Beberapa minggu yang lalu, saya melihat sebuah reels singkat di Instagram. Dalam video tersebut, orang Afrika Selatan berkulit putih yang tinggal di Indonesia ini mempertanyakan: mengapa lulusan S1 di Indonesia digaji setara UMR? Baginya, ini adalah culture shock terbesar selama tinggal di Indonesia.
Di negaranya yang bahkan belum tergolong negara maju, upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang tidak kuliah. Sementara di sini? Empat tahun kuliah, puluhan SKS, skripsi berdarah-darah, dan yang ditawarkan adalah gaji minimum.
Alasannya klasik dan terdengar masuk akal: “Belum punya pengalaman.” Tapi di balik kalimat itu tersembunyi satu ironi besar: pendidikan empat tahun dianggap belum cukup sebagai modal kerja. Lalu, gelar sarjana itu apa? Sertifikat? Dekorasi LinkedIn? Atau cuma penanda bahwa kamu siap kerja keras dengan upah pas-pasan?
Saatnya kita pertanyakan logika ini. Bukan karena kita manja, tapi karena ada tradisi korporasi yang terlalu nyaman membayar murah sambil menyuruh kita diam.
UMR itu pendapatan minimum untuk hidup
Mari luruskan satu hal dulu: UMR itu batas gaji paling bawah, bukan harga mati. Itu semacam “jangan dibayar lebih rendah dari ini ya, karena itu nggak manusiawi.” UMR sejatinya dibuat sebagai jaring pengaman agar pekerja bisa hidup. Cukup buat bayar kos, makan sederhana, dan nebeng WiFi tetangga. Itu pun seringnya masih ngos-ngosan.
Jadi kalau fresh grad dikasih gaji UMR, itu artinya dia pas-pasan buat hidup. Padahal, dia datang dengan titel sarjana, IPK, dan kemampuan presentasi yang dulu mungkin aja pernah bikin pernah bikin dosen manggut-manggut sebelum akhirnya bilang: revisi, ya.
Gawatnya, UMR dijadikan semacam preset default buat semua entry-level job, seolah-olah sistemnya bilang: “Kamu belum layak dihargai lebih tinggi sampai kamu membuktikan diri dulu.” Padahal pekerjaan yang ditawarkan seringkali nggak entry-entry amat: deadline-nya ketat, ekspektasinya tinggi, kadang disuruh multitasking sampai mirip karyawan lima divisi dijadikan satu.
Masalahnya, kalau lulusan S1 dengan gaji UMR aja banyak dijustifikasi, maka lulusan SMA/K atau di bawahnya akan dengan mudah digaji di bawah UMR. Kecurigaan saya ini pun terkonfirmasi dengan kenyataan pahit di lapangan: 54,3% pekerja digaji di bawah upah minimum provinsi di awal tahun 2024 (Sumber: BPS, dilansir dari Databoks). Apalah artinya UMR kalo lebih dari setengah tenaga kerja aja diberi upah di bawah level minimum?
Lulusan sarjana tidak kosong, tak layak digaji UMR
Ada anggapan aneh yang berkembang: “Fresh grad itu belum punya value, karena belum punya pengalaman.” Well, let’s talk value.
Selama kuliah, kita dilatih mikir sistematis, kritis, dan logis. Kita belajar nulis laporan, bikin presentasi, baca jurnal dan buku tebal yang bikin kepala nyeri dan mata buram. Kita juga dituntut kerja bareng kelompok yang kadang isinya makhluk-makhluk tak bertanggung jawab, dan dari situ, kita belajar problem solving level dewa. Itu semua skill yang terpakai banget di dunia kerja.
Jelas, itu semua bukan cuma teori di atas kertas. Itu modal. Modal untuk bekerja, untuk beradaptasi, untuk terus belajar di tempat kerja nantinya.
