Ulah Rombongan Pengantar Jenazah yang Terkadang Menjengkelkan

iring-iringan pengantar jenazah ambulans mojok

iring-iringan pengantar jenazah ambulans mojok

Momen lelayu barangkali menjadi momen paling sedih dalam hidup di dunia ini. Momen saat kita harus kehilangan seseorang di hidup kita. Seseorang yang memberi warna dari perjalanan kehidupan kita hidup di dunia yang kini sudah tiada. Setiap orang pasti merasa kehilangan. Saya dan Anda pun begitu. Ada beberapa orang yang telah pergi meninggalkan saya. Oleh karena tahu akan rasanya, saya pun juga merasa kehilangan tiap-tiap secara kebetulan melewati kerumunan orang yang melayat di salah satu tempat. Saat menyaksikan itu, walaupun tidak mengenal siapa yang telah pergi, saya sempatkan paling barang sekejap memanjatkan doa untuk si mayit dan keluarga yang ditinggalkan.

Akan tetapi, dunia kadang menunjukkan sisi bangsat. Sesedih-sedihnya momen seperti itu, tetap ada saja hal-hal yang entah bagaimana menjadikan suasana yang seharusnya penuh ratapan berubah menjadi penuh cacian dan pisuhan. Salah satunya adalah kelakuan kelompok iring-iringan pengantar jenazah. Dan sialnya saya mengalaminya baru-baru ini.

Beberapa waktu lalu, kira-kira sebulanan lah. Saya berkendara di sebuah jalan provinsi di kota saya, Kabupaten Sukoharjo, eh kota apa kabupaten sih. Saya ini hendak pergi menuju ke satu waduk untuk suatu urusan dan makan di warung pecel langganan saya di sana. Warung pecel satu itu sungguh mantap, kalau kalian berkesempatan ke Sukoharjo mampirlah ke sini, Warung Pecel Mboto namanya. Sambelnya pedes, gorengannya yahud, es tehnya seger, harganya murah meriah. Lah malah bahas pecel ki piye, hadeh. Kembali ke bahasan utama.

Jadi di sela-sela perjalanan terdengar sayup-sayup suara sirine ambulans jauh dari belakang. Saya lantas melihat di kaca spion dan mendapati rombongan pengantar jenazah. Terlihat karena di bagian depan rombongan ada yang mengibar-ngibarkan bendera merah. Sebagai pengemudi yang taat akan aturan (utamanya kalau sedang ada polisi, hehehe) saya memelankan kecepatan motor saya dan rada-rada minggir ke lajur kiri untuk mendahulukan rombongan itu lewat. Beberapa orang yang sadar akan suara itu juga melakukan hal yang sama dengan saya. Tapi, ada satu keanehan di sini, rombongannya kok nggak segera maju-maju, pikir saya. Harusnya kan kalau sudah tahu begitu, si sopir ambulans segera mempercepat lajunya, tapi ini tidak.

Saking penasarannya saya coba menengok ke belakang, lalu tiba-tiba, mak klebet bendera merah melintas hampir mengenai depan muka saya. Seketika saya kaget mendapati kibasan bendera itu dari mas-mas rombongan pengantar jenazah. “Minggir, Mas!” Bentaknya ke saya. Lah baru maju rupanya ini rombongan, dari mana aja tadi, gumam saya sembari menenangkan kemudi saya akibat kekagetan saya tadi. Kurang ajar juga nih mas-mas, udah tau daritadi saya minggir tapi kok nggak segera maju, mana malah hampir disampluk bendera lagi.

Kejengkelan saya tidak berhenti sampai situ. Rombongan ambulans yang sudah mendahului itu ternyata tidak segerah hilang dari hadapan mata saya. Padahal seyogyanya, pasca melewati pengendara lain, rombongan itu harusnya segera mempercepat lajunya karena jalanan sudah kosong. Tapi, lagi-lagi kelakuan rombongan ini tidak. Bahkan kecepatan laju ambulans ini sama dengan kecepatan speedometer motor saya yang kala itu 60-70 km/jam. Lah dalah pantesan dari tadi gak maju-maju, ualone kaya ngene. Makin jengkel saya itu, karena merasa sudah membuang waktu saya untuk pelan-pelan tadi. Saya lantas menggeber motor saya untuk melewati bahkan meninggalkan rombongan pengantar jenazah kurang ajar ini.

Namun, niatan saya dihentikan oleh mas-mas pemegang bendera tadi. Tetap saja mengibar-ngibarkan bendera yang kadang sambil mencet klakson di depan yang mengakibatkan saya kudu mengurungkan niat saya melaju lebih jauh lagi. Oleh karena tertahan oleh mas-mas kurang ajar ini, saya jadi memperhatikan masnya. Ternyata kelakuan masnya ini lebih bangsat daripada si sopir ambulans yang gak maju-maju tadi. Sudah tadi hampir mencelakakan saya dengan sabetan bendera merahnya, memekakan telinga saya dengan suara klaksonnya dan menahan saya agar tidak mendahului mereka.

Kelakuan yang satu ini adalah puncak kejengkelan saya terhadap rombongan pengantar jenazah ini. Yaitu setelah saya memperhatikan mas-mas ini yang terdiri dari enam kepala manusia saling berboncengan dalam tiga motor, semuanya tidak pakai helm, masker atau pun jaket. Ini di jalan provinsi loh mas-mase. Sudah begitu yang paling ultimate adalah mereka melewati kantor polres dan tidak diapa-apakan. Hla kok bisa-bisanya mereka tenang-tenang aja. Halo pak polisi, ini depan saya orang-orang kurang ajar yang sedari tadi bikin jengkel saya loh.

Saya tidak masalah pada awalnya, tapi apa panjenengan sedaya tidak melihat rombongan mas-mas ini. Kalau bukan jadwal tilangan apakah nggak masalah orang-orang ini berkendara tanpa menggunakan helm, nggak pake masker di kala pandemi ini, sudah begitu oblongan lengan pendek? Oh apakah kalau jadi rombongan pengantar jenazah aturannya beda? Jadi bebas-sebebasnya?

Sampai di perempatan lampu merah saya belok ke kiri sementara si rombongan bangsat ini terus melaju terus entah ke mana. Sesudahnya saya memaki-maki rombongan tadi sambil diselingi kata-kata mutiara di pikiran saya. Kepala saya jadi penuh dengan kejengkelan. Saya jadi hampir lupa mendoakan si mayit yang ada di ambulans itu akibat kejadian menjengkelkan itu. Kok bisa-bisanya loh berkelakuan begitu. Berurusan sama orang hidup itu lebih menyusahkan daripada berurusan dengan orang mati. Peok.

BACA JUGA Alasan Makam di Kampung Saya Tidak Bisa Menerima Jenazah dari Luar Kampung dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version