagi mahasiswa.
Misalnya, pada postingan akun instagram @official_unesa yang menunjukkan foto beberapa petinggi kampus sedang menjalin kerja sama dengan mitra di Jerman demi mencapai World Class University atau perangkingan universitas di ranah internasional. Jujur saja, postingan ini membuat saya geram. Sebab, UNESA semakin terlihat nggak peduli dengan nasib mahasiswa dan hanya peduli soal citra kampus.
Daftar Isi
Label World Class University nggak menyelesaikan masalah apa pun
Salah satu contoh masalah terbaru yang kami (baca: mahasiswa UNESA) alami adalah banjir di kampus Ketintang Surabaya. Saking parahnya, pemadam kebakaran harus turun tangan untuk membantu menguras genangan air yang tingginya lebih dari mata kaki di kampus Ketintang itu. Meskipun Ketintang terkenal sebagai daerah rawan banjir di Surabaya, tapi minimal UNESA usaha ngapain gitu. Jangan cuma gembar-gembor mengejar universitas kelas dunia.
Selain itu, menurut hemat saya, yang namanya world class university pasti fasilitas dan mutu pendidikannya terjamin. Sayangnya, kedua hal tersebut belum saya rasakan selama ini. Ditambah sekarang saya harus rela menerjang banjir di kampus. Memangnya boleh universitas kelas dunia sebanjir ini?
UNESA sering melewatkan permasalahan krusial yang terjadi di kampus
Kalau kalian berpikir banjir adalah satu-satunya masalah yang kami alami, kalian salah besar. Masih banyak, bahkan terlalu banyak untuk dimuat dalam satu artikel. Apalagi semenjak UNESA berhasil berubah status menjadi PTN-BH, banyak permasalahan yang mengganggu aktivitas belajar mahasiswa, namun tetap diabaikan. Terutama yang menyangkut fasilitas dan mutu pembelajaran.
Perlu kalian ketahui kalau di jurusan saya, Sosiologi, tahun ini menerima lebih dari 400 mahasiswa baru dengan ketersediaan 3 ruang kelas berkapasitas 40 orang dan 13 dosen pengajar. Bayangkan, perbandingan fasilitas dan dosen pengajar untuk mahasiswa baru saja sudah nggak normal, apalagi kalau ditambah dengan angkatan sebelumnya.
Lebih parahnya lagi, solusi yang diberikan UNESA juga nggak solutif. Mahasiswa semester 5 dianjurkan mengikuti program kampus merdeka agar mereka lebih sibuk berkegiatan di luar kampus. Sedangkan untuk mahasiswa semester 7 seperti saya diburu-buru untuk segera lulus 3,5 tahun. Lalu bagaimana dengan nasib mahasiswa baru? Ya, jelas kuliah online, dong.
Saya yakin kalau permasalahan serupa nggak cuma terjadi di jurusan saya, melainkan di banyak jurusan lain. Sayangnya masalah krusial gini malah nggak segera ditangani, mereka justru sibuk dengan perangkingan yang entah apa manfaatnya bagi mahasiswa.
Sudah saatnya UNESA membuka layanan kritik dan saran
Masalah lain yang nggak kalah penting adalah kampus ini nggak punya layanan agar mahasiswa bisa menyampaikan aspirasinya. Makanya kalau mampir ke Instagram UNESA, kalian bisa dengan mudah menemui sambatan mahasiswa yang tersemat di kolom komentar setiap postingannya. Itu juga sambatan mereka nggak ada yang dibalas.
Bayangkan, sudah nggak diberi fasilitas untuk penyampaian kritik dan saran, sambat lewat media sosial pun nggak mendapat respons. Kalau gini, ke mana lagi kami harus mengadu?
Makanya saya menyarankan UNESA untuk segera membuka layanan kritik dan saran untuk menampung aspirasi dan sambatan-sambatan mahasiswanya. Percayalah, sebenarnya kami cuma perlu didengar, kok. Cukup berikan jawaban yang menenangkan kegelisahan mahasiswa, niscaya kami sudah merasa diperhatikan. Gampang, kan? Iyalah, tinggal perkara mau atau nggak aja.
Terakhir, saya cuma mau mengingatkan kalau suatu lembaga bisa tumbuh karena mengakui kekurangan dan mampu menerima kritik demi perbaikan yang lebih baik. Jadi, saya berharap tulisan ini dimaknai sebagai kritik yang membangun daripada ujaran kebencian. Hehehe.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.