Kita nggak akan naif. Tentu saja pengalaman itu penting. Masalahnya, banyak perusahaan di Indonesia suka bilang, “Kami butuh orang yang berpengalaman.” Tapi… posisi yang dibuka judulnya entry level. Lho, entry level tapi harus berpengalaman? Ini logikanya aneh. Kayak buka lowongan untuk menjadi bayi tapi syaratnya: “Minimal pernah sekolah PAUD”.
Mereka memang belum tahu segalanya, tapi bukan berarti mereka nggak tahu apa-apa. Justru di masa-masa awal itulah mereka lebih adaptif, lebih gesit, dan nggak terlalu terjebak zona nyaman. Jadi kalau ada perusahaan yang ngomong, “Kami nggak bisa kasih gaji tinggi karena kamu belum pengalaman,” mungkin yang sebenarnya mereka maksud adalah:
“Kami pengin kamu kerja banyak, dibayar sedikit, dan nggak banyak nanya.”
Stigma Gen Z: manja tapi maunya gaji tinggi
Begitu ada fresh grad yang bilang, “Saya berharap digaji lebih dari UMR,” langsung keluar komentar-komentar sarkas:
“Anak zaman sekarang maunya instan.”
“Baru lulus aja udah banyak maunya.”
“Belum kerja udah ngeluh.”
“Gue mah dapet kerja aja udah bersyukur.”
Padahal, pekerja sekarang sebenarnya lebih sadar realitas aja. Mereka cuma ingin hidup layak. Mereka sadar bahwa hidup di kota besar dengan gaji UMR itu ya, susah. Bayar kos? Mahal. Transportasi? Boros. Belum lagi kalau disuruh bantu biaya keluarga. Mereka nggak minta digaji kayak manajer, cuma minta diakui bahwa pendidikan mereka punya nilai.
Seolah-olah minta upah layak adalah bentuk arogansi. Menuntut wajar bukan berarti manja. Menginginkan upah pantas bukan berarti arogan. Ini soal martabat tenaga kerja. Yang luput dilihat adalah: Gen Z ini justru lebih terbuka, lebih kritis, dan lebih berani menolak eksploitasi. Dan bukankah itu ciri generasi yang sehat? Yang sadar haknya, dan tahu cara memperjuangkannya? Yang seharusnya dikritik bukan anak muda yang bersuara, tapi sistem yang senang memanfaatkan mereka dalam keadaan diam.
Saatnya revisi standar gaji entry level
Kita perlu jujur: standar gaji entry-level di Indonesia masih terlalu rendah untuk ukuran tenaga kerja yang terdidik. Idealnya, fresh grad sarjana layak mendapatkan gaji minimal 20–30% di atas UMR. Bukan karena mereka sok hebat, tapi karena mereka datang dengan modal: pemahaman teoritis, kemampuan berpikir analitis, dan potensi berkembang yang harus dihargai.
Dan tolong, perusahaan juga jangan berlindung di balik dalih “masih belajar”. Kalau pekerja baru disuruh menyerap banyak hal sambil menjalankan jobdesc yang kompleks, itu bukan masa belajar — itu masa kerja. Dan kerja harus dibayar setimpal. Pemerintah, kampus, dan bahkan media pun perlu ikut menyuarakan pentingnya revisi standar gaji ini. Bukan hanya untuk kesejahteraan generasi muda, tapi untuk menciptakan ekosistem kerja yang sehat dan kompetitif.
Menggaji fresh graduate lebih dari UMR bukan tindakan filantropi. Itu adalah bentuk penghargaan terhadap proses belajar, waktu, dan energi yang sudah diinvestasikan. Kita perlu berhenti menyalahkan generasi muda yang berani bersuara. Justru, kita harus curiga sama sistem yang menganggap “kerja keras di awal harus dibayar murah dulu.” Kalau semua pekerja dibayar murah saat masih belajar, siapa yang akan tumbuh jadi profesional?
Penulis: Faqih
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